Thursday 10 December 2015

5 Rekomendasi Anime Genre Action – Part. 2





Konbawa minna-san…

Sahabat Otaku dimanapun berada, kehabisan tontonan Anime dan gak tau mau nonton apa? Daijobu, kali ini aku akan berikan 5 judul Anime Action buat rekomendasi, kali aja ada beberapa yang belum kalian tonton. Buat kalian yang belum sempat membaca Rekomendasi Anime Action mendingan mampir dulu disini . Dan buat yang ingin mencari Anime dari Genre yang lain bisa lihat di Daftar yang ada dibagian akhir tulisan ini.

6. Mahou Shoujo Madoka Magica
(Genre : Drama, Magic, Thriller, Psikologi)


 
Menurutku Anime ini layak dijadikan rekomendasi, story-nya mengalir, dramanya dapat, musiknya keren, yaah… walaupun secara grafik jika dibandingkan Anime zaman sekarang masih kalah. Rangkaian cerita dalam Madoka Magica adalah sesuatu yang bersifat dramatis dan melankolis, jadi buat yang tidak begitu suka Anime yang nyesek mungkin juga kurang menyukainya.

Madoka adalah seorang siswi yang biasa-biasa saja, namun sejak pertemuannya dengan Homura kehidupannya berubah. Suatu ketika Madoka melihat seekor binatang ajaib bernama Kyuubei yang sedang dikejar-kejar oleh Homura, Madoka pun menyelamatkannya. Kemudian Kyuubei menawarkan kepada Madoka untuk menjadi Magica, sebagai imbalannya Kyuubei akan mengabulkan sebuah permintaan apapun yang diajukan. Akankah Madoka menerima tawaran Kyuubei? Dan apakah pengharapan yang akan diajukan sebagai imbalan? Selanjutnya silakan ditonton sendiri.


7. Aldnoah Zero
(Genre : Action, Meccha, Sci-fi)




Jika ditanya, Anime Meccha paling bagus menurutku adalah Adnoah Zero. Alasannya, dalam Aldnoah Zero senjata terbaik yang dimiliki bukanlah robot melainkan strategi. Dengan begitu tokoh utama dalam Aldnoah Zero tidak bergantung pada besarnya senjata yang dimiliki namun lebih pada bagaimana caranya menyusun strategi sehingga dapat mengalahkan lawan.

Aldnoah Zero mengisahkan tentang perang antara penduduk Mars dan Bumi. Penduduk Mars dulunya adalah penduduk Bumi yang mengungsi ke Planet Mars. Namun menyadari kehidupan yang berat di planet Mars, mereka ingin mengambil alih bumi. Pertempuran yang tidak seimbang pun terjadi, robot Mars yang dipersenjatai kekuatan Aldnoah dengan mudahnya menghancurkan pasukan militer Bumi.

Beberapa murid SMA terjebak dalam medan tempur, salah satunya adalah Inaho. Dalam aksi kejar-kejaran dengan robot Mars, Inaho kehilangan salah satu teman baiknya. Akhirnya Inaho memutuskan untuk ikut bertempur. Dengan robot yang biasa dia gunakan untuk latihan di Sekolah, Inaho dan teman-temannya menantang robot Mars yang memiliki kekuatan dewa.


8. Charlotte
(Genre : Drama, School, Superpower)



Charlotte adalah Visual Novel dari Key Studio yang dikenal dengan Dramanya. Mungkin sangat sedikit sahabat Otaku yang tidak mengenal Anime ini mengingat kepopulerannya. Yup, Charlotte merupakan bintang Anime terbaik di musim Summer tahun 2015. Charlotte memiliki cerita yang menarik dengan grafik yang sangat bagus, sebab itulah bahkan dalam tayangan perdananya, Charlotte langsung menduduki peringkat pertama Anime terbaik di musim itu.

Charlotte mengisahkan tentang para remaja yang memiliki kemampuan khusus yang akan menghilang ketika memasuki kedewasaan. Salah satu pemilik kemampuan tersebut adalah Yuu. Kemampuan yang dimiliki Yuu adalah mengambil alih tubuh orang lain dalam kurun waktu 5 detik. Sayangnya, Yuu menggunakan kemampuannya bukan untuk kebaikan. Selain digunakan untuk berbuat jahil, Yuu menggunakan kemampuannya untuk berbuat curang saat ujian dan bahkan dia menggunakannya untuk mendapatkan gadis yang disukainya.

Nao membongkar kecurangan Yuu dan memaksa Yuu untuk bergabung di Sekolah Nao, Yuu tidak punya pilihan lain kecuali menurutinya. Bersama Nao, Yuu mencari pemilik kemampuan khusus yang lain dan meminta mereka agar tidak menyalahgunakan kemampuan mereka. Orang-orang yang Yuu selamatkan pun semakin banyak, meski begitu bahaya mengancam di belakang mereka.


9. Log Horizon
(Genre : Action, Adventure, Fantasy, Game, Magic, Shounen)



Log Horizon adalah anime yang mengangkat tema dunia virtual. Mirip Sword Art Online, tapi menurutku masih lebih bagus dari segi Story. Berbeda dengan Anime bertemakan dunia virtual yang lebih fokus pada penyelesaian misi dan level up, Log Horizon benar-benar mengajak kita mengenal lebih dalam dunia virtual lebih dari sekedar game. Kita bahkan diajak mengenal segi budaya dan politik di dunia Log Horizon. Tidak ada istilah NPC disini karna semuanya terlibat dan berperan aktif. NPC yang dikenal sebagai pribumi disini juga memiliki kepribadian dan keterlibatan dalam cerita, bahkan salah satu anggota Log Horizon adalah NPC.

Log Horizon adalah sebuah Guild yang dipimpin oleh Shiroe yang merupakan salah satu anggota Guild ternama yang telah bubar. Setelah hilangnya tombol Log Out, Shiroe dan yang lain terjebak ke dalam game dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Shiroe si ahli siasat pun melakukan sebuah gebrakan dan menata sebuah tatanan sosial di kota tersebut yang sebelumnya begitu suram menjadi lebih hidup. Bersama para pemimpin Guild di Kota tersebut, Shiroe berusaha melindungi kota dengan berbagai siasat politik.


10. One Punch Man
(Genre : Action, Seinen, Parody, Sci-fi, Super Power, Supernatural, Comedy)




Ini dia Anime terfavorit di musim gugur 2015. One Punch Man mengisahkan tentang dunia Super Hero dan mengemasnya dalam bentuk Parodi. One Punch Man sendiri merupakan sebuah julukan yang diberikan kepada Saitama karna dia selalu bisa mengalahkan musuh-musuhnya hanya dengan sekali pukul. Namun, meski telah menyelamatkan dunia beberapa kali, orang-orang tidak mengenalnya.

Hingga suatu ketika Saitama bertemu dengan Genos. Genos yang bertekad untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan pun terpukau oleh kekuatan Saitama dan bermaksud untuk berguru padanya. Saitama pun menyanggupi permintaan Genos dengan syarat Genos harus menemaninya mendaftarkan diri ke Asosiasi Hero Dunia.



 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR REKOMENDASI ANIME

 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------







Saturday 7 November 2015

Cerpen : Goresan Izzah

          




           Awan mendung bergumul menjadi satu paduan. Gelap melingkup di langit sana, juga di langit hatiku. Gemuruh menggema, menggaung ke seantero kolong langit. Meneriakkan angkara kemarahan. Membuat bocah-bocah manusia menggigil takut dibawah hamparan selimut dengan kedua telapak tangan menempel di sisi telinga.

