Saturday 7 November 2015

Cerpen : Cahaya Harapan



"Hati-hati mas, jangan terlalu dekat dengan bangsal itu, dia berbahaya, bisa saja dia melemparmu dengan gelas,” seorang tukang sapu RSJ memperingatkan seorang mahasiswa yang sedang berjalan melewati bangsalku, mahasiswa itu pun siaga dan berjalan lebih cepat, raut wajahnya begitu terlihat cemas dan takut.

            “Ggraaawllll !!!” Aku berteriak tiba-tiba ketika mahasiswa itu begitu dekat dengan jendela tempatku berada, sontak dia melompat dengan penuh keterkejutan sehingga wajahnya membiru karna saking takutnya, seketika diapun berlari terbirit-birit di sepanjang koridor RSJ.
Aku tertawa terbahak-bahak dengan suara lengking yang aneh keluar dari mulutku, aku menggedor-gedor teralis besi yang memagari jendela keras-keras hingga kedua tanganku lecet. Semua mata perawat dan tukang sapu RSJ memandang ngeri ke arahku, merekapun mengambil jarak lebih jauh dariku.

            Setelah cukup lama aku tertawa, akupun keletihan, aku duduk dibangku kayu di dalam bangsalku dan merenung cukup lama sampai aku menyadari bahwa aku sangat kesepian, jam dinding berdetak mengikuti irama jantungku seolah memahami rasa sakit yang merasuk ke dalam jiwaku, “tik tok… tik tok… tik tok…”

            Aku meraba jantungku dan merasakan sesak didadaku, entah kenapa rasa ini begitu menyakitkan, padahal tak ada luka yang nampak, namun rasa sakit ini begitu menyiksa, rasa sakit yang terus menggerogoti dari dalam. Aku butuh teman bicara, aku butuh teman berbagi, aku tak bisa menanggung rasa kesendirian ini lebih lama, aku tak sanggup menahan rasa sakit ini seorang diri. Tanpa sadar air mata merembes keluar melalui sela mataku dan membuat basah pipiku dan akupun mulai terisak-isak.

            Aku menyandarkan kepalaku ke meja kayu di depanku dan menyingkirkan sarapan pagi yang sedari tadi tidak tersentuh olehku, kulipat kedua tanganku dan membenamkan kepalaku didalamnya, aku menangis dan terus menangis hingga tanpa sadar akupun tertidur.
Entah sudah berapa menit aku tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara kunci pintu yang diputar, jantungku berdebar kencang saat pintu bangsalku dibuka, lalu masuklah seorang perawat wanita ke dalam bangsalku..

            “Aargh… argh…” teriakku menakutinya, namun dia malah berjalan lebih dekat kearahku dengan tenangnya, keringat dingin bercucuran membasahi kulitku, aku mendelik kearahnya dengan harapan agar dia tidak mendekati “wilayahku”, namun dia tidak mempedulikanku.
“Gubrakk!!” Kursi tempatku duduk terjungkal ketika aku dengan tiba-tiba melompat dan berlari menjauhi perawat, aku mencari tempat yang aman untuk berlindung, lalu akupun meringkuk di sudut ruangan dan merapat ke lemari kayu, tubuhku menggigil ketakutan dan mataku dengan waspada memandanginya.

            “Andrea, aku takkan menyakitimu,” perawat wanita itu berusaha berbicara dengan sangat lembut, senyum manis yang dipaksakan melengkung di sudut pipinya.
Tentu saja perawat itu berbohong, dia akan menyiksaku dan mungkin akan membunuhku. Pernah suatu ketika seorang perawat mengambil jarak yang terlalu dekat denganku dan sebelum dia mencekikku aku membela diri, kulempar dia dengan sendok, gelas, piring, buku, kursi, meja dan benda apa saja yang bisa aku sentuh hingga perawat itu mengalami memar-memar yang begitu banyak di sekujur tubuhnya.

