Saturday 7 November 2015

Cerpen : Goresan Izzah

          




           Awan mendung bergumul menjadi satu paduan. Gelap melingkup di langit sana, juga di langit hatiku. Gemuruh menggema, menggaung ke seantero kolong langit. Meneriakkan angkara kemarahan. Membuat bocah-bocah manusia menggigil takut dibawah hamparan selimut dengan kedua telapak tangan menempel di sisi telinga.

                Sebutir air melesat dari nirwana. Membelah angin. Jatuh pasrah menghujam bumi dan hancur berkeping. Dan tiba-tiba segerombolan besar butiran menyusul jatuh dengan serentak. Puluhan, ratusan, ribuan… oh bukan, bahkan jutaan butiran air langit berhamburan jatuh melingkupi bumi. Terus menerus tiada henti. Basahi kegersangan. Membuat rerumputan dan pohon bersorak sorai menyambut kedatangannya.

                Kurebahkan punggungku di sandaran kursi teras rumah dalam tatapan beku menatap hampar pelataran yang mulai menggenang. Gemeritik air hujan menabuh genting rumahku, hancurkan sepi. Sesekali angin bertiup kencang, membelai rambut hitamku dengan lancang. Nuansa dingin merasuk ke dalam sunsum tulangku, getarkan bulu roma. Jaket kulit mahal yang kupakai tak sanggup menahan terpaan musim.

                Manis melekat basahi lidah ketika Kopi panas kental menyentuh sensor lidahku. Hangat menerabas masuk ke usus membuat tubuhku dapat bertahan melawan serbuan dingin. Kuhambat udara di persimpangan paru-paruku dalam lima ketukan detak jarum jam. Lalu kuhembuskan dengan helaan nafas panjang. Otakku berpacu keras, berduel sengit dengan gelombang nafsu yang melingkupi.

                “Sepandai-pandai lelaki dapat takluk dihadapan sebodoh-bodoh wanita,” pesan Pak Ustadz masih melekat erat di benakku. Ya. Aku tahu itu. Aku paham akan hal itu. Bahkan sang Rosul tercinta seringkali berpesan kepada umatnya untuk berhati-hati terhadap godaan wanita.

                “Hati-hatilah kalian terhadap dunia. Hati-hatilah kalian terhadap wanita.”

                Jika otakku sehat dan nalar. Pasti aku akan menuruti nasehat-nasehat indah tersebut. Aku adalah seorang aktifis Islam. Pengemban risalah dakwah. Di langit aku memiliki kehormatan. Dimana para Malaikat membanggakanku. Dimana para bidadari langit terpesona olehku. Apakah aku begitu bodoh melepaskan mahkota kehormatanku itu hanya demi makhluk lemah bernama wanita?

                Nur. Berarti cahaya. Tapi Nur yang ini tidak menerangiku, justru keberadaannya bisa menjerumuskanku. Aku tahu, dia bukanlah kriteria yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Dia bukanlah seorang akhwat yang memiliki komitmen untuk memperjuangkan Islam. Paras wajahnyapun biasa saja. Ya, dia memang manis. Ya, dia memang mempesona. Entah ajian apa yang dia miliki sehingga banyak lebah mengerubunginya.

                Dan aku? Meskipun tidak secara terang-terangan, aku tidak bisa menafikkan perasaanku bahwa akupun terpikat olehnya. “Bodoh !!”, “Gila !!” umpatan-umpatan semacam itu sering terlontar dari akal sehatku. Namun aku menulikan diri dan bersikap masa bodoh.

                Aku bukan tidak tahu bahwa Nur adalah seorang gadis yang sering mempermainkan perasaan para lelaki. Sudah tak terhitung berapa banyak pria merana karna tingkahnya. Aku bukan tidak pernah melihat Nur sering bergandengan tangan dengan lelaki. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dia sering berboncengan dengan pemuda yang selalu berganti wajah dan namanya.

                Apakah aku begitu bodoh membiarkan diriku, seorang ihwan yang sering mengikuti kajian dan aktif dalam beragam gerakan dakwah, teronggok tak berdaya di dalam rak tempat Nur mengumpulkan barang koleksinya? Entah setan apa yang telah memperdayakanku hingga aku bisa sebegini buta. Bahkan Samson yang perkasa bisa roboh dihadapan Delilah. Apalagi aku yang ringkih ini.