                Sebutir air melesat dari nirwana. Membelah angin. Jatuh pasrah menghujam bumi dan hancur berkeping. Dan tiba-tiba segerombolan besar butiran menyusul jatuh dengan serentak. Puluhan, ratusan, ribuan… oh bukan, bahkan jutaan butiran air langit berhamburan jatuh melingkupi bumi. Terus menerus tiada henti. Basahi kegersangan. Membuat rerumputan dan pohon bersorak sorai menyambut kedatangannya.

                Kurebahkan punggungku di sandaran kursi teras rumah dalam tatapan beku menatap hampar pelataran yang mulai menggenang. Gemeritik air hujan menabuh genting rumahku, hancurkan sepi. Sesekali angin bertiup kencang, membelai rambut hitamku dengan lancang. Nuansa dingin merasuk ke dalam sunsum tulangku, getarkan bulu roma. Jaket kulit mahal yang kupakai tak sanggup menahan terpaan musim.

                Manis melekat basahi lidah ketika Kopi panas kental menyentuh sensor lidahku. Hangat menerabas masuk ke usus membuat tubuhku dapat bertahan melawan serbuan dingin. Kuhambat udara di persimpangan paru-paruku dalam lima ketukan detak jarum jam. Lalu kuhembuskan dengan helaan nafas panjang. Otakku berpacu keras, berduel sengit dengan gelombang nafsu yang melingkupi.

                “Sepandai-pandai lelaki dapat takluk dihadapan sebodoh-bodoh wanita,” pesan Pak Ustadz masih melekat erat di benakku. Ya. Aku tahu itu. Aku paham akan hal itu. Bahkan sang Rosul tercinta seringkali berpesan kepada umatnya untuk berhati-hati terhadap godaan wanita.

                “Hati-hatilah kalian terhadap dunia. Hati-hatilah kalian terhadap wanita.”

                Jika otakku sehat dan nalar. Pasti aku akan menuruti nasehat-nasehat indah tersebut. Aku adalah seorang aktifis Islam. Pengemban risalah dakwah. Di langit aku memiliki kehormatan. Dimana para Malaikat membanggakanku. Dimana para bidadari langit terpesona olehku. Apakah aku begitu bodoh melepaskan mahkota kehormatanku itu hanya demi makhluk lemah bernama wanita?

                Nur. Berarti cahaya. Tapi Nur yang ini tidak menerangiku, justru keberadaannya bisa menjerumuskanku. Aku tahu, dia bukanlah kriteria yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Dia bukanlah seorang akhwat yang memiliki komitmen untuk memperjuangkan Islam. Paras wajahnyapun biasa saja. Ya, dia memang manis. Ya, dia memang mempesona. Entah ajian apa yang dia miliki sehingga banyak lebah mengerubunginya.

                Dan aku? Meskipun tidak secara terang-terangan, aku tidak bisa menafikkan perasaanku bahwa akupun terpikat olehnya. “Bodoh !!”, “Gila !!” umpatan-umpatan semacam itu sering terlontar dari akal sehatku. Namun aku menulikan diri dan bersikap masa bodoh.

                Aku bukan tidak tahu bahwa Nur adalah seorang gadis yang sering mempermainkan perasaan para lelaki. Sudah tak terhitung berapa banyak pria merana karna tingkahnya. Aku bukan tidak pernah melihat Nur sering bergandengan tangan dengan lelaki. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dia sering berboncengan dengan pemuda yang selalu berganti wajah dan namanya.

                Apakah aku begitu bodoh membiarkan diriku, seorang ihwan yang sering mengikuti kajian dan aktif dalam beragam gerakan dakwah, teronggok tak berdaya di dalam rak tempat Nur mengumpulkan barang koleksinya? Entah setan apa yang telah memperdayakanku hingga aku bisa sebegini buta. Bahkan Samson yang perkasa bisa roboh dihadapan Delilah. Apalagi aku yang ringkih ini.

                Dadaku bergemuruh. Sesak terasa menghimpit paru-paru. Kututup kelopak mataku sepersekian detik, ketika mata terbuka, lembab membungkus kornea mataku. Seiring jatuhnya hujan ke muka bumi, jatuh pula setetes embun dimataku. Mengalir perlahan menyisir pipiku, bersama hembus nafasku yang mulai sesenggukan.

                Bagaimana dengan kedudukan muliaku di langit? Para Malaikat yang dulunya membanggakanku pasti kini mencemoohku. Mahkota izzah-ku telah direnggut. Bidadari langitpun kehilangan selera terhadapku. Tahtaku dilangit telah dicabut. Kini aku tidak lebih mulia dari seekor cacing yang menggeliat di genangan selokan.

                Hembusan alam menyiksaku dalam kebekuan. Aku tak peduli. Bahkan jika aku sakit karnanya, aku tak peduli. Biar saja tubuh dan jiwaku digerogoti kesenduan kemudian terbaring tak berdaya. Aku tak peduli. Aku benar-benar tak peduli lagi.

                “Nur…” aku menggumam lirih menyebut namanya, si algojo haus darah yang telah menorehkan beragam luka di hatiku. Yang menghancurkan harga diriku. Yang menjatuhkan martabatku dilangit dan di bumi. Seorang makhluk tak berdaya bernama wanita telah sukses merobohkanku, seorang pengemban risalah yang biasa berteriak lantang di podium.

                Sakit sekali dada ini. Ada apa denganku? Padahal tidak ada hubungan yang istimewa antara aku dengan Nur. Aku patah hati padahal aku bukan orang yang baru putus cinta. Nur bahkan tidak tahu bahwa namanya telah melekat erat dihatiku. Nur sama sekali tidak tahu menahu bahwa keberadaannya telah menghancurkanku.

                “Aku adalah sahabatmu,” suara Nur yang begitu merdu masih terngiang di telingaku.

                “Teman biasa. Tidak lebih dan tidak kurang.” Jawabku.

                Nur tersenyum manis, membuai diriku melambung ke gerbang nirwana. Lalu tangan kanannya dijulurkan padaku agar aku bisa menjabatnya sebagai tanda persahabatan.

                “Maaf. Bukan muhrim.” Jawabku singkat, aku mencoba mengusir rasa bersalah karna menolak menjabat tangannya. Nur menarik kembali tangannya dan tersenyum maklum.

                Bayang dirinya senantiasa mengusik malam-malamku. Tak bisa kusangkal bahwa ketika aku begitu dekat dengannya, aku merasa nyaman. Ada sedikit rasa gugup memang, meski aku selalu menyembunyikannya dan berusaha untuk bersikap wajar. Mungkin karna aku jarang bergaul dengan kaum Hawa, maka hal yang biasa saja menjadi begitu berkesan bagiku.

                Dophamine-ku selalu mengaliri darahku ketika terbayang pikiranku padanya. Candu ini jelas lebih kuat dari candu Narkoba, membuatku sakhaw akan asmara. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, bahkan Sholatpun tak bisa khusyu’. Selalu wajahnya yang hadir di pelupuk mataku.Namun, sekuat tenaga  aku berusaha agar tidak seorangpun tahu seberapa besar perasaanku pada Nur. Biarlah aku pendam sendiri. Biarlah rasa ini mengeroposkan kekuatanku tanpa ada yang tahu.

