Tuesday 19 April 2016

Biarkan Saja


Suatu hari Bu Harni bertamu ke rumah Bu Echa. Ketika Bu Harni masuk ke ruang tamu, ia mengamati tatanan ruang dengan cermat, ia merasa bahwa kursi-kursi berjajar terlalu rapat, jendela terbuka terlalu lebar, meja terlalu mepet ke tembok dan hal-hal lain yang menurutnya kurang rapi.

Bu Harnipun berniat menolong Bu Echa dengan memberitahukan bagaimana seharusnya tatanan ruang tamu yang benar, Bu Harni memulai ceramahnya didepan Bu Echa lalu bangkit berdiri, ia menggeser meja kursi dan merapikan ruang tamu Bu Echa agar lebih sedap dipandang mata, tentu saja Bu Echa cukup tahu diri dan membantunya.

Akhirnya, ruang tamu yang tadinya sumpek dan pengap menjadi lebih nyaman. Bu Harnipun merasa puas dengan kerja kerasnya, dan setelah berbasa-basi sejenak maka diapun pulang dengan perasaan bangga.

Bu Harni merasa bahwa ia telah berjasa dan karna hal itu maka ia yakin bahwa hubungannya dengan Bu Echa akan semakin erat. Namun setelah satu minggu berlalu ternyata Bu Echa tidak lagi pernah menghubunginya, jika mereka kebetulan bertemu di jalan maka Bu Echa hanya bicara seperlunya saja, hal itu membuat Bu Harni heran, apa yang salah dengan dirinya?

Mungkin diantara teman-teman ada yang pernah mengalami kejadian semacam itu, kita telah berusaha membantu teman kita agar menjadi lebih baik namun ternyata bukan kata terima kasih yang kita dapatkan tapi malah hubungan kita menjadi semakin renggang.

Ya, begitulah manusia, jika kita tidak benar-benar menguasai seni menjalin hubungan kemanusiaan maka kita hanya akan membuat teman-teman kita menjauh tanpa kita sadari.
Kita memang seringkali merasa gatal saat melihat teman kita melakukan suatu kesalahan sementara kita tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Mungkin waktu itu kita tidak menyadari bahwa satu hal yang paling diinginkan teman kita saat dia melakukan suatu tindakan ceroboh adalah agar kita tidak mengetahui kecerobohannya, itulah sebabnya biasanya seorang teman berusaha menyembunyikan kecerobohannya dihadapan kita, lalu apa gunanya kita mencoba mengoreknya?

Dengan menunjukkan letak kecerobohan yang dilakukan teman kita, kita telah membuatnya kehilangan muka, dan jika kita berusaha memperbaiki kecerobohannya itu maka itu bisa jadi kesalahan yang fatal. Tentunya perbuatan tersebut tidak selalu membuat teman langsung menjauhi kita, namun setidaknya hal tersebut telah membuat hubungan persahabatan kita menjadi lebih renggang dibanding sebelum kita mencoba memperbaikinya.

Kita seringkali lupa bahwa betapapun akrabnya hubungan kita dengan sahabat kita, dia tetap orang lain. Setiap manusia memiliki batasan yang sudah semestinya tidak kita lampaui. Dengan mencoba memperbaikinya tanpa diminta berarti kita telah menghancurkan harga dirinya dan membuatnya tampak bodoh di hadapan kita.

Setiap manusia tentulah ingin dianggap berharga oleh temannya, jika temannya mengetahui kebodohan dan kecerobohannya dia biasanya lebih memilih mempertahankan egonya dan meninggalkan temannya tersebut. Ya, apa gunanya berteman dengan orang telah membuat kita tampak bodoh dan ceroboh? Lebih baik berteman dengan orang yang masih menganggap kita berharga, itu naluriah, karna memang manusia itu adalah makhluk yang lebih dikendalikan oleh emosi daripada logika.

Kita cenderung suka bergaul dengan orang yang menghargai kita dan cenderung menjauhi orang yang menganggap kita tidak begitu istimewa, kita tidak begitu peduli masalah benar atau salah lagi karna yang terpenting bagi kita adalah rasa diri berharga. Seorang anak yang oleh orangtuanya selalu dianggap anak yang bodoh dan tidak berguna biasanya akan mulai menjauhi orangtuanya dan bergaul dengan berandalan yang lebih menghargainya.

Kesalahan dari tindakan Bu Harni diatas adalah karna dia telah menghancurkan nilai diri Bu Echa sehingga Bu Echa kehilangan percaya diri untuk tetap bersahabat dengan Bu Harni, akhirnya Bu Echa menjalin persahabatan dengan orang lain yang belum mengenal kecerobohannya sehingga teman barunya akan lebih menghargainya.