                Dadaku bergemuruh. Sesak terasa menghimpit paru-paru. Kututup kelopak mataku sepersekian detik, ketika mata terbuka, lembab membungkus kornea mataku. Seiring jatuhnya hujan ke muka bumi, jatuh pula setetes embun dimataku. Mengalir perlahan menyisir pipiku, bersama hembus nafasku yang mulai sesenggukan.

                Bagaimana dengan kedudukan muliaku di langit? Para Malaikat yang dulunya membanggakanku pasti kini mencemoohku. Mahkota izzah-ku telah direnggut. Bidadari langitpun kehilangan selera terhadapku. Tahtaku dilangit telah dicabut. Kini aku tidak lebih mulia dari seekor cacing yang menggeliat di genangan selokan.

                Hembusan alam menyiksaku dalam kebekuan. Aku tak peduli. Bahkan jika aku sakit karnanya, aku tak peduli. Biar saja tubuh dan jiwaku digerogoti kesenduan kemudian terbaring tak berdaya. Aku tak peduli. Aku benar-benar tak peduli lagi.

                “Nur…” aku menggumam lirih menyebut namanya, si algojo haus darah yang telah menorehkan beragam luka di hatiku. Yang menghancurkan harga diriku. Yang menjatuhkan martabatku dilangit dan di bumi. Seorang makhluk tak berdaya bernama wanita telah sukses merobohkanku, seorang pengemban risalah yang biasa berteriak lantang di podium.

                Sakit sekali dada ini. Ada apa denganku? Padahal tidak ada hubungan yang istimewa antara aku dengan Nur. Aku patah hati padahal aku bukan orang yang baru putus cinta. Nur bahkan tidak tahu bahwa namanya telah melekat erat dihatiku. Nur sama sekali tidak tahu menahu bahwa keberadaannya telah menghancurkanku.

                “Aku adalah sahabatmu,” suara Nur yang begitu merdu masih terngiang di telingaku.

                “Teman biasa. Tidak lebih dan tidak kurang.” Jawabku.

                Nur tersenyum manis, membuai diriku melambung ke gerbang nirwana. Lalu tangan kanannya dijulurkan padaku agar aku bisa menjabatnya sebagai tanda persahabatan.

                “Maaf. Bukan muhrim.” Jawabku singkat, aku mencoba mengusir rasa bersalah karna menolak menjabat tangannya. Nur menarik kembali tangannya dan tersenyum maklum.

                Bayang dirinya senantiasa mengusik malam-malamku. Tak bisa kusangkal bahwa ketika aku begitu dekat dengannya, aku merasa nyaman. Ada sedikit rasa gugup memang, meski aku selalu menyembunyikannya dan berusaha untuk bersikap wajar. Mungkin karna aku jarang bergaul dengan kaum Hawa, maka hal yang biasa saja menjadi begitu berkesan bagiku.

                Dophamine-ku selalu mengaliri darahku ketika terbayang pikiranku padanya. Candu ini jelas lebih kuat dari candu Narkoba, membuatku sakhaw akan asmara. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, bahkan Sholatpun tak bisa khusyu’. Selalu wajahnya yang hadir di pelupuk mataku.Namun, sekuat tenaga  aku berusaha agar tidak seorangpun tahu seberapa besar perasaanku pada Nur. Biarlah aku pendam sendiri. Biarlah rasa ini mengeroposkan kekuatanku tanpa ada yang tahu.

                Tidak mungkin aku menceritakan kebodohanku ini pada teman-temanku yang rata-rata adalah aktifis dakwah yang hebat. Mau ditaruh dimana wajahku jika mereka tahu bahwa aku yang aktif meneriakkan syiar Islam jatuh hati pada seorang playgirl? Aku mencoba bungkam  seribu bahasa tatkala mereka bertanya tulus tentang permasalahanku. Padahal ingin sekali aku menceritakan masalahku untuk mengurangi beban pikiranku yang terlalu berat.

                “Shofwan, kok kamu sering gak masuk. Ada apa?” begitu bunyi SMS yang masih belum ku delete dari inbox. SMS dari Nur ketika aku sering tidak masuk Sekolah. Aku tidak membalas SMS itu, padahal ingin sekali aku mengatakan, “aku sakit gara-gara kamu, tahu!!”

