Awan mendung bergumul menjadi satu paduan. Gelap melingkup di langit sana, juga di langit hatiku. Gemuruh menggema, menggaung ke seantero kolong langit. Meneriakkan angkara kemarahan. Membuat bocah-bocah manusia menggigil takut dibawah hamparan selimut dengan kedua telapak tangan menempel di sisi telinga.
Sebutir air melesat dari nirwana. Membelah angin. Jatuh pasrah
menghujam bumi dan hancur berkeping. Dan tiba-tiba segerombolan besar
butiran menyusul jatuh dengan serentak. Puluhan, ratusan, ribuan… oh
bukan, bahkan jutaan butiran air langit berhamburan jatuh melingkupi
bumi. Terus menerus tiada henti. Basahi kegersangan. Membuat rerumputan
dan pohon bersorak sorai menyambut kedatangannya.
Kurebahkan punggungku di sandaran kursi teras rumah dalam tatapan beku
menatap hampar pelataran yang mulai menggenang. Gemeritik air hujan
menabuh genting rumahku, hancurkan sepi. Sesekali angin bertiup kencang,
membelai rambut hitamku dengan lancang. Nuansa dingin merasuk ke dalam
sunsum tulangku, getarkan bulu roma. Jaket kulit mahal yang kupakai tak
sanggup menahan terpaan musim.
Manis melekat basahi lidah ketika Kopi panas kental menyentuh sensor
lidahku. Hangat menerabas masuk ke usus membuat tubuhku dapat bertahan
melawan serbuan dingin. Kuhambat udara di persimpangan paru-paruku dalam
lima ketukan detak jarum jam. Lalu kuhembuskan dengan helaan nafas
panjang. Otakku berpacu keras, berduel sengit dengan gelombang nafsu
yang melingkupi.
“Sepandai-pandai lelaki dapat takluk dihadapan sebodoh-bodoh wanita,”
pesan Pak Ustadz masih melekat erat di benakku. Ya. Aku tahu itu. Aku
paham akan hal itu. Bahkan sang Rosul tercinta seringkali berpesan
kepada umatnya untuk berhati-hati terhadap godaan wanita.
“Hati-hatilah kalian terhadap dunia. Hati-hatilah kalian terhadap wanita.”
Jika otakku sehat dan nalar. Pasti aku akan menuruti nasehat-nasehat
indah tersebut. Aku adalah seorang aktifis Islam. Pengemban risalah
dakwah. Di langit aku memiliki kehormatan. Dimana para Malaikat
membanggakanku. Dimana para bidadari langit terpesona olehku. Apakah aku
begitu bodoh melepaskan mahkota kehormatanku itu hanya demi makhluk
lemah bernama wanita?
Nur. Berarti cahaya. Tapi Nur yang ini tidak menerangiku, justru
keberadaannya bisa menjerumuskanku. Aku tahu, dia bukanlah kriteria yang
cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Dia bukanlah seorang akhwat
yang memiliki komitmen untuk memperjuangkan Islam. Paras wajahnyapun
biasa saja. Ya, dia memang manis. Ya, dia memang mempesona. Entah ajian
apa yang dia miliki sehingga banyak lebah mengerubunginya.
Dan aku? Meskipun tidak secara terang-terangan, aku tidak bisa
menafikkan perasaanku bahwa akupun terpikat olehnya. “Bodoh !!”, “Gila
!!” umpatan-umpatan semacam itu sering terlontar dari akal sehatku.
Namun aku menulikan diri dan bersikap masa bodoh.
Aku bukan tidak tahu bahwa Nur adalah seorang gadis yang sering
mempermainkan perasaan para lelaki. Sudah tak terhitung berapa banyak
pria merana karna tingkahnya. Aku bukan tidak pernah melihat Nur sering
bergandengan tangan dengan lelaki. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dia
sering berboncengan dengan pemuda yang selalu berganti wajah dan
namanya.
Apakah aku begitu bodoh membiarkan diriku, seorang ihwan yang sering
mengikuti kajian dan aktif dalam beragam gerakan dakwah, teronggok tak
berdaya di dalam rak tempat Nur mengumpulkan barang koleksinya? Entah
setan apa yang telah memperdayakanku hingga aku bisa sebegini buta.
Bahkan Samson yang perkasa bisa roboh dihadapan Delilah. Apalagi aku
yang ringkih ini.