                Tidak mungkin aku menceritakan kebodohanku ini pada teman-temanku yang rata-rata adalah aktifis dakwah yang hebat. Mau ditaruh dimana wajahku jika mereka tahu bahwa aku yang aktif meneriakkan syiar Islam jatuh hati pada seorang playgirl? Aku mencoba bungkam  seribu bahasa tatkala mereka bertanya tulus tentang permasalahanku. Padahal ingin sekali aku menceritakan masalahku untuk mengurangi beban pikiranku yang terlalu berat.

                “Shofwan, kok kamu sering gak masuk. Ada apa?” begitu bunyi SMS yang masih belum ku delete dari inbox. SMS dari Nur ketika aku sering tidak masuk Sekolah. Aku tidak membalas SMS itu, padahal ingin sekali aku mengatakan, “aku sakit gara-gara kamu, tahu!!”

                Ketika aku bertemu dengannya, aku berusaha mengacuhkannya agar dia menjauh dariku sehingga pikiranku tentangnya pudar. Dengan begitu aku akan kembali pada kehidupanku yang dulu. Tapi ketika dia benar-benar bertemu denganku, aku luluh juga. Keceriaannya, senyumannya, tingkah polahnya membuatku selalu gagal untuk menjauhinya. Aku ingin dekat dengannya. Ingin selalu dekat dengannya. Karna tanpanya hidupku kosong. Karna tanpanya hatiku hampa.

                Seperti biasa, aku hanya menanggapinya sepatah – dua patah kata. Meski sebenarnya aku ingin sekali bisa berlama-lama dengannya. Ingin sekali aku menambah topik pembicaraan ketika pembicaraan kami hampir usai. Tapi tidak mungkin. Aku harus menjaga namaku sebagai seorang aktifis. Jangan sampai fitnah terhembus ke lubang telinga anak-anak manusia.

                Hidupku menjadi terasa begitu sepi tanpa keberadaannya. Rasa rindu yang tak wajar sering merasuk lewat mimpi malamku. Kadang rindu itu sedikit terobati ketika di pagi Shubuh HP-ku bergetar dan kubaca sebuah SMS singkat dari Nur, “bangun kawan, sudah shubuh nih.”

                Aku tidak membalas SMS itu. Aku tidak boleh membalasnya. Berkali-kali SMS darinya masuk namun tidak kubalas. Kadang menanyakan kabar. Kadang hanya mengirim kata-kata bijak pembangkit semangat. Mungkin karna bosan, dia berhenti mengirim SMS padaku. Selama tiga hari tidak ada SMS masuk darinya dan tiba-tiba hatiku merasa galau. Entah kenapa, aku sangat takut jika dia mulai melupakanku.

                Tanpa tahu mengapa, tiba-tiba terkirim SMS dari HP-ku, hanya sebuah kata-kata bijak. Seharusnya aku tidak boleh mengirim SMS tidak penting kepada seorang gadis, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku merindukan SMS darinya. Sejak itu, SMS darinya mulai berdatangan lagi. Kali ini aku terkadang membalasnya dengan ramah.

                Hati nuraniku kubiarkan mencaci makiku ketika aku mulai sering bermain SMS dengannya. Aku mulai mencoba dekat dengannya. Kadang kami chatting, kadang lewat SMS. Namun ketika kami bertemu secara langsung, aku diam seribu bahasa. Aku hanya berani bergerilya di dunia maya.

                Akupun mulai mengenalnya lebih jauh. Tentang emosinya, tentang cita-citanya, tentang kesedihannya. Akupun mulai membuka diriku dan menceritakan beberapa hal tentang diriku. Kami menjadi akrab di dunia maya, meskipun aku tetap menjauh di dunia nyata. Tidak boleh seorangpun tahu. Jangan sampai racun-racun fitnah terhembus.

                Pernah ketika di pagi hari hatiku berbunga, tiba-tiba sorenya hatiku remuk redam. Tentu saja bagi Nur, bergaul akrab dengan para pemuda adalah perkara biasa. Bergandengan, merangkul dan sentuhan fisik dengan lawan jenis adalah prilakunya sehari-hari. Tapi aku memandangnya sebagai suatu perkara besar dan berat. Aku tidak tahu perasaan macam apa ini. Yang pasti, ada rasa cemburu yang luar biasa. Sementara itu, Nur tidak tahu menahu perasaanku. Dia tidak tahu bahwa dia menghancurkanku karna perbuatan yang dia anggap biasa saja.

                Aku marah. Tapi pada siapa. Aku pun mulai menjauhi Nur. Membiarkan diriku disiksa oleh suara-suara nurani. Kali ini aku tidak bisa membungkamnya, kali ini aku tidak bisa pura-pura tidak mendengar. Hatiku sudah terlalu sakit dan kecewa. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku mencintai gadis seperti Nur yang bahkan tidak bisa menjaga izzah-nya. Yang bertabaruj. Yang dengan bebas tanpa rasa bersalah ikhtilat dengan lawan jenis.

                Pendamping hidupku adalah kehormatanku. Jika aku terpikat oleh gadis semacam Nur, itu berarti aku merendahkan izzah-ku. Aku tidak rela namaku tercoret dari daftar buku langit. Aku adalah seorang pembawa risalah Islam. Allah membeli jiwaku dengan kemuliaan, bagaimana mungkin aku malah menjual jiwaku dengan harga rendah kepada playgirl macam Nur. Itu terlalu bodoh.

                Rintik hujan diam membisu. Langit usai tunaikan tugasnya. Rerumputan pun sudah kenyang menghirup nutrisi. Samar-samar terang mentari mulai mengintip dari celah mega, menyemburatkan cerah warna pelangi. Begitu elok nan mempesona.

                “Langit seolah kembali hidup setelah mati,” gumamku, “begitu pula kehidupanku. Aku harus bangkit kembali setelah terpuruk. Aku tidak boleh terlalu lama terkungkung dalam kesedihan. Ada banyak hal yang harus dikerjakan. Tugas-tugas dakwah menumpuk. Menunggu untuk diselesaikan.

                Seiring waktu berlalu, dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak berhubungan lagi dengan Nur. Aku pindah ke Sekolah lain. Aku mengganti nomer HP-ku. Memblokir nama Nur dari daftar pertemanan di FB. Meski sakit terasa merobek hatiku. Meski nafsu ini terus meronta dalam jeritan, mengganggu ketenangan lelapku.

                Hingga akhirnya akupun terbiasa tanpa keberadaan Nur. Aku berhasil melupakannya. Aku tidak peduli bagaimana perasaan Nur. Aku tidak peduli jika dia sakit hati padaku karna aku memutuskan komunikasi dengannya. Sekarang aku benar-benar memfokuskan pikiranku dengan permasalahan ummat.

                Aku kembali mengeluarkan pedang dari sarungnya. Beradu denting dengan virus pemikiran perusak aqidah. Menggempur dan menahan arus Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme yang semakin meluas hingga pemukiman. Terkadang kalah, terkadang menang. Namun aku terus berusaha bangkit tiap terjatuh. Karna Allah dan Rosul bersamaku.

                Para malaikat kembali mempopulerkan namaku, memperbincangkanku siang malam dalam majelis. Sekumpulan bidadari langit berkerumun melihat aksiku dan terpukau olehku. Tentu saja, aku masih belum ada apa-apanya. Apalagi jika dibandingkan sahabat Mush’ab bin Umair. Jutaan orang sepertiku berkumpul menjadi satu sekalipun belum ada sebutir debu derajatnya dibandingkan beliau.