                Ketika aku bertemu dengannya, aku berusaha mengacuhkannya agar dia menjauh dariku sehingga pikiranku tentangnya pudar. Dengan begitu aku akan kembali pada kehidupanku yang dulu. Tapi ketika dia benar-benar bertemu denganku, aku luluh juga. Keceriaannya, senyumannya, tingkah polahnya membuatku selalu gagal untuk menjauhinya. Aku ingin dekat dengannya. Ingin selalu dekat dengannya. Karna tanpanya hidupku kosong. Karna tanpanya hatiku hampa.

                Seperti biasa, aku hanya menanggapinya sepatah – dua patah kata. Meski sebenarnya aku ingin sekali bisa berlama-lama dengannya. Ingin sekali aku menambah topik pembicaraan ketika pembicaraan kami hampir usai. Tapi tidak mungkin. Aku harus menjaga namaku sebagai seorang aktifis. Jangan sampai fitnah terhembus ke lubang telinga anak-anak manusia.

                Hidupku menjadi terasa begitu sepi tanpa keberadaannya. Rasa rindu yang tak wajar sering merasuk lewat mimpi malamku. Kadang rindu itu sedikit terobati ketika di pagi Shubuh HP-ku bergetar dan kubaca sebuah SMS singkat dari Nur, “bangun kawan, sudah shubuh nih.”

                Aku tidak membalas SMS itu. Aku tidak boleh membalasnya. Berkali-kali SMS darinya masuk namun tidak kubalas. Kadang menanyakan kabar. Kadang hanya mengirim kata-kata bijak pembangkit semangat. Mungkin karna bosan, dia berhenti mengirim SMS padaku. Selama tiga hari tidak ada SMS masuk darinya dan tiba-tiba hatiku merasa galau. Entah kenapa, aku sangat takut jika dia mulai melupakanku.

                Tanpa tahu mengapa, tiba-tiba terkirim SMS dari HP-ku, hanya sebuah kata-kata bijak. Seharusnya aku tidak boleh mengirim SMS tidak penting kepada seorang gadis, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku merindukan SMS darinya. Sejak itu, SMS darinya mulai berdatangan lagi. Kali ini aku terkadang membalasnya dengan ramah.

                Hati nuraniku kubiarkan mencaci makiku ketika aku mulai sering bermain SMS dengannya. Aku mulai mencoba dekat dengannya. Kadang kami chatting, kadang lewat SMS. Namun ketika kami bertemu secara langsung, aku diam seribu bahasa. Aku hanya berani bergerilya di dunia maya.

                Akupun mulai mengenalnya lebih jauh. Tentang emosinya, tentang cita-citanya, tentang kesedihannya. Akupun mulai membuka diriku dan menceritakan beberapa hal tentang diriku. Kami menjadi akrab di dunia maya, meskipun aku tetap menjauh di dunia nyata. Tidak boleh seorangpun tahu. Jangan sampai racun-racun fitnah terhembus.

                Pernah ketika di pagi hari hatiku berbunga, tiba-tiba sorenya hatiku remuk redam. Tentu saja bagi Nur, bergaul akrab dengan para pemuda adalah perkara biasa. Bergandengan, merangkul dan sentuhan fisik dengan lawan jenis adalah prilakunya sehari-hari. Tapi aku memandangnya sebagai suatu perkara besar dan berat. Aku tidak tahu perasaan macam apa ini. Yang pasti, ada rasa cemburu yang luar biasa. Sementara itu, Nur tidak tahu menahu perasaanku. Dia tidak tahu bahwa dia menghancurkanku karna perbuatan yang dia anggap biasa saja.

                Aku marah. Tapi pada siapa. Aku pun mulai menjauhi Nur. Membiarkan diriku disiksa oleh suara-suara nurani. Kali ini aku tidak bisa membungkamnya, kali ini aku tidak bisa pura-pura tidak mendengar. Hatiku sudah terlalu sakit dan kecewa. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku mencintai gadis seperti Nur yang bahkan tidak bisa menjaga izzah-nya. Yang bertabaruj. Yang dengan bebas tanpa rasa bersalah ikhtilat dengan lawan jenis.

                Pendamping hidupku adalah kehormatanku. Jika aku terpikat oleh gadis semacam Nur, itu berarti aku merendahkan izzah-ku. Aku tidak rela namaku tercoret dari daftar buku langit. Aku adalah seorang pembawa risalah Islam. Allah membeli jiwaku dengan kemuliaan, bagaimana mungkin aku malah menjual jiwaku dengan harga rendah kepada playgirl macam Nur. Itu terlalu bodoh.

