Tuesday 8 September 2015

Mengintip Dunia Perpolitikan Indonesia



Sebenarnya aku malas menulis perihal perpolitikan Indonesia, tapi melihat dagelan Politik yang selalu tayang di Stasiun TV membuatku sedikit gerah juga, sebab itu aku merasa perlu mengeluarkan uneg-uneg yang ada di kepalaku. Seperti sudah kutuliskan di artikel sebelumnya disini , Indonesia itu adalah Negeri yang sempurna, itu jika kita mengabaikan situasi politik yang ada saat ini. Kekisruhan Politik yang dimulai sejak perebutan kekuasaan oleh Soeharto dari Soekarno hingga era setelah Reformasi seakan hanya berganti topik dan judul. Siapapun yang jadi pemimpinnya seolah tidak memiliki pengaruh bagi perkembangan bangsa.

Ya, bagaimanapun juga hampir mustahil membuat nuansa perpolitikan yang stabil dengan sistem yang salah. Sebenarnya sistem demokrasi bukanlah sistem yang tepat untuk bangsa kita. Dengan sistem demokrasi, pemimpin yang akan terpilih bukanlah yang terbaik tapi yang paling dikenal. Sebaik apapun karakter seseorang jika dia tidak dikenal maka tidak mungkin dia terpilih. Dan dalam sistem demokrasi, calon pemimpin hanya ditentukan oleh jumlah suara. Jadi disini, nilai suara Mario Teguh memiliki poin yang sama persis dengan nilai suara seorang kriminal. Dalam hal ini nilai ideologi tidak diperhitungkan. Tak peduli meskipun disatu sisi seseorang memilih pemimpin karena fanatik atau selembar rupiah atau benar-benar demi perkembangan bangsa.



Meskipun aku bukanlah seorang Agamis tapi sebenarnya aku memiliki rasa kagum dengan sistem perpolitikan Islam. Dalam Islam, seorang yang ambisius tidak layak dijadikan pemimpin. Ketika seseorang berkata, “Pilih aku” maka dia akan dikeluarkan dari kandidat pemimpin, karna seorang yang ambisius akan lebih mementingkan dirinya sebelum bangsanya. Dalam Islam, pemimpin dikandidatkan melalui musyawarah dan diskusi oleh orang-orang yang memang mengerti urusan pemerintahan. Dengan begitu tidak mungkin seseorang dikandidatkan sebagai pemimpin jika tidak memiliki karakter yang layak.

Setelah ditentukan pemimpinnya maka rakyat akan berbaiat, jika ada ketidaksetujuan maka harus memiliki argumentasi dan solusi kemudian dipertimbangkan dalam rapat. Dalam hal ini, calon pemimpin tidak harus mengeluarkan dana dan membual ini dan itu. Karna Rakyat-lah yang membutuhkannya, bukan dia yang membutuhkan rakyat, disitulah makna Wakil Rakyat yang sebenarnya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi adalah penyebab terpuruknya Negeri Indonesia. Aku pribadi tidak bisa hanya menyalahkan pelaku Koruptornya, karna jika saja aku yang jadi Wakil Rakyat dengan sistem yang ada, ada kemungkinan aku juga akan menjadi Koruptor. Korupsi adalah hal yang wajar dengan sistem per-politik-an yang ada saat ini. Dalam dunia perdagangan tidak ada yang salah dengan mengeluarkan modal sedikit untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.



Baiklah, aku akan coba jabarkan situasi dunia per-politik-an yang ada. Untuk menjadi pejabat di Indonesia apa yang sangat diperlukan? Uang atau modal. Seseorang butuh dana untuk menjadi Pejabat Pemerintah, dana itu diperlukan untuk kampanye, untuk memperkenalkan diri pada seluruh masyarakat Indonesia dari Kota Besar hingga pelosok desa, karna sehebat apapun seseorang dia takkan bisa jadi Pejabat jika dia hanya dikenal segelintir orang.