Dadaku bergemuruh. Sesak terasa menghimpit paru-paru. Kututup kelopak
mataku sepersekian detik, ketika mata terbuka, lembab membungkus kornea
mataku. Seiring jatuhnya hujan ke muka bumi, jatuh pula setetes embun
dimataku. Mengalir perlahan menyisir pipiku, bersama hembus nafasku yang
mulai sesenggukan.
Bagaimana dengan kedudukan muliaku di langit? Para Malaikat yang
dulunya membanggakanku pasti kini mencemoohku. Mahkota izzah-ku
telah direnggut. Bidadari langitpun kehilangan selera terhadapku.
Tahtaku dilangit telah dicabut. Kini aku tidak lebih mulia dari seekor
cacing yang menggeliat di genangan selokan.
Hembusan alam menyiksaku dalam kebekuan. Aku tak peduli. Bahkan jika
aku sakit karnanya, aku tak peduli. Biar saja tubuh dan jiwaku
digerogoti kesenduan kemudian terbaring tak berdaya. Aku tak peduli. Aku
benar-benar tak peduli lagi.
“Nur…” aku menggumam lirih menyebut namanya, si algojo haus darah yang
telah menorehkan beragam luka di hatiku. Yang menghancurkan harga
diriku. Yang menjatuhkan martabatku dilangit dan di bumi. Seorang
makhluk tak berdaya bernama wanita telah sukses merobohkanku, seorang
pengemban risalah yang biasa berteriak lantang di podium.
Sakit sekali dada ini. Ada apa denganku? Padahal tidak ada hubungan
yang istimewa antara aku dengan Nur. Aku patah hati padahal aku bukan
orang yang baru putus cinta. Nur bahkan tidak tahu bahwa namanya telah
melekat erat dihatiku. Nur sama sekali tidak tahu menahu bahwa
keberadaannya telah menghancurkanku.
“Aku adalah sahabatmu,” suara Nur yang begitu merdu masih terngiang di telingaku.
“Teman biasa. Tidak lebih dan tidak kurang.” Jawabku.
Nur tersenyum manis, membuai diriku melambung ke gerbang nirwana. Lalu
tangan kanannya dijulurkan padaku agar aku bisa menjabatnya sebagai
tanda persahabatan.
“Maaf. Bukan muhrim.” Jawabku singkat, aku mencoba mengusir rasa
bersalah karna menolak menjabat tangannya. Nur menarik kembali tangannya
dan tersenyum maklum.
Bayang dirinya senantiasa mengusik malam-malamku. Tak bisa kusangkal
bahwa ketika aku begitu dekat dengannya, aku merasa nyaman. Ada sedikit
rasa gugup memang, meski aku selalu menyembunyikannya dan berusaha untuk
bersikap wajar. Mungkin karna aku jarang bergaul dengan kaum Hawa, maka
hal yang biasa saja menjadi begitu berkesan bagiku.
Dophamine-ku selalu mengaliri darahku ketika terbayang pikiranku padanya. Candu ini jelas lebih kuat dari candu Narkoba, membuatku sakhaw
akan asmara. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, bahkan Sholatpun
tak bisa khusyu’. Selalu wajahnya yang hadir di pelupuk mataku.Namun,
sekuat tenaga aku berusaha agar tidak seorangpun tahu seberapa besar
perasaanku pada Nur. Biarlah aku pendam sendiri. Biarlah rasa ini
mengeroposkan kekuatanku tanpa ada yang tahu.
Tidak mungkin aku menceritakan kebodohanku ini pada teman-temanku yang
rata-rata adalah aktifis dakwah yang hebat. Mau ditaruh dimana wajahku
jika mereka tahu bahwa aku yang aktif meneriakkan syiar Islam jatuh hati
pada seorang playgirl?
Aku mencoba bungkam seribu bahasa tatkala mereka bertanya tulus
tentang permasalahanku. Padahal ingin sekali aku menceritakan masalahku
untuk mengurangi beban pikiranku yang terlalu berat.
“Shofwan, kok kamu sering gak masuk. Ada apa?” begitu bunyi SMS yang
masih belum ku delete dari inbox. SMS dari Nur ketika aku sering tidak
masuk Sekolah. Aku tidak membalas SMS itu, padahal ingin sekali aku
mengatakan, “aku sakit gara-gara kamu, tahu!!”