                Rintik hujan diam membisu. Langit usai tunaikan tugasnya. Rerumputan pun sudah kenyang menghirup nutrisi. Samar-samar terang mentari mulai mengintip dari celah mega, menyemburatkan cerah warna pelangi. Begitu elok nan mempesona.

                “Langit seolah kembali hidup setelah mati,” gumamku, “begitu pula kehidupanku. Aku harus bangkit kembali setelah terpuruk. Aku tidak boleh terlalu lama terkungkung dalam kesedihan. Ada banyak hal yang harus dikerjakan. Tugas-tugas dakwah menumpuk. Menunggu untuk diselesaikan.

                Seiring waktu berlalu, dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak berhubungan lagi dengan Nur. Aku pindah ke Sekolah lain. Aku mengganti nomer HP-ku. Memblokir nama Nur dari daftar pertemanan di FB. Meski sakit terasa merobek hatiku. Meski nafsu ini terus meronta dalam jeritan, mengganggu ketenangan lelapku.

                Hingga akhirnya akupun terbiasa tanpa keberadaan Nur. Aku berhasil melupakannya. Aku tidak peduli bagaimana perasaan Nur. Aku tidak peduli jika dia sakit hati padaku karna aku memutuskan komunikasi dengannya. Sekarang aku benar-benar memfokuskan pikiranku dengan permasalahan ummat.

                Aku kembali mengeluarkan pedang dari sarungnya. Beradu denting dengan virus pemikiran perusak aqidah. Menggempur dan menahan arus Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme yang semakin meluas hingga pemukiman. Terkadang kalah, terkadang menang. Namun aku terus berusaha bangkit tiap terjatuh. Karna Allah dan Rosul bersamaku.

                Para malaikat kembali mempopulerkan namaku, memperbincangkanku siang malam dalam majelis. Sekumpulan bidadari langit berkerumun melihat aksiku dan terpukau olehku. Tentu saja, aku masih belum ada apa-apanya. Apalagi jika dibandingkan sahabat Mush’ab bin Umair. Jutaan orang sepertiku berkumpul menjadi satu sekalipun belum ada sebutir debu derajatnya dibandingkan beliau.

                Bumi tiada henti berputar pada porosnya. Hingga tahun Masehi berganti. Kulepaskan bangku SMA bersama datangnya hari kelulusanku. Nilaiku membuatku bernafas lega. Mantap kulangkahkan kakiku memasuki gerbang sebuah Universitas ternama dan menjalani seleksi.

                Akhirnya tiba hari yang dinanti. Dengan ritme nafas yang masih berantakan dan sekujur tubuh yang banjir peluh aku berlari menuju papan pengumuman yang ramai dipadati calon Mahasiswa baru. Aku merangsek masuk untuk melihat lebih dekat. Dengan harap-harap cemas kutelusuri barisan nama. Senyum mengembang menghias bibirku tatkala kudapati namaku tercantum didalamnya.

                “Sofwan. Itu benar kau kan?” tiba-tiba suara merdu yang sangat kukenal terdengar dari arah belakang. Jantungku melompat. Ketakutan mencekam. Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutanku. Aku menoleh kebelakang dan mendapatinya. Nur Alissa.

                Wajah itu masih sama. Begitu manis dan memikat. Ada rasa senang. Ada rasa bersalah. Rasa ini campur aduk seperti adonan. Ketenangan dan rasa nyaman menaungi gemuruh hatiku. Tatkala kulihat seberkas senyum di wajahnya yang teduh, bala tentara iblis melepaskan rantai-rantai nafsu satu demi satu. Sehingga nafsu ini bebas berkeliaran tak tentu arah.

                Samar-samar kulihat utusan Dewi Asmara mengintaiku dari balik pepohonan. Bersiap melontarkan panah asmara ke jantung hatiku. Semerbak harum berhembus bersama alunan sepoi. Menyemikan taburan bunga di lubuk hatiku. Panah Cupid dilontarkan tepat ke jantung hatiku. Dan syetan-syetan laknat tertawa senang tatkala akal sehatku terhalang kabut hitam nan pekat.

                “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari fitnah dunia. Aku berlindung kepadamu dari fitnah wanita.”





Depok, 24 Juli 2012

winapurwokoadi.blogspot.com

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Post a Comment

 
biz.