Nah, sekarang kita mulai hitung-hitungan ala pedagang. Disini misalkan saja kita mengeluarkan dana 10 Milyar untuk kampanye, kemudian kita misalkan juga gaji Pejabat Pemerintah selama 1 Periode adalah 15 Milyar. Jadi keuntungan yang didapat adalah 5 Milyar… itu jika ada jaminan terpilih, padahal kita tahu bermain politik itu seperti bermain judi, jika tidak bisa bermain secara totalitas maka peluang kalah akan lebih besar. Tentu saja tidak mungkin ada yang mau kehilangan modal 10 milyar begitu saja, sebab itulah target minimal setidaknya balik modal.

Dalam sistem Politik Indonesia kita mengetahui bahwa rakyat akan memilih seseorang karna beberapa unsur diantaranya : calon memiliki hubungan kekerabatan dengannya, calon memiliki kesamaan kota/ agama/ suku/ status/ yang lainnya, calon dimungkinkan dapat memberikan keuntungan terhadapnya secara langsung/ tidak langsung, dan masih banyak yang lain. Tapi kita akan ambil poin terakhir sebagai strategi Politik. Jika kita bisa memberikan keuntungan pada rakyat maka presentase kemenangan akan meningkat.

Keuntungan tidak langsung diantaranya berupa kesejahteraan dan kemakmuran, sedangkan keuntungan langsung dan terlihat adalah… uang tunai, dan inilah strategi politik yang sering dipakai. Penyuapan sebelum pemilihan dilangsungkan dipercaya bisa meningkatkan persentase kemenangan. Dengan memberikan “amplop” kepada calon-calon pemilih potensial maka kemungkinan terpilih semakin besar. Secara psikologis, seseorang yang diberikan “amplop” akan merasa berhutang budi sehingga dia akan merasa tidak enak jika tidak memilih calon. Tapi bukankah pencoblosan calon itu rahasia dan tersembunyi? Iya memang, tapi seorang politikus tentulah sudah mempunyai semacam perhitungan, jika dia memberikan 100 amplop maka setidaknya dia harus mendapatkan setidaknya 60 dukungan, jika ternyata pemilihnya di bawah target maka dia akan dengan mudah mengintimidasi si penerima “amplop” baik secara tersirat maupun langsung, sebab itulah untuk jalan amannya si penerima amplop akan memilihnya. Yup, ini adalah permainan psikologis.

Di dunia Politik, money politic dianggap lumrah. Lumrahnya manusia yang menjalani hidupnya siang dan malam dengan berjuang mengais rezeki, maka nominal rupiah didepan mata sulit untuk ditolak. Meskipun money politic adalah pelanggaran Pemilu tapi banyak calon tidak begitu ambil pusing,  semua calon berprasangka terlebih dahulu bahwa pesaing melakukan money politic sehingga jika dia tidak melakukan hal yang sama maka dia akan kalah. Karna itulah banyak orang baik yang terjebak situasi Politik dan akhirnya harus terseret arus. Sering kita jumpai Pejabat yang dulunya koar-koar berdemo demi kebaikan Bangsa menjadi lupa diri ketika dia telah duduk nyaman di kursi Pemerintah.

Dan untuk melakukan money politic itu butuh apa? Uang. Nah sekarang kita lanjutkan hitung-hitungannya, karna strategi pertama gagal maka modalpun ditambah. Karna tergiur oleh ambisi kekuasaan maka kitapun tidak lagi peduli dengan jumlah uang yang dikeluarkan, kita hanya fokus pada satu kata saja, “kemenangan.” Setelah hutang sana-sini dan menjual tanah ini dan itu akhirnya kitapun berhasil menduduki  kursi Pemerintahan, sementara kita abaikan dulu kemungkinan kalahnya. Namun ketika kita menghitung-hitung jumlah pengeluaran, ternyata dana kampanye yang kita keluarkan mencapai 15 Milyar rupiah.