                Bumi tiada henti berputar pada porosnya. Hingga tahun Masehi berganti. Kulepaskan bangku SMA bersama datangnya hari kelulusanku. Nilaiku membuatku bernafas lega. Mantap kulangkahkan kakiku memasuki gerbang sebuah Universitas ternama dan menjalani seleksi.

                Akhirnya tiba hari yang dinanti. Dengan ritme nafas yang masih berantakan dan sekujur tubuh yang banjir peluh aku berlari menuju papan pengumuman yang ramai dipadati calon Mahasiswa baru. Aku merangsek masuk untuk melihat lebih dekat. Dengan harap-harap cemas kutelusuri barisan nama. Senyum mengembang menghias bibirku tatkala kudapati namaku tercantum didalamnya.

                “Sofwan. Itu benar kau kan?” tiba-tiba suara merdu yang sangat kukenal terdengar dari arah belakang. Jantungku melompat. Ketakutan mencekam. Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutanku. Aku menoleh kebelakang dan mendapatinya. Nur Alissa.

                Wajah itu masih sama. Begitu manis dan memikat. Ada rasa senang. Ada rasa bersalah. Rasa ini campur aduk seperti adonan. Ketenangan dan rasa nyaman menaungi gemuruh hatiku. Tatkala kulihat seberkas senyum di wajahnya yang teduh, bala tentara iblis melepaskan rantai-rantai nafsu satu demi satu. Sehingga nafsu ini bebas berkeliaran tak tentu arah.

                Samar-samar kulihat utusan Dewi Asmara mengintaiku dari balik pepohonan. Bersiap melontarkan panah asmara ke jantung hatiku. Semerbak harum berhembus bersama alunan sepoi. Menyemikan taburan bunga di lubuk hatiku. Panah Cupid dilontarkan tepat ke jantung hatiku. Dan syetan-syetan laknat tertawa senang tatkala akal sehatku terhalang kabut hitam nan pekat.

                “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari fitnah dunia. Aku berlindung kepadamu dari fitnah wanita.”





Depok, 24 Juli 2012

Cerpen : Cahaya Harapan



"Hati-hati mas, jangan terlalu dekat dengan bangsal itu, dia berbahaya, bisa saja dia melemparmu dengan gelas,” seorang tukang sapu RSJ memperingatkan seorang mahasiswa yang sedang berjalan melewati bangsalku, mahasiswa itu pun siaga dan berjalan lebih cepat, raut wajahnya begitu terlihat cemas dan takut.

            “Ggraaawllll !!!” Aku berteriak tiba-tiba ketika mahasiswa itu begitu dekat dengan jendela tempatku berada, sontak dia melompat dengan penuh keterkejutan sehingga wajahnya membiru karna saking takutnya, seketika diapun berlari terbirit-birit di sepanjang koridor RSJ.
Aku tertawa terbahak-bahak dengan suara lengking yang aneh keluar dari mulutku, aku menggedor-gedor teralis besi yang memagari jendela keras-keras hingga kedua tanganku lecet. Semua mata perawat dan tukang sapu RSJ memandang ngeri ke arahku, merekapun mengambil jarak lebih jauh dariku.

            Setelah cukup lama aku tertawa, akupun keletihan, aku duduk dibangku kayu di dalam bangsalku dan merenung cukup lama sampai aku menyadari bahwa aku sangat kesepian, jam dinding berdetak mengikuti irama jantungku seolah memahami rasa sakit yang merasuk ke dalam jiwaku, “tik tok… tik tok… tik tok…”

            Aku meraba jantungku dan merasakan sesak didadaku, entah kenapa rasa ini begitu menyakitkan, padahal tak ada luka yang nampak, namun rasa sakit ini begitu menyiksa, rasa sakit yang terus menggerogoti dari dalam. Aku butuh teman bicara, aku butuh teman berbagi, aku tak bisa menanggung rasa kesendirian ini lebih lama, aku tak sanggup menahan rasa sakit ini seorang diri. Tanpa sadar air mata merembes keluar melalui sela mataku dan membuat basah pipiku dan akupun mulai terisak-isak.

            Aku menyandarkan kepalaku ke meja kayu di depanku dan menyingkirkan sarapan pagi yang sedari tadi tidak tersentuh olehku, kulipat kedua tanganku dan membenamkan kepalaku didalamnya, aku menangis dan terus menangis hingga tanpa sadar akupun tertidur.
Entah sudah berapa menit aku tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara kunci pintu yang diputar, jantungku berdebar kencang saat pintu bangsalku dibuka, lalu masuklah seorang perawat wanita ke dalam bangsalku..

            “Aargh… argh…” teriakku menakutinya, namun dia malah berjalan lebih dekat kearahku dengan tenangnya, keringat dingin bercucuran membasahi kulitku, aku mendelik kearahnya dengan harapan agar dia tidak mendekati “wilayahku”, namun dia tidak mempedulikanku.
“Gubrakk!!” Kursi tempatku duduk terjungkal ketika aku dengan tiba-tiba melompat dan berlari menjauhi perawat, aku mencari tempat yang aman untuk berlindung, lalu akupun meringkuk di sudut ruangan dan merapat ke lemari kayu, tubuhku menggigil ketakutan dan mataku dengan waspada memandanginya.

            “Andrea, aku takkan menyakitimu,” perawat wanita itu berusaha berbicara dengan sangat lembut, senyum manis yang dipaksakan melengkung di sudut pipinya.
Tentu saja perawat itu berbohong, dia akan menyiksaku dan mungkin akan membunuhku. Pernah suatu ketika seorang perawat mengambil jarak yang terlalu dekat denganku dan sebelum dia mencekikku aku membela diri, kulempar dia dengan sendok, gelas, piring, buku, kursi, meja dan benda apa saja yang bisa aku sentuh hingga perawat itu mengalami memar-memar yang begitu banyak di sekujur tubuhnya.

            Lalu enam orang dari bagian keamanan berdatangan dan masuk ke bangsalku untuk menyelamatkan si perawat dari kemarahanku, mereka berenam memegangi tangan dan kakiku lalu menyuntikkan obat bius di tanganku dan akupun tertidur, ketika aku terbangun aku mendapati tangan dan kakiku terikat di sebuah kursi, merekapun memaksa agar aku menelan pil pahit berwarna merah meski aku bersikukuh menolaknya, akhirnya mereka menjejalkannya kemulutku meski aku telah berteriak-teriak sekuat tenaga.

            “Grawl !! grawl !!” Bentakku ke arah perawat itu.

            “Baiklah Andrea, aku tidak akan mendekatimu,” perawat itu berbicara dengan sangat lembut, dan ketika dia melihat sarapanku yang masih utuh dia hanya geleng-geleng kepala, “Andrea, sejak kemarin perutmu tidak terisi apapun, cobalah untuk makan satu-dua sendok, kamu butuh gizi. Andrea, sebenarnya ingin sekali aku menyuapkannya kemulutmu namun aku khawatir kamu akan mengamuk lagi sehingga aku terpaksa memanggil keamanan untuk membiusmu dan mengurungmu. Tapi ya sudahlah. Sebentar lagi Psikiater “itu” akan datang yah, siapa lagi kalau bukan dokter Rio.”