Ketika aku bertemu dengannya, aku berusaha mengacuhkannya agar dia
menjauh dariku sehingga pikiranku tentangnya pudar. Dengan begitu aku
akan kembali pada kehidupanku yang dulu. Tapi ketika dia benar-benar
bertemu denganku, aku luluh juga. Keceriaannya, senyumannya, tingkah
polahnya membuatku selalu gagal untuk menjauhinya. Aku ingin dekat
dengannya. Ingin selalu dekat dengannya. Karna tanpanya hidupku kosong.
Karna tanpanya hatiku hampa.
Seperti biasa, aku hanya menanggapinya sepatah – dua patah kata. Meski
sebenarnya aku ingin sekali bisa berlama-lama dengannya. Ingin sekali
aku menambah topik pembicaraan ketika pembicaraan kami hampir usai. Tapi
tidak mungkin. Aku harus menjaga namaku sebagai seorang aktifis. Jangan
sampai fitnah terhembus ke lubang telinga anak-anak manusia.
Hidupku menjadi terasa begitu sepi tanpa keberadaannya. Rasa rindu yang
tak wajar sering merasuk lewat mimpi malamku. Kadang rindu itu sedikit
terobati ketika di pagi Shubuh HP-ku bergetar dan kubaca sebuah SMS
singkat dari Nur, “bangun kawan, sudah shubuh nih.”
Aku tidak membalas SMS itu. Aku tidak boleh membalasnya. Berkali-kali
SMS darinya masuk namun tidak kubalas. Kadang menanyakan kabar. Kadang
hanya mengirim kata-kata bijak pembangkit semangat. Mungkin karna bosan,
dia berhenti mengirim SMS padaku. Selama tiga hari tidak ada SMS masuk
darinya dan tiba-tiba hatiku merasa galau. Entah kenapa, aku sangat
takut jika dia mulai melupakanku.
Tanpa tahu mengapa, tiba-tiba terkirim SMS dari HP-ku, hanya sebuah
kata-kata bijak. Seharusnya aku tidak boleh mengirim SMS tidak penting
kepada seorang gadis, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku merindukan
SMS darinya. Sejak itu, SMS darinya mulai berdatangan lagi. Kali ini aku
terkadang membalasnya dengan ramah.
Hati nuraniku kubiarkan mencaci makiku ketika aku mulai sering bermain
SMS dengannya. Aku mulai mencoba dekat dengannya. Kadang kami chatting,
kadang lewat SMS. Namun ketika kami bertemu secara langsung, aku diam
seribu bahasa. Aku hanya berani bergerilya di dunia maya.
Akupun mulai mengenalnya lebih jauh. Tentang emosinya, tentang
cita-citanya, tentang kesedihannya. Akupun mulai membuka diriku dan
menceritakan beberapa hal tentang diriku. Kami menjadi akrab di dunia
maya, meskipun aku tetap menjauh di dunia nyata. Tidak boleh seorangpun
tahu. Jangan sampai racun-racun fitnah terhembus.
Pernah ketika di pagi hari hatiku berbunga, tiba-tiba sorenya hatiku
remuk redam. Tentu saja bagi Nur, bergaul akrab dengan para pemuda
adalah perkara biasa. Bergandengan, merangkul dan sentuhan fisik dengan
lawan jenis adalah prilakunya sehari-hari. Tapi aku memandangnya sebagai
suatu perkara besar dan berat. Aku tidak tahu perasaan macam apa ini.
Yang pasti, ada rasa cemburu yang luar biasa. Sementara itu, Nur tidak
tahu menahu perasaanku. Dia tidak tahu bahwa dia menghancurkanku karna
perbuatan yang dia anggap biasa saja.
Aku marah. Tapi pada siapa. Aku pun mulai menjauhi Nur. Membiarkan
diriku disiksa oleh suara-suara nurani. Kali ini aku tidak bisa
membungkamnya, kali ini aku tidak bisa pura-pura tidak mendengar. Hatiku
sudah terlalu sakit dan kecewa. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku
mencintai gadis seperti Nur yang bahkan tidak bisa menjaga izzah-nya. Yang bertabaruj. Yang dengan bebas tanpa rasa bersalah ikhtilat dengan lawan jenis.
Pendamping hidupku adalah kehormatanku. Jika aku terpikat oleh gadis semacam Nur, itu berarti aku merendahkan izzah-ku.
Aku tidak rela namaku tercoret dari daftar buku langit. Aku adalah
seorang pembawa risalah Islam. Allah membeli jiwaku dengan kemuliaan,
bagaimana mungkin aku malah menjual jiwaku dengan harga rendah kepada playgirl macam Nur. Itu terlalu bodoh.