Dalam dunia dagang, mengeluarkan modal 15 Milyar dan mendapatkan gaji 15 Milyar, rugi atau untung? Tentu saja rugi. Kitapun terjebak dalam kemenangan semu, disaat seperti itu apa yang pertama kali kita pikirkan? Tentu saja akan sulit memfokuskan diri bekerja untuk rakyat. Dengan menjadi pejabat justru gaya hidup meningkat sehingga pengeluaran pun semakin menanjak. Tapi Kita memiliki kesempatan selama 1 periode tersebut untuk mendapatkan keuntungan, tidak ada jaminan kita akan mendapatkan kesempatan kedua di periode mendatang, orang Jawa bilang “aji mumpung.” Kesempatan apa yang mungkin dimiliki untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Pejabat? Membuka usaha mandiri? Tentu saja tidak.



Dengan menjadi Pejabat Pemerintah kita mendapatkan kesempatan untuk mengelola keuangan Negara. Kita bisa saja menambahkan nominal rupiah untuk alokasi pembangunan di suatu daerah, misalkan saja kita mengajukan dana untuk semen seharga Rp 1000/ kilogram, kita bisa menambahkan Rp 100. Jika untuk dana pembangunan itu dibutuhkan sekitar 1000 Ton semen maka berapa keuntungan yang akan kita dapatkan? Well, cukup menggiurkan bukan? Dengan memanfaatkan kewenangan yang kita miliki, dalam 1 periode dimungkinkan kita mendapatkan 30 Milyar dengan modal 15 Milyar, untung atau rugi? Tentu saja untung.


Nah, sekarang kita bisa membayangkan bagaimana jika kita berada dalam posisi Pejabat Pemerintah. Apakah kita akan bertindak jujur dan memikirkan rakyat dengan benar disaat Peluang memperkaya diri terbuka lebar didepan mata kita? Ya, aku percaya masih ada orang jujur dalam Pemerintahan Negara kita. Tapi seseorang yang bisa meluangkan waktu memikirkan rakyat biasanya adalah orang yang pikirannya tidak terforsir oleh sistem balik modal. 

Jika seseorang menjadi Pemimpin tanpa dia harus mengeluarkan dana maka dia lebih dimungkinkan untuk fokus memikirkan rakyat. Dalam sistem Pemerintahan Islam yang kubicarakan diatas, calon pemimpin tidak perlu mengeluarkan sepeserpun dana kampanye karna dana sudah ditanggung oleh Negara. Karna dia menjadi Pemimpin dengan bantuan keuangan Negara maka dia tidak perlu memikirkan sistem balik modal karna sudah pasti dia mendapatkan gaji yang layak. Karna merasa mendapat tunjangan dari rakyat maka diapun merasa berhutang budi pada rakyat dan akhirnya dia akan fokus memikirkan rakyatnya.

Tuesday 1 September 2015

Fenomena Otaku Di Indonesia



Obrolan Petang kali ini aku akan membahas seputar Otaku. Otaku secara bahasa berarti seseorang yang terobsesi dengan satu bidang khusus, dalam hal ini bidang tersebut berasal dari budaya Jepang. Otaku sendiri bermacam-macam jenisnya, dari Otaku Robot, Otaku Kereta Api, Otaku Komputer dan sebagainya. Namun di Indonesia, ketika seseorang mengatakan kata Otaku maka Otaku yang dimaksud adalah Otaku Anime, itu karna Otaku Anime lebih populer dibandingkan Otaku lainnya. Dalam artikel ini pula ketika aku menyebutkan Otaku tanpa tambahan embel-embel dibelakangnya berarti Otaku yang kumaksud adalah Otaku Anime.

Jika dijabarkan secara semestinya, Otaku seringkali dimaknai negatif sebab itu di Jepang banyak orang yang merasa malu disebut Otaku. Karna Otaku berarti seorang yang saking fanatiknya terhadap anime hingga mengabaikan kehidupan di dunia nyata. Namun, di Indonesia istilah Otaku mengalami pergeseran makna dari yang fanatik terhadap Anime menjadi yang sekedar hobby nonton Anime tanpa harus mengabaikan kehidupan di dunia nyata. Jadi jika kita mendengar kata Otaku di Indonesia maka sebenarnya yang dimaksud adalah Anime Lovers, yaitu pecinta anime yang tetap memperhatikan hubungan di dunia nyata. Tidak perlu berdebat tentang istilah Otaku yang tidak pada tempatnya ini karna di Indonesia populernya begitu.