            Lalu enam orang dari bagian keamanan berdatangan dan masuk ke bangsalku untuk menyelamatkan si perawat dari kemarahanku, mereka berenam memegangi tangan dan kakiku lalu menyuntikkan obat bius di tanganku dan akupun tertidur, ketika aku terbangun aku mendapati tangan dan kakiku terikat di sebuah kursi, merekapun memaksa agar aku menelan pil pahit berwarna merah meski aku bersikukuh menolaknya, akhirnya mereka menjejalkannya kemulutku meski aku telah berteriak-teriak sekuat tenaga.

            “Grawl !! grawl !!” Bentakku ke arah perawat itu.

            “Baiklah Andrea, aku tidak akan mendekatimu,” perawat itu berbicara dengan sangat lembut, dan ketika dia melihat sarapanku yang masih utuh dia hanya geleng-geleng kepala, “Andrea, sejak kemarin perutmu tidak terisi apapun, cobalah untuk makan satu-dua sendok, kamu butuh gizi. Andrea, sebenarnya ingin sekali aku menyuapkannya kemulutmu namun aku khawatir kamu akan mengamuk lagi sehingga aku terpaksa memanggil keamanan untuk membiusmu dan mengurungmu. Tapi ya sudahlah. Sebentar lagi Psikiater “itu” akan datang yah, siapa lagi kalau bukan dokter Rio.”

            Aku mengernyitkan dahiku ketika mendengar dokter Rio disebut, ‘benarkah dia akan datang?’ pikirku harap-harap cemas, semoga perawat itu tidak berbohong.   
            “Bagaimana Andrea, kau senang mendengar kabar ini?” Tanya perawat wanita.
Aku hanya diam membisu sambil menatap matanya dalam-dalam, setelah beberapa detik akupun tersenyum kearahnya, perawat itu membalas senyumanku sebelum akhirnya keluar dari bangsalku, mengunci pintunya dan meninggalkanku sendirian.

            Aku menunggu kedatangan Psikiaterku, dengan berdiri didekat jendela yang berteralis besi, aku terus mengawasi sepanjang koridor sejauh mataku bisa menangkapnya, setiap ada orang berjalan melewati bangsalku aku berharap dia adalah dokter Rio tapi ternyata bukan, setelah lama menanti aku mulai bosan dan duduk di kursi.       
           
            Perutku mulai berbunyi, aku memandangi sarapan pagiku yang mulai dingin, lama aku berpikir sampai akhirnya akupun mendekatinya dan memegang sendoknya. Satu suap… dua suap… tiga suap… aku terus memasukkannya kedalam perutku.

            “Ceklek… ceklek…” suara pintu dibuka, aku terkejut sekali hingga suapan nasi yang masih berada di dalam mulutku masuk ke saluran pernafasan membuatku tersedak dan nasi itupun menyembur melalui hidungku meninggalkan rasa nyeri dan gatal.

            “Gubrak !!” Kursiku terjungkal ketika aku secara reflek melompat dan berlari ke sudut lemari untuk berlindung hingga akhirnya pintu bangsalku terbuka dan kudapati dokter Rio berdiri mematung sambil menatap kearahku.

            Aku merasa tenang kembali sehingga detak jantungku yang sudah bergejolak kembali stabil ke iramanya yang teratur, aku memandangi dokter Rio cukup lama hingga akhirnya senyum tipis terbentuk dipipiku.

            “Bagaimana kabarmu, Andrea?” Tanya dokter Rio dengan ramah.
Dokter Rio adalah Psikiater terbaik yang pernah kutemui, hal itu tidak lain adalah karna sikapnya yang pengertian dan senantiasa berusaha untuk memahamiku. Aku pernah bertemu dengan banyak Psikiater yang lebih parah darinya, mereka senantiasa memandangku dengan tatapan yang jijik karna penampilanku yang sangat lusuh. Memang, sudah berhari-hari aku tidak mandi, rambutku yang panjang mulai tampak kusut, bajuku yang sangat jarang dicuci inipun mulai robek sana sini.