Rintik hujan diam membisu. Langit usai tunaikan tugasnya. Rerumputan
pun sudah kenyang menghirup nutrisi. Samar-samar terang mentari mulai
mengintip dari celah mega, menyemburatkan cerah warna pelangi. Begitu
elok nan mempesona.
“Langit seolah kembali hidup setelah mati,” gumamku, “begitu pula
kehidupanku. Aku harus bangkit kembali setelah terpuruk. Aku tidak boleh
terlalu lama terkungkung dalam kesedihan. Ada banyak hal yang harus
dikerjakan. Tugas-tugas dakwah menumpuk. Menunggu untuk diselesaikan.
Seiring waktu berlalu, dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak
berhubungan lagi dengan Nur. Aku pindah ke Sekolah lain. Aku mengganti
nomer HP-ku. Memblokir nama Nur dari daftar pertemanan di FB. Meski
sakit terasa merobek hatiku. Meski nafsu ini terus meronta dalam
jeritan, mengganggu ketenangan lelapku.
Hingga akhirnya akupun terbiasa tanpa keberadaan Nur. Aku berhasil
melupakannya. Aku tidak peduli bagaimana perasaan Nur. Aku tidak peduli
jika dia sakit hati padaku karna aku memutuskan komunikasi dengannya.
Sekarang aku benar-benar memfokuskan pikiranku dengan permasalahan
ummat.
Aku kembali mengeluarkan pedang dari sarungnya. Beradu denting dengan
virus pemikiran perusak aqidah. Menggempur dan menahan arus Sekularisme,
Pluralisme dan Liberalisme yang semakin meluas hingga pemukiman.
Terkadang kalah, terkadang menang. Namun aku terus berusaha bangkit tiap
terjatuh. Karna Allah dan Rosul bersamaku.
Para malaikat kembali mempopulerkan namaku, memperbincangkanku siang
malam dalam majelis. Sekumpulan bidadari langit berkerumun melihat
aksiku dan terpukau olehku. Tentu saja, aku masih belum ada apa-apanya.
Apalagi jika dibandingkan sahabat Mush’ab bin Umair. Jutaan orang
sepertiku berkumpul menjadi satu sekalipun belum ada sebutir debu
derajatnya dibandingkan beliau.
Bumi tiada henti berputar pada porosnya. Hingga tahun Masehi berganti.
Kulepaskan bangku SMA bersama datangnya hari kelulusanku. Nilaiku
membuatku bernafas lega. Mantap kulangkahkan kakiku memasuki gerbang
sebuah Universitas ternama dan menjalani seleksi.
Akhirnya tiba hari yang dinanti. Dengan ritme nafas yang masih
berantakan dan sekujur tubuh yang banjir peluh aku berlari menuju papan
pengumuman yang ramai dipadati calon Mahasiswa baru. Aku merangsek masuk
untuk melihat lebih dekat. Dengan harap-harap cemas kutelusuri barisan
nama. Senyum mengembang menghias bibirku tatkala kudapati namaku
tercantum didalamnya.
“Sofwan. Itu benar kau kan?” tiba-tiba suara merdu yang sangat kukenal
terdengar dari arah belakang. Jantungku melompat. Ketakutan mencekam.
Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutanku. Aku menoleh kebelakang dan
mendapatinya. Nur Alissa.
Wajah itu masih sama. Begitu manis dan memikat. Ada rasa senang. Ada
rasa bersalah. Rasa ini campur aduk seperti adonan. Ketenangan dan rasa
nyaman menaungi gemuruh hatiku. Tatkala kulihat seberkas senyum di
wajahnya yang teduh, bala tentara iblis melepaskan rantai-rantai nafsu
satu demi satu. Sehingga nafsu ini bebas berkeliaran tak tentu arah.
Samar-samar kulihat utusan Dewi Asmara mengintaiku dari balik
pepohonan. Bersiap melontarkan panah asmara ke jantung hatiku. Semerbak
harum berhembus bersama alunan sepoi. Menyemikan taburan bunga di lubuk
hatiku. Panah Cupid dilontarkan tepat ke jantung hatiku. Dan
syetan-syetan laknat tertawa senang tatkala akal sehatku terhalang kabut
hitam nan pekat.
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari fitnah dunia. Aku berlindung kepadamu dari fitnah wanita.”
Depok, 24 Juli 2012
0 comments:
Post a Comment