            Aku mengernyitkan dahiku ketika mendengar dokter Rio disebut, ‘benarkah dia akan datang?’ pikirku harap-harap cemas, semoga perawat itu tidak berbohong.   
            “Bagaimana Andrea, kau senang mendengar kabar ini?” Tanya perawat wanita.
Aku hanya diam membisu sambil menatap matanya dalam-dalam, setelah beberapa detik akupun tersenyum kearahnya, perawat itu membalas senyumanku sebelum akhirnya keluar dari bangsalku, mengunci pintunya dan meninggalkanku sendirian.

            Aku menunggu kedatangan Psikiaterku, dengan berdiri didekat jendela yang berteralis besi, aku terus mengawasi sepanjang koridor sejauh mataku bisa menangkapnya, setiap ada orang berjalan melewati bangsalku aku berharap dia adalah dokter Rio tapi ternyata bukan, setelah lama menanti aku mulai bosan dan duduk di kursi.       
           
            Perutku mulai berbunyi, aku memandangi sarapan pagiku yang mulai dingin, lama aku berpikir sampai akhirnya akupun mendekatinya dan memegang sendoknya. Satu suap… dua suap… tiga suap… aku terus memasukkannya kedalam perutku.

            “Ceklek… ceklek…” suara pintu dibuka, aku terkejut sekali hingga suapan nasi yang masih berada di dalam mulutku masuk ke saluran pernafasan membuatku tersedak dan nasi itupun menyembur melalui hidungku meninggalkan rasa nyeri dan gatal.

            “Gubrak !!” Kursiku terjungkal ketika aku secara reflek melompat dan berlari ke sudut lemari untuk berlindung hingga akhirnya pintu bangsalku terbuka dan kudapati dokter Rio berdiri mematung sambil menatap kearahku.

            Aku merasa tenang kembali sehingga detak jantungku yang sudah bergejolak kembali stabil ke iramanya yang teratur, aku memandangi dokter Rio cukup lama hingga akhirnya senyum tipis terbentuk dipipiku.

            “Bagaimana kabarmu, Andrea?” Tanya dokter Rio dengan ramah.
Dokter Rio adalah Psikiater terbaik yang pernah kutemui, hal itu tidak lain adalah karna sikapnya yang pengertian dan senantiasa berusaha untuk memahamiku. Aku pernah bertemu dengan banyak Psikiater yang lebih parah darinya, mereka senantiasa memandangku dengan tatapan yang jijik karna penampilanku yang sangat lusuh. Memang, sudah berhari-hari aku tidak mandi, rambutku yang panjang mulai tampak kusut, bajuku yang sangat jarang dicuci inipun mulai robek sana sini.

            Tapi yang aku tidak suka dari mereka adalah karna mereka tidak pernah menganggapku sebagai manusia, mereka hanya melihatku sebagai sebuah mesin yang dijadikan kelinci percobaan untuk riset-riset mereka. Mereka memandangku tidak lebih dari goresan grafik dalam buku catatan yang terkadang naik tapi lebih sering turun. Sedangkan dokter Rio berbeda dengan mereka, dokter Rio selalu menempatkan dirinya dalam sudut pandangku, dan aku tahu bahwa dia sangat tulus untuk membantuku, ya, aku yakin dengan ketulusannya dan aku bisa melihat dan merasakannya.

            “Uhm, seperti biasa dokter… tidak terlalu baik,” jawabku dengan suara pelan, berharap tidak ada orang luar yang mendengarkanku.

            “Apakah ada masalah? Aku memperhatikan catatanmu, Andrea, semakin hari semakin parah,” dokter Andrea membetulkan kursi kayu yang tadi terjatuh ke posisinya semula dan mulai mendudukinya, “aku sudah mendengar semua dari para perawat dan Psikiater disini, mereka telah berputus asa untuk menyembuhkanmu, bahkan mereka menyangka bahwa kau gila. Terakhir, kau melempari seorang perawat dengan semua benda hingga sampa sekarang dia tidak mau mendekati bangsalmu lagi.”

            “Dia berusaha membunuhku dokter !!” Jawabku membela diri.
Dokter Rio memandang mataku dalam-dalam dan suasanapun hening sejenak, kemudian dia menghembuskan nafasnya perlahan sambil geleng-geleng kepala, “Andrea, sampai kapan kau menyimpan fantasimu itu? Dan kenapa juga dia hendak membunuhmu? Apa alasannya?”
Aku terdiam dengan perasaan yang agak dongkol, bahkan dokter Rio yang sangat baik padaku tidak percaya padaku, lalu siapa lagi yang akan percaya padaku? Aku berjalan mendekati jendela dan melihat ke luar bangsal, mungkin saja ada orang lain di luar sana yang saat ini sedang mengawasi kami, setelah dirasa keadaan aman akupun duduk di kursi kayu, berhadapan dengan dokter Rio.

            “Kenapa dokter tidak percaya padaku? Kalau dokter sudah tidak percaya padaku lalu siapa lagi yang akan percaya?” Air mata mulai merembes keluar dari sela mataku.
“Bukan aku tak percaya padamu, Andrea, tapi ucapanmu itu sangat tidak masuk akal. Apa alasannya dia membunuhmu? Dan apa untungnya?”

            “Karna dia membenciku, karna mereka membenciku, karna semua orang sangat membenciku !”

            “Apa yang membuatmu berpikir bahwa semua orang membencimu?”

            “Aku bisa merasakannya dokter, aku bisa melihatnya meski mereka berusaha menyembunyikannya.”

            “Tidak ada yang membencimu, Andrea, mereka menyayangimu, mereka memperhatikanmu dan ingin membantumu,”

            “Dokter bohong !!” Aku melengking, “tak ada satu orangpun yang peduli padaku.”

            “Termasuk aku?”

            Aku termangu beberapa saat hingga akhirnya berkata, “tidak. Kecuali dokter, semua orang membenciku kecuali dokter.”          

            “Jika kau bisa percaya padaku, kenapa kau tidak bisa percaya pada mereka?”

            “Karna… karna dokter berbeda dengan mereka,” aku mulai terisak ketika mengenang masa laluku, “aku takut, dokter… sangat takut.”

            “Andrea, aku menyayangimu dan aku ingin kau segera sembuh dan hidup sebagaimana layaknya orang lain. Aku kehabisan akal untuk mengatasi sikap paranoidmu itu, aku membutuhkan bantuanmu, maukah kau membantuku?”

            “Aku takut dokter. Semua orang membenci keberadaanku.”

            “Tak ada yang membencimu, kamu sendirilah yang membenci dirimu sendiri. Semua orang hanya berperan sebagaimana cermin, mereka hanya memantulkan cahaya yang datang pada mereka. Jika kau merasa semua orang membencimu maka kau akan bertingkah laku seolah semua orang membencimu, lalu karna sikapmu itu, apa yang tadinya hanya perasaanmu saja, kini jadi realita. Orang lain membencimu karna kau bersikap seolah semua orang membencimu. Jika kau berpikir bahwa semua orang menyayangimu, maka apa yang tadinya hanya perasaanmu saja maka akan menjadi realita. Andrea, bersikaplah seolah orang lain menyayangimu, maka mereka akan menyayangimu.”

            “Betulkah?” Tanyaku sedikit sangsi, “aku hanya perlu berpikir bahwa mereka semua menyayangiku maka mereka akan menyayangiku?”

            “Jika kau berpikir bahwa orang lain itu baik hati maka kau pun akan bersikap baik pada mereka, dengan begitu merekapun akan bersikap baik padamu.”