            Tapi yang aku tidak suka dari mereka adalah karna mereka tidak pernah menganggapku sebagai manusia, mereka hanya melihatku sebagai sebuah mesin yang dijadikan kelinci percobaan untuk riset-riset mereka. Mereka memandangku tidak lebih dari goresan grafik dalam buku catatan yang terkadang naik tapi lebih sering turun. Sedangkan dokter Rio berbeda dengan mereka, dokter Rio selalu menempatkan dirinya dalam sudut pandangku, dan aku tahu bahwa dia sangat tulus untuk membantuku, ya, aku yakin dengan ketulusannya dan aku bisa melihat dan merasakannya.

            “Uhm, seperti biasa dokter… tidak terlalu baik,” jawabku dengan suara pelan, berharap tidak ada orang luar yang mendengarkanku.

            “Apakah ada masalah? Aku memperhatikan catatanmu, Andrea, semakin hari semakin parah,” dokter Andrea membetulkan kursi kayu yang tadi terjatuh ke posisinya semula dan mulai mendudukinya, “aku sudah mendengar semua dari para perawat dan Psikiater disini, mereka telah berputus asa untuk menyembuhkanmu, bahkan mereka menyangka bahwa kau gila. Terakhir, kau melempari seorang perawat dengan semua benda hingga sampa sekarang dia tidak mau mendekati bangsalmu lagi.”

            “Dia berusaha membunuhku dokter !!” Jawabku membela diri.
Dokter Rio memandang mataku dalam-dalam dan suasanapun hening sejenak, kemudian dia menghembuskan nafasnya perlahan sambil geleng-geleng kepala, “Andrea, sampai kapan kau menyimpan fantasimu itu? Dan kenapa juga dia hendak membunuhmu? Apa alasannya?”
Aku terdiam dengan perasaan yang agak dongkol, bahkan dokter Rio yang sangat baik padaku tidak percaya padaku, lalu siapa lagi yang akan percaya padaku? Aku berjalan mendekati jendela dan melihat ke luar bangsal, mungkin saja ada orang lain di luar sana yang saat ini sedang mengawasi kami, setelah dirasa keadaan aman akupun duduk di kursi kayu, berhadapan dengan dokter Rio.

            “Kenapa dokter tidak percaya padaku? Kalau dokter sudah tidak percaya padaku lalu siapa lagi yang akan percaya?” Air mata mulai merembes keluar dari sela mataku.
“Bukan aku tak percaya padamu, Andrea, tapi ucapanmu itu sangat tidak masuk akal. Apa alasannya dia membunuhmu? Dan apa untungnya?”

            “Karna dia membenciku, karna mereka membenciku, karna semua orang sangat membenciku !”

            “Apa yang membuatmu berpikir bahwa semua orang membencimu?”

            “Aku bisa merasakannya dokter, aku bisa melihatnya meski mereka berusaha menyembunyikannya.”

            “Tidak ada yang membencimu, Andrea, mereka menyayangimu, mereka memperhatikanmu dan ingin membantumu,”

            “Dokter bohong !!” Aku melengking, “tak ada satu orangpun yang peduli padaku.”

            “Termasuk aku?”

            Aku termangu beberapa saat hingga akhirnya berkata, “tidak. Kecuali dokter, semua orang membenciku kecuali dokter.”          

            “Jika kau bisa percaya padaku, kenapa kau tidak bisa percaya pada mereka?”

            “Karna… karna dokter berbeda dengan mereka,” aku mulai terisak ketika mengenang masa laluku, “aku takut, dokter… sangat takut.”

            “Andrea, aku menyayangimu dan aku ingin kau segera sembuh dan hidup sebagaimana layaknya orang lain. Aku kehabisan akal untuk mengatasi sikap paranoidmu itu, aku membutuhkan bantuanmu, maukah kau membantuku?”

            “Aku takut dokter. Semua orang membenci keberadaanku.”

            “Tak ada yang membencimu, kamu sendirilah yang membenci dirimu sendiri. Semua orang hanya berperan sebagaimana cermin, mereka hanya memantulkan cahaya yang datang pada mereka. Jika kau merasa semua orang membencimu maka kau akan bertingkah laku seolah semua orang membencimu, lalu karna sikapmu itu, apa yang tadinya hanya perasaanmu saja, kini jadi realita. Orang lain membencimu karna kau bersikap seolah semua orang membencimu. Jika kau berpikir bahwa semua orang menyayangimu, maka apa yang tadinya hanya perasaanmu saja maka akan menjadi realita. Andrea, bersikaplah seolah orang lain menyayangimu, maka mereka akan menyayangimu.”