Di Indonesia, Otaku membentuk kelompok sosial di dunia nyata maupun di dunia maya. Untuk masuk ke dalam dunia Otaku keberadaan internet sangat diperlukan. Kenapa demikian? Karna Otaku adalah hobby yang sulit ditekuni tanpa keberadaan internet.  Seseorang yang hanya tau Anime yang diputar di Televisi swasta saja belum bisa dikatakan sebagai Otaku. Para Otaku setidaknya harus mengetahui judul-judul Anime yang populer di kalangan Komunitas Otaku sehingga dia bisa ikut “nimbrung” dalam perbincangan Komunitas Otaku. Dan judul-judul populer tersebut hanya bisa didapatkan melalui internet. Pemasaran Anime dalam bentuk DVD masih sangat jarang ditemui di Indonesia.

Karna Anime yang dinikmati para Otaku tidak di “dubbing” ke bahasa Indonesia dan hanya menggunakan subtitle sebagai alat bantu bahasa, maka para Otaku menjadi cukup familier dengan bahasa Jepang. Beberapa bahasa Jepang pun menjadi bahasa gaulnya para Otaku. Sebab itulah kita bisa menemukan para Otaku menggunakan beberapa kosakata Jepang dalam perbincangannnya dengan sesama Otaku. Seperti menyebutan “kawai” yang berarti manis, “moe” yang berarti imut, “kakkoi” yang berarti keren, dan istilah-istilah lain yang sering terdengar dari Anime yang ditonton.

Dewasa ini keberadaan Anime genre Slice of Life dan School begitu populer, hal itu berpengaruh dengan bertambahnya pengetahuan para Otaku tentang budaya Jepang. Para Otaku tidak perlu lagi membaca buku-buku tebal untuk mengenal Jepang baik dari segi budaya, geografis, kultural, seni dan sebagainya karna  hal itu sudah digambarkan dalam Anime. Sebab itulah pola pikir dan budaya Jepang banyak terserap oleh para Otaku.




Komunitas Otaku tersebar diberbagai penjuru dan banyak diantaranya cukup terorganisir. Seringkali komunitas Otaku membuat pertemuan rutin dan mengadakan banyak kegiatan, dari sekedar diskusi Anime hingga pengadaan kompetisi sebagai ajang mengasah kreatifitas. Meski sering dipandang sebelah mata, banyak Otaku yang memiliki kreatifitas lebih dibanding umumnya masyarakat. Kreatifitas tersebut pun bentuknya beragam. Banyak Otaku terobsesi membentuk Band musik karna termotivasi dengan Anime yang ditontonnya, banyak pula Otaku mengasah kemampuan menggambarnya karna kecintaaannya pada tokoh Anime idolanya, juga kreatifitas dalam desain kostum untuk para cosplayer atau kemampuan berbahasa Jepang bagi para translator atau dalam menulis artikel sebagai sarana informasi para Otaku dan banyak kreatifitas lain yang dikembangkan.



Karna kesibukan terhadap hobby-nya para Otaku tidak memiliki waktu melibatkan diri dalam pergaulan bebas, terjerumus dalam Narkoba, mabuk-mabukkan, tawuran dan sebagainya. Para Otaku mungkin lebih seperti anak rumahan yang tidak suka berkeliaran tanpa tujuan. Meski begitu tidak dipungkiri bahwa tidak semua Otaku bisa jadi orang baik-baik, itu tergantung dari jenis Anime yang ditontonnya. Jika jenis Anime yang disukai Otaku tersebut lebih pada genre Ecchie, Hentai, Gore dan sejenisnya maka hal itu bisa menjadi pengaruh yang buruk bagi kepribadiannya. Jika tidak hati-hati memilah, tak jarang pula anime memberikan pengaruh budaya yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama, misalnya pada anime Yaoi, Yuri, Siscon, dsb.