            “Tapi aku tidak bisa menyayangi mereka, aku tidak bisa menyayangi orang yang aku tahu bahwa mereka sangat membenciku.”

            “Kau tidak membenci mereka Andrea, kau membenci ayahmu, lalu kebencianmu itu kau lampiaskan pada semua orang,” dokter Rio mulai berdiri dari kursinya.

            Aku berusaha mencerna perkataan dokter Rio tapi semakin aku memikirkannya semakin terasa pening kepalaku, rasanya sakit… sangat sakit.

            “Aaaaaaahhh… aaaaaaahh… aaaahh…” tiba-tiba aku merasakan himpitan yang begitu keras dalam kepalaku, rasanya sakit, benar-benar sakit.

            Semua kenangan itu kembali menjejali kepalaku, ayahku… si biadab itu menghantui pikiranku, betapa ingin aku membedah usus-ususnya, mencongkel bola matanya, merobek mulutnya dan mengulitinya.

            “Aaaaaaaahhh… aaaaaahhh… aaaaaahh…” rasa sakit semakin mendera ketika kenangan demi kenangan tergambar satu demi satu seperti rekaman video.

            Ayahku, aku membencinya, sangat membencinya, namun aku tidak tahu bagaimana caranya melampiaskan kebencianku.

            “Andrea, tenangkan dirimu !” Dokter Rio berteriak penuh kecemasan.

            Tiba-tiba aku merasakan suara dengungan didalam kepalaku, semakin aku berusaha mendengarkan dengungan itu semakin terasa semakin jelas suaranya, sayup-sayup kudengar suara nyanyian, semakin lama suara itu semakin jelas dan semakin jelas.

            “Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday happy birthday happy birthday to you…” itu suara kakak perempuanku saat merayakan ulang tahunku yang ke empat, dia menegakkan sebatang lilin di atas sepotong kue dan menyuruhku meniupnya, lalu dia menutup mataku dan begitu mataku dibuka, aku mendapati sebuah mainan kereta api diatas meja, dia mengatakan bahwa mainan itu adalah hadiah ulang tahun untukku yang berasal dari celengannya selama 4 bulan.

            Aku begitu bahagia dan langsung mencium kening kakak tunggalku itu lalu kakakkupun memelukku dengan perasaan sayang. Namun tiba-tiba, si brengsek itu datang dan merusak kebahagiaan kami. Ayahku yang baru saja menenggak minuman keras menghampiri kami dan membanting mainan kereta api itu hingga berkeping-keping, aku meratap menangis dan memohon tapi sia-sia, ayah menginjak mainan itu hingga benar-benar remuk.

            Tiba-tiba ayah menjambak rambut kakakku dan membentaknya dengan kata-kata kasar karna ayah mengira kakakku membeli mainan itu dari hasil mencuri. Ayah membenturkan kepala kakakku berkali-kali kelantai hingga darah berceceran, aku tidak memalingkan pandanganku saat peristiwa itu berlangsung, namun aku tak bisa berbuat apa-apa, aku takut dan bersembunyi di bawah meja sementara kakakku terus berteriak histeris, Aku diam membisu tercekat oleh rasa takut yang teramat sangat, hingga jeritan kakakku pun terhenti… untuk selamanya.

            “Aaaaaaaahh… aaaaaaaaahh… aaaahh…” Aku terus menjerit dan semakin keras, dan kulihat dokter Rio mulai panik.

            “Andrea, tenangkan dirimu,” kata dokter Rio berulang-ulang.

            “PRANGG !!” Piring yang berisi sarapanku jatuh kelantai dan berhamburan mengotori lantai.

            “Menyingkir kau dariku !!” Aku membentak dokter Rio.

            Aku mengangkat kursi tinggi-tinggi dengan kedua tanganku dan melemparkannya ke arah dokter Rio dan… “Brakk !!” tepat mengenai perutnya hingga ia terhuyung jatuh ke belakang.

            Aku mengangkat satu kursi lagi dan melemparkannya namun dia berhasil mengelak, aku mengangkat meja namun tak kuat sehingga meja itu ambruk di depanku, aku melemparkan buku-buku, pulpen, gelas dan apa saja ke arah dokter Rio.

            Suara keributan ini terdengar dari luar, tanpa dokter Rio harus meminta tolong, petugas keamanan yang berjumlah 8 orang telah berhamburan masuk ke bangsalku dan mengepungku. Aku melemparkan apa saja kearah mereka namun mereka telah berpengalaman dengan hal semacam ini.

            Salah satu dari mereka mendekapku dari belakang, belum sempat aku meronta, tiba-tiba 7 orang lainnya sudah memegangiku, aku kalah jumlah dan hanya bisa berteriak sekeras aku bisa.
“Hati-hati, jangan sampai pasienku terluka,” kata dokter Rio.

            Sebatang jarum bius sudah menancap di tanganku dan akupun berhenti meronta, lalu semuanya pun menjadi begitu gelap, aku terlelap.


l l l


            “Bang!! Bang!! Bang!!” Dengan penuh emosi, aku menggedor-gedor pintu sel tempat aku dikurung, aku terus memukulinya hingga tanganku sendiri berdarah namun tak ada satu petugaspun yang mempedulikanku.

            “Bang!! Bang!! Bang!!” Pintu sel ini terbuat dari besi yang benar-benar kokoh, sehingga berkali-kalipun aku memukulnya, pintu itu tidak lecet sedikitpun, justru kulit tangankulah yang mengelupas dan berdarah.

            Aku keletihan dan duduk dilantai sel yang dingin, aku meringkuk kedinginan dan membenamkan wajahku di dalam kedua tanganku. Tanpa terasa mataku mulai berair dan akupun menangis terisak-isak.

            Aku kembali mengenang masa laluku yang begitu menyakitkan. Aku memiliki seorang ibu yang kata orang sangat baik, namun sayangnya ibuku meninggal karna sakit ketika usiaku belum genap 5 bulan.

            Kejadian itu membuat ayahku benar-benar depresi dan membuatnya berubah menjadi tukang pukul yang kejam, aku dan kakak perempuanku selalu menjadi bulan-bulanannya karna bagi ayahku keberadaan kami berdua mengingatkannya pada ibuku yang sudah tiada.

            Ayah menjadi seorang pemabuk dan bergaul dengan preman-preman jalanan, setiap kali ia pulang kerumah dan melihatku atau kakakku, dia langsung meluapkan seluruh kekesalannya. Ayahku sangat membenci kami sebagaimana ia membenci ibu, ayah membenci ibu justru karna rasa cintanya yang berlebihan, ayah berpendapat bahwa seandainya ia tidak terlalu mencintai ibu maka dia pastilah tidak akan terlalu sakit hati saat kehilangannya.

            Namun aku mempunyai seorang kakak yang sangat menyayangiku yang selalu menghiburku dan mewarnai hidupku disaat kebencian ayah sedang memuncak, kakakku bersikap seolah ia adalah ibuku dan ia berusaha menggantikan ibuku, aku merasa bahwa aku benar-benar tidak bisa hidup tanpanya.

            Namun hal yang paling aku takutkan terjadi, akhirnya kakakku menyusul ibuku dan meninggalkanku dalam kesedihan dan ketakutan yang tiada tara. Aku masih ingat betul kejadian itu, gambaran itu masih terlihat jelas didalam kepalaku, aku bisa melihat tengkorak kakakku yang pecah dan otaknya yang berhamburan serta darah yang membanjiri lantai.