Lalu bagaimana caranya jika kita berusaha menolong sahabat kita? Seringkali cara terbaik yang bisa kita lakukan adalah… biarkan saja. Jika suatu ketika tetangga kita menyuguhi kita segelas kopi dirumahnya dan kebetulan dia lupa memberi gula di kopi kita, maka hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah pura-pura tidak tahu.

Kita bisa saja meminum kopi tersebut dan menahan rasa pahitnya sambil berlagak seolah semuanya baik-baik saja, dan begitu tetangga kita lengah, kita masukkan kopi pahit itu kedalam plastik dan membawanya keluar lalu kita buang kopi itu tanpa sepengetahuannya.

Tidak ada gunanya kita menceramahinya dan mencoba memperbaikinya karna itu bukanlah urusan kita, setiap manusia pasti pernah melakukan keceroboban, hendaklah kita memakluminya karna itu adalah suatu kewajaran. Kita sama sekali tidak ada tanggung jawab untuk memperbaikinya karna dia itu adalah orang lain.

Hendaklah kita menahan diri untuk tidak mencampuri urusan orang lain karna Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, “Termasuk sempurnanya islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.”

Di era yang semakin modern ini banyak kita jumpai orang-orang yang mengalami stress dalam kehidupannya dan seringkali stress itu bermula bukan dari masalah pribadinya namun karna dia membebani pikirannya dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.

Sering kita melihat seorang buruh bangunan misalnya, terlihat begitu memikul beban pikiran yang begitu berat karna memikirkan hal-hal yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Andai saja dia fokus untuk memikirkan masalah pribadinya tentunya dia tidak akan begitu stress, cukuplah dia memikirkan keluarganya, proyek bangunannya atau hal-hal yang memang berhubungan dengan dirinya.

Namun kenyataannya dia malah membebani pikirannya dengan masalah yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, seperti artis idola yang bercerai, pak Lurah yang membeli mobil baru, atau hal-hal lain yang meskipun dia memikirkan atau tidak memikirkan tetap sama saja dan tidak sedikitpun merubah keadaan.

Beberapa orang juga seringkali senewen ketika melihat seseorang melakukan kesalahan sehingga dia langsung tergerak untuk mengoreksinya dan memberikan bantuan tanpa diminta, padahal dirinya sendiri belum tentu terbebas dari kesalahan. Pepatah mengatakan, semut diujung lautan terlihat namun gajah di pelupuk mata tak nampak.

Jika kita melihat teman kita bersikap ceroboh, cara paling aman untuk mempertahankan persahabatan adalah pura-pura tidak tahu. Jika teman kita menumpahkan makanan atau kecerobohan lain, hendaknya kita menahan diri dari berkata, “ups,” atau “aduh,” atau kata-kata lain yang semisal, bersikaplah tenang tanpa ekspresi, karna sedikit saja komentar terucap dari mulut kita itu sudah cukup membuat teman kita tampak bodoh di hadapan kita.

Namun, jika suatu ketika kecerobohan yang dilakukan oleh teman kita tersebut membuat kita atau orang lain merasa terganggu atau jika kita merasa memiliki kewajiban untuk mengingatkannya, maka sudah semestinya kita memberikannya sedikit nasehat atau bantuan.

Tapi dalam memberikan nasehat hendaknya kita menghindari sikap sok dan terkesan unjuk kebolehan, KH Abdullah Gymnastiar pernah berpesan, “ciri kematangan seseorang adalah mengajar tanpa menggurui, memberi nasehat tanpa merasa lebih mulia dan menang tanpa ada yang merasa dikalahkan.”

Suatu hari Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Tholib yang masih anak-anak melihat seorang kakek berwudlu tidak dengan benar. Hasan dan Husain pun tidak langsung menunjukkan kesalahan kakek tersebut secara langsung demi menjaga perasaannya, Hasan dan Husain berkata pada kakek tersebut, “maaf kek, bisakah kakek membantu kami? Kami berdua ingin kakek menjadi juri untuk menilai siapakah diantara kami berdua yang paling benar wudlunya.”

Si kakek menyetujuinya, lalu Hasan dan Husain berwudlu dengan benar sesuai yang diajarkan Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam. Begitu melihat dua bocah kecil itu berwudlu si kakekpun mengatakan bahwa cara wudlu keduanya sudah benar. Dengan melihat cara Hasan dan Husain berwudlu, si kakek mendapatkan pencerahan bahwa ternyata selama ini cara berwudlunyalah yang salah.