Meski keberadaan Otaku memberikan pengaruh terhadap asimilasi dan akulturasi budaya, namun keberadaan Otaku tidak begitu berdampak terhadap Politik maupun Agama, karna komunitas Otaku terbentuk bukan bertujuan untuk melakukan gerakan namun lebih pada sekedar hobby. Walaupun Otaku bisa menjalani kehidupan bermasyarakat sebagaimana biasa, namun Otaku tetaplah memiliki sisi gelap. Sikap berlebihan dalam hobby Otaku bisa memberikan dampak yang buruk bagi kehidupan sosialnya. Secara garis besar terdapat 4 macam gangguan Psikologis akibat sikap Otaku yang berlebihan, antara lain :

1. Weeaboo



Weeaboo atau lebih mudah jika menyebutnya Wibu adalah sebutan bagi seseorang yang bukan warga Jepang namun bersikap dan bertingkah laku seperti orang Jepang lebih daripada orang Jepang itu sendiri. Wibu memiliki kemiripan dengan ideologi Nazi Jerman pada perang dunia yang menganggap suatu bangsa merupakan bangsa pilihan. Hanya saja berbeda dengan Nazi, jika Nazi menyombongkan bangsanya sendiri sebagai ras pilihan dan merendahkan ras lain. Maka Wibu menyombongkan bangsa lain_ dalam hal ini Jepang_ sebagai ras pilihan, seorang Wibu akan mengkategorikan dirinya sebagai bagian dari Jepang dan berperilaku seperti orang Jepang kemudian merendahkan bangsanya sendiri seakan dirinya sudah terlepas dari bangsanya.

2. Hikkikomori



Berbeda dengan Wibu, Hikkikomori tidak begitu peduli dengan lingkungannya. Hikkikomori adalah sebutan bagi orang yang suka mengurung diri dan menjauhi kehidupan bermasyarakat. Banyak perbedaan pendapat seputar definisi Hikkikomori tapi aku pribadi lebih cenderung pada definisi Hikkikomori sebagai orang yang menjauh dari masyarakat, tidak harus selalu mengurung diri di kamar dan tidak pula harus Otaku. Meski begitu, Otaku memang rentan terhadap hal ini. Seorang Otaku biasanya akan selalu sibuk dengan Komputer-nya dan menghabiskan waktunya untuk menonton atau men-download Anime sehingga dia tidak memiliki waktu untuk mengenal lingkungannya. Kurangnya bersosialisasi menyebabkan kemampuan bermasyarakatnya payah, pada akhirnya dia merasa nyaman dalam kesendiriannya. Hikkikomori seringkali menjadi beban bagi keluarganya karna seorang Hikkikomori biasanya akan menjadi NEET, NEET merupakan kepanjangan dari Not Education Employing and Training alias pengangguran.

3. Chuunibyou



Chuunibyou adalah seseorang yang dalam tingkah laku dan gerak-geriknya meniru Anime yang ditontonnya, jenis Anime yang menyebabkan sindrom Chuunibyou biasanya adalah dari genre Action dan Fantasy. Contoh prilaku tersebut adalah seseorang yang melakukan pose tertentu kemudian mengucapkan Kamehame meniru Son Goku, tokoh Dragon Ball. Tidak ada yang aneh jika yang melakukan pose tokoh idolanya adalah seorang anak kecil, tapi tentu saja akan nampak konyol jika yang melakukannya adalah seorang remaja atau orang dewasa.

4. Nijikon




Dari keempat gangguan Psikologis tersebut yang paling parah adalah Nijikon. Nijikon adalah ketertarikan terhadap karakter Anime. Ketertarikan disini maksudnya adalah ketertarikan seksual atau bahasa halusnya adalah jatuh cinta dengan karakter Anime. Keberadaan Nijikon berakibat buruk bagi kelangsungan hidup suatu Negara. Pemerintah Jepang pun berupaya keras mengurangi keberadaan Nijikon. Nijikon adalah ketertarikan dengan lawan jenis dari tokoh Anime, bukan lawan jenis di dunia nyata. Memang, dengan keberadaan Nijikon bisa mengurangi tingkat pemerkosaan maupun pelecehan seksual, namun dalam jangka panjang tentunya bisa berakibat pada punahnya generasi karna tidak adanya bayi yang lahir. Pengidap Nijikon tidak tertarik untuk hidup berumah tangga karna dia hanya mencintai karakter 2D. 

 
biz.