            Aku masih ingat betul bagaimana ayah terus membenturkan kepala kakakku yang sudah tak bernyawa, aku masih bisa mencium bau anyir dari darah kakakku, aku masih ingat betul kengerian yang menyelimuti seluruh ragaku dikala ayah memalingkan pandangannya kearahku yang sedang meringkuk ketakutan, dan aku masih ingat rasa sakit kala itu, dikala ayahku membanting tubuhku yang rapuh sampai aku kehilangan kesadaran.

            Untungnya ada seorang tetangga yang memergoki kejadian itu dan dia melarikanku ke rumah sakit sementara ayahku melarikan diri dari kejaran polisi. Aku dirawat oleh sebuah keluarga yang ternyata tidak menyayangiku, lalu akupun berpindah dari satu pengasuhan ke pengasuhan lain hingga aku remaja, semua orang membenciku sehingga akupun membenci mereka.

            Aku hidup dengan sebuah ambisi yang memuncak, yaitu menghabisi ayahku. Aku terus memburunya dan mencari berita tentang keberadaannya. Aku selalu membawa sebuah belati yang kuasah setiap sore dan aku sangat ingin menggunakannya untuk membedah usus-usus ayahku.

            Namun, nasib tidak berpihak padaku. Aku mendengar sebuah berita bahwa ayahku mengalami kecelakaan dalam pengejaran polisi, sebuah truk melindasnya hingga isi kepalanya berhamburan di jalanan, begitu mendengar kabar itu aku begitu terpukul dan menjerit sekeras-kerasnya, aku sangat sakit hati karna tidak bisa melampiaskan dendamku, aku tidak bisa menghujamkan belati itu keperut ayahku, aku tak akan pernah bisa melihat wajah ayahku yang kesakitan dan memohon-mohon padaku, aku mulai merasa kehilangan tujuan hidupku dan aku mulai kehilangan diriku, lalu… disinilah aku berada.


l l l



            Sudah 7 hari sejak aku mengamuk dan melampiaskan seluruh kekesalanku kepada dokter Rio, kini aku merasakan rasa bersalah yang teramat sangat, aku sangat takut dia membenciku karna perlakuanku kala itu, aku menghabiskan waktu didalam bangsal hari demi hari dalam kesendirian dan dalam kesedihan, ini adalah hari tergelap yang pernah aku rasakan, dibenci oleh orang yang aku sayangi.

            Tubuhku semakin kurus karna aku tidak memiliki nafsu makan, tubuhku pun semakin kotor karna aku menolak mandi. Aku menghabiskan hariku dengan berteriak-teriak sendiri, menangis, tertidur, mondar-mandir dan meringkuk di dekat lemari, lalu dengan jujur aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku menyesali apa yang aku lakukan pada dokter Rio, kini dia tidak akan mau lagi menemuiku, kini aku harus menanggung kesendirian dan kesedihan ini sampai mati atau… lebih baik aku mati sekarang saja?

            Ya, lebih baik aku mati sekarang saja agar aku terbebas dari segala kesengsaraan yang membelengguku, aku telah kehilangan arti hidupku, tapi… sebelum aku mati aku ingin melakukan satu hal, aku ingin melarikan diri dari sini dan mencari kuburan ayahku yang telah menyebabkan aku menjadi begini, lalu aku akan mengeluarkan jasadnya dan menguliti seluruh tubuhnya dan mencacah-cacah tubuhnya hingga kecil-kecil agar ayah yang sudah berada dialam lain sana merasakan rasa sakitnya, mungkin aku tidak bisa mendengarkan jeritannya maupun melihat rasa takutnya namun setidaknya aku telah melampiaskan dendamku, setelah itu, aku tidak peduli lagi apa yang akan terjadi.

            Aku tertawa sendiri ketika membayangkan adegan ketika aku harus membedah tubuh ayahku yang telah mati, dan aku akan terus menyiksanya sampai aku puas meski aku sendiri tidak tahu apakah aku bisa terpuaskan.

            “Ceklek !!” Tiba-tiba pintu bangsal terbuka ketika aku sedang asyik dalam lamunanku, aku tidak punya waktu untuk terkejut.

            Aku melihat dokter Rio berdiri diambang pintu dan berjalan kearahku, ketika melihatnya tiba-tiba seluruh kebencian yang menyelubungi diriku melepuh, aku melihatnya seperti sinar didalam kegelapan yang teramat pekat.

            Namun ketika aku melihat perban yang melekat di tangan kanannya aku menjadi begitu lemas, rasa bersalah yang teramat sangat menyiksaku dari dalam, “dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya, dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya, dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya,” kata-kata itu terus berdengung didalam kepalaku hingga aku merasakan himpitan yang luar biasa.

            “Aaaaaaahh… aaaaaaahh… aaaaaaaahh…” aku mulai meringis kesakitan.

            “Andrea,” dokter Rio berbicara dengan begitu tenang, “aku memahami kejadian waktu itu, kau hanya kehilangan kendalimu, namun aku tahu bahwa kejadian itu takkan kembali terulang karna aku tahu bahwa kau menyayangiku, dan, tanpa harus kau meminta maaf padaku, aku… telah memaafkanmu, dan sedikitpun aku tidak membencimu.”

            Sebuah senyuman tulus yang terukir disela bibir dokter Rio ibarat hembusan angin musim semi bagiku, seolah seluruh beban didalam kepalaku melebur dalam seketika sehingga rasa sakit didalam kepalaku menghilang, aku merasa begitu nyaman, aku merasa begitu tenang, dan akupun tersenyum.

            “Benarkah? Dokter sudah memaafkanku dan tidak menaruh dendam sedikitpun kepadaku?”

            “Tentu saja, aku melakukan yang terbaik bagi diriku dan bagi dirimu, karna aku tahu bahwa kebencian itu tidak dapat membuatku bahagia, karna aku tahu bahwa dendam itu adalah siksaan batin yang takkan pernah dapat terpuaskan oleh apapun.”

            Aku merasa tidak pernah mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari pada ini selama hidupku, aku mendapatkan pencerahan dan akupun mulai mengerti arti dari sebuah kasih sayang dan pemaafan, dan akupun mulai menemukan cahaya harapan yang akan menerangi seluruh langkahku.

            Kami berbicara sana-sini dan sesekali dokter Rio menyisipkan sedikit lelucon yang membuatku terpaksa tertawa. Dokter Rio mengatakan padaku bahwa dia akan mengajakku jalan-jalan keluar dan sekarang dia sedang sibuk mengurus izinnya. Namun untuk hal itu dia memerlukan kerjasama dariku, aku harus bersikap baik selama dua minggu kepada semua orang yang berhubungan denganku, aku harus menambahkan point-pointku dan menaikkan grafikku keatas, yang itu artinya aku harus mau mandi, sarapan tepat waktu, merapikan tempat tidur dan berkomunikasi dengan semua orang. 

            “Aku akan melakukannya dokter, aku akan melakukan hal terbaik yang bisa aku lakukan.”