Dalam hal ini Hasan dan Husain merasa memiliki kewajiban untuk mengingatkan si orang tua karna yang dilakukan orang tua tersebut menyangkut masalah agama dan masih berada dalam konteks dakwah. Hal ini sudah merupakan tanggung jawab yang dibebankan Allah kepada setiap orang yang berilmu untuk mengajarkannya kepada yang tidak tahu, jadi perbuatan Hasan dan Husain tersebut adalah suatu hal yang sudah semestinya dilakukan dan tidak termasuk kategori ikut campur urusan orang lain.

Itu adalah satu contoh jika kita ingin membantu orang lain untuk memperbaiki kesalahannya tanpa membuatnya rendah diri, namun untuk melakukan hal itu kita tentunya membutuhkan ketulusan, karna bantuan kita tersebut biasanya tidak mendapatkan ucapan terima kasih maupun pujian karna orang yang coba kita perbaiki tidak menyadari bahwa kita memang berniat membantunya, dia mengira bahwa hal itu hanya kebetulan semata.

Marilah sejenak kita bersama merenungkan tentang makna hidup ini, sesungguhnya Allah menciptakan setiap manusia bersamaan dengan dituliskan masalah-masalah hidupnya, dan Allah tidak akan membebani seorang manusia melainkan Allah mengetahui bahwa manusia itu sanggup untuk memikulnya, sesungguhnya tiap manusia telah diberi jatah oleh Allah masalah dan kewajibannya.

Namun tidak jarang kita melihat bahwa manusia itu bukan menyibukkan diri dengan menyelesaikan masalahnya sendiri tapi malah memberikan tambahan beban yang sebenarnya tidak perlu dengan memikirkan hal-hal yang sama sekali bukan urusannya dan hal itu menyebabkan penumpukan masalah yang menjadikannya stress.

Jika manusia itu paham bahwa setiap masalah itu sudah ada orang yang memikirkannya maka ia tidak akan mengalami banyak tekanan hidup, bukankah Allah telah memberikan bagian bagi setiap orang masalahnya sendiri yang harus dia pikirkan? Biarlah seorang penjual bakso sibuk memikirkan baksonya sendiri, seorang petani sibuk memikirkan panennya sendiri, seorang direktur sibuk memikirkan perusahaannya sediri, dan kita sibuk urusan kita sendiri.

Coba bayangkan, seandainya saja kita adalah seorang Nakhoda kapal, dan kapal yang kita kemudikan memiliki kapasitas maksimal 70 penumpang yang jika kita mencoba nekad menambahkan penumpang lagi maka kapal itu terancam tenggelam.

Kapal itu sudah penuh berisi 70 penumpang dan kita mendapatkan amanah untuk mengantarkan penumpang itu ke pelabuhan, namun dalam perjalanannya kita melewati sebuah pulau, dan di pulau tersebut terdapat 20 orang yang juga hendak menuju pelabuhan, lalu apakah kita akan menolong mereka padahal mereka bukan tanggung jawab kita?

Jika kita menolong 20 orang penghuni pulau itu maka itu artinya kita mengambil resiko tenggelam dan pada akhirnya, baik penumpang yang berjumlah 70 orang maupun penghuni pulau yang berjumlah 20 orang itu tidak sampai ke pelabuhan, selain itu kita gagal dalam mengemban amanah kita sendiri, yaitu mengantarkan 70 penumpang ke pelabuhan dengan selamat.

Masalah kehidupan itu sangat sangat banyak dan memori di otak kita tidak akan sanggup menampung semuanya, jika kita terlalu sibuk memikirkannya maka bisa jadi malah masalah kita sendiri tidak teratasi. Selain itu, bukannya masalah-masalah itu akan terbantu dengan pikiran kita, tapi justru pikiran kitalah yang akan hank.

Pada akhirnya saya akan menutup artikel ini dengan sebuah pesan pendek yang mungkin bisa dijadikan pedoman yang bermanfaat. Saya mendapatkan pesan pendek dan sederhana ini dari sebuah buku yang berjudul “La Tahzan” karya Aidh bin Abdullah al-Qarni, namun meski sederhana kalimat itu memiliki manfaat yang luar biasa. Jika kita benar-benar merealisasikannya, maka kita akan terhindar dari berbagai macam masalah.
Jika engkau menginginkan kehidupanmu bahagia, tentram dan terhindar dari berbagai macam masalah kehidupan maka :

“Jangan engkau letakkan bola dunia di atas kepalamu.”

winapurwokoadi.blogspot.com

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Post a Comment

 
biz.