            “Betulkah?” Tanyaku sedikit sangsi, “aku hanya perlu berpikir bahwa mereka semua menyayangiku maka mereka akan menyayangiku?”

            “Jika kau berpikir bahwa orang lain itu baik hati maka kau pun akan bersikap baik pada mereka, dengan begitu merekapun akan bersikap baik padamu.”

            “Tapi aku tidak bisa menyayangi mereka, aku tidak bisa menyayangi orang yang aku tahu bahwa mereka sangat membenciku.”

            “Kau tidak membenci mereka Andrea, kau membenci ayahmu, lalu kebencianmu itu kau lampiaskan pada semua orang,” dokter Rio mulai berdiri dari kursinya.

            Aku berusaha mencerna perkataan dokter Rio tapi semakin aku memikirkannya semakin terasa pening kepalaku, rasanya sakit… sangat sakit.

            “Aaaaaaahhh… aaaaaaahh… aaaahh…” tiba-tiba aku merasakan himpitan yang begitu keras dalam kepalaku, rasanya sakit, benar-benar sakit.

            Semua kenangan itu kembali menjejali kepalaku, ayahku… si biadab itu menghantui pikiranku, betapa ingin aku membedah usus-ususnya, mencongkel bola matanya, merobek mulutnya dan mengulitinya.

            “Aaaaaaaahhh… aaaaaahhh… aaaaaahh…” rasa sakit semakin mendera ketika kenangan demi kenangan tergambar satu demi satu seperti rekaman video.

            Ayahku, aku membencinya, sangat membencinya, namun aku tidak tahu bagaimana caranya melampiaskan kebencianku.

            “Andrea, tenangkan dirimu !” Dokter Rio berteriak penuh kecemasan.

            Tiba-tiba aku merasakan suara dengungan didalam kepalaku, semakin aku berusaha mendengarkan dengungan itu semakin terasa semakin jelas suaranya, sayup-sayup kudengar suara nyanyian, semakin lama suara itu semakin jelas dan semakin jelas.

            “Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday happy birthday happy birthday to you…” itu suara kakak perempuanku saat merayakan ulang tahunku yang ke empat, dia menegakkan sebatang lilin di atas sepotong kue dan menyuruhku meniupnya, lalu dia menutup mataku dan begitu mataku dibuka, aku mendapati sebuah mainan kereta api diatas meja, dia mengatakan bahwa mainan itu adalah hadiah ulang tahun untukku yang berasal dari celengannya selama 4 bulan.

            Aku begitu bahagia dan langsung mencium kening kakak tunggalku itu lalu kakakkupun memelukku dengan perasaan sayang. Namun tiba-tiba, si brengsek itu datang dan merusak kebahagiaan kami. Ayahku yang baru saja menenggak minuman keras menghampiri kami dan membanting mainan kereta api itu hingga berkeping-keping, aku meratap menangis dan memohon tapi sia-sia, ayah menginjak mainan itu hingga benar-benar remuk.

            Tiba-tiba ayah menjambak rambut kakakku dan membentaknya dengan kata-kata kasar karna ayah mengira kakakku membeli mainan itu dari hasil mencuri. Ayah membenturkan kepala kakakku berkali-kali kelantai hingga darah berceceran, aku tidak memalingkan pandanganku saat peristiwa itu berlangsung, namun aku tak bisa berbuat apa-apa, aku takut dan bersembunyi di bawah meja sementara kakakku terus berteriak histeris, Aku diam membisu tercekat oleh rasa takut yang teramat sangat, hingga jeritan kakakku pun terhenti… untuk selamanya.

            “Aaaaaaaahh… aaaaaaaaahh… aaaahh…” Aku terus menjerit dan semakin keras, dan kulihat dokter Rio mulai panik.