            “Jika nanti kau telah sembuh, aku akan memperkenalkanmu dengan sebuah keluarga yang dikenal sangat bijaksana, mereka telah berpengalaman berurusan dengan orang-orang yang memiliki gangguan jiwa, mereka juga tidak hanya mengurusmu namun juga akan melatihmu dan memberikanmu pekerjaan agar kau tidak terlalu tergantung pada mereka, selain itu tentu saja kau harus mengejar ketertinggalanmu di Sekolah, mereka akan memasukkanmu ke SMP, kurasa tidak akan menjadi masalah jika kau menjadi siswa tertua dikelasmu asalkan kau bisa menunjukkan kualitasmu, mengingat usiamu yang sudah 15 tahun seharusnya kau sudah kelas 3 tapi tidak mengapa jika kau harus memulai dari kelas 1, sepulang sekolah akan ada les tambahan buatmu agar kau lebih bisa memahami pelajaran di kelas dengan baik. Aku akan mengatakan pada gurumu bahwa dulu kau terlalu sibuk bekerja sehingga kau tertinggal, yang penting takkan ada satupun orang yang tahu rahasiamu,dan takkan ada satu orangpun yang akan mengira bahwa dari sinilah kau berasal. Kau bisa memulai hidupmu yang baru dan memiliki kehidupan yang normal dan selanjutnya… masa depan ada ditanganmu.”

            Kebahagiaan membuncah memenuhi relung jiwaku dan meledak begitu saja, aku berjingkrak-jingkrak penuh kesenangan mendengar kabar yang seolah datang dari langit.


l l l



            Dua minggu telah berlalu, aku melakukan apa-apa sesuai yang disarankan dokter Rio sampai-sampai para perawat terkejut melihat perkembanganku, berbagai pujian dilontarkan padaku ketika para Psikiater melihat catatanku, mereka menjabat tanganku dan tersenyum padaku, akupun mulai terbiasa untuk berkomunikasi dengan mereka sehingga tak ada orang yang merasa takut lagi kepadaku. Ternyata benar apa yang dikatakan dokter Rio padaku, jika aku memandang orang lain disekitarku adalah orang baik maka merekapun akan menyesuaikan diri dengan persepsiku.

            Aku dibelikan sebuah baju dan celana baru yang sangat bagus dan disetrika licin oleh perawat, aku bahkan sudah boleh keluar masuk bangsal sesuka hati. Kini aku sedang menunggu kedatangan dokter Rio yang selama dua minggu ini tidak menemuiku.

            Aku berpenampilan dan bersikap seperti halnya remaja pada umumnya, aku sedang asyik berbincang dengan seorang penghuni bangsal dan berusaha membesarkan hatinya ketika akhirnya dokter Rio mendatangiku dan mengajakku keluar seperti yang dijanjikan.

            Kami berjalan-jalan di Mall dan bermain di Time Zone seperti halnya ayah dengan putranya, kami juga menikmati makan siang di KFC, selain itu dokter juga mengajariku sedikit demi sedikit etika berkomunikasi dan bergaul, hari ini benar-benar hari terindah yang pernah kurasakan, aku sangat bahagia.

            Sore harinya aku mengajak dokter ke rumahku yang telah aku tinggalkan selama 11 tahun, kini keadaannya telah banyak berubah, dinding-dindingnya pecah, rumput liar tumbuh disana sini, pintu kayunya telah pecah dan lapuk disantap rayap, kaca jendela banyak yang pecah, genteng rumah juga sudah banyak yang berjatuhan, isi rumah sudah menghilang entah kemana.     

            Aku mengajak dokter Rio melihat-lihat rumahku sambil menceritakan hal-hal yang pernah terjadi didalam rumah ini, ketika kami berada di kamar mandi aku menceritakan tentang bagaimana dulu kepalaku dibenamkan didalamnya, ketika kami berada didapur aku menceritakan tatkala ayahku memukuliku dan kakakku tanpa ampun, setiap ruangan memiliki cerita tersendiri.

            Akhirnya kami tiba digudang, aku menceritakan secara detail dan lengkap kejadian paling tragis yang pernah terjadi didalam ruangan ini, aku menceritakan tentang hadiah ulang tahunku yang dihancurkan oleh ayahku, tentang darah yang berceceran, tentang jeritan kakakku yang akhirnya terhenti, dan tentang semua ketakutan yang kurasakan.

            Hari sudah menjelang malam ketika dokter Rio mengajakku pergi kesebuah pemakaman dengan mobilnya, tepat dibawah pohon Kamboja aku melihat makam yang benar-benar tidak terurus, rumput liar tumbuh di atasnya menampilkan kesan angker.

            “Ini adalah tempat dimana ayahmu dikuburkan,” gumam dokter Rio.

            Tubuhku bergetar dan rasa dingin menjalar disekujur tubuhku, jantungku berdebar dua kali lebih cepat dan gigiku gemeletuk. Aku diam membisu tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun seolah waktupun ikut membeku.

            Aku merenungkan kenangan masa laluku dan seluruh kebencianku meluap menghimpit dadaku, lalu aku menghirup udara sore yang dingin kedalam paru-paruku hingga benar-benar penuh dan menghembuskannya dengan perlahan.

            “Ayah…” kataku, “tidak ada makhluk yang paling aku benci dimuka bumi ini melebihi kebencianku padamu, dan kebencian ini benar-benar menyakitkan, selama ini aku memendamnya dan membiarkan rasa sakit menjalar keseluruh tubuhku.”

            “Ayah…” kataku, “kini aku mulai memahamimu, aku memahami kebencianmu terhadap dunia yang kau anggap tidak lagi adil, namun ayah, Tuhan tidak akan ditanyai tentang apa yang diperbuat-Nya terhadap makhluk yang diciptakan-Nya namun makhluk ciptaan-Nyalah yang nantinya akan ditanyai tentang bagaimana mereka menyikapi setiap ujian yang menimpanya.”

            “Namun ayah,” kataku, “hidup ini adalah pilihan, takdir hidup itu terletak ditangan kita sendiri yang jika kita bisa menyikapinya secara bijak maka akan berbuah manis pada akhirnya. Apakah ayah tahu? Aku tidak beda dengan ayah, ayah menganggap dunia memperlakukan ayah secara tidak adil sehingga ayahpun melampiaskan kekesalan dan kebencian ayah kepadaku, sebagaimana aku melampiaskan kebencianku kepada semua orang yang ada disekitarku karna perbuatan ayah.”

            “Suatu saat mungkin, ada orang yang tertimpa kebencianku sebagaimana kebencian ayah yang dilampiaskan kepadaku sehingga kebencian itu akan terus berjalan seperti mata rantai, orang yang menjadi pelampiasan kebencianku juga akan melampiaskan kebenciannya kepada orang lain, jika begitu maka rantai kebencian itu akan terus merambat sehingga dunia akan dipenuhi dengan kebencian dan dendam.”

            “Namun ayah, aku ingin merusak mata rantai itu, aku takkan melampiaskan kebencian dan dendamku dan membiarkan dunia berjalan dengan damai karna aku tahu bahwa kebencian dan dendam itu tidak akan sembuh dengan pelampiasan, namun kebencian dan dendam itu akan melebur dengan pemaafan.”

            Aku menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, lalu kurasakan dokter Rio menaruh tangannya kebahuku, aku terdiam sejenak dan kemudian berkata, “ayah, aku tidak lagi peduli dengan kekejaman yang pernah ayah lakukan terhadapku, aku tidak lagi peduli dengan apa yang telah terlanjur terjadi. Ayah, aku hanya ingin mengatakan bahwa… aku memaafkanmu, aku memaafkan semua kesalahan ayah dari yang terkecil hingga yang terbesar tanpa sisa.”


"Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (Surah Al-Imran:Ayat 134)



Magelang, 3 Oktober 2010

 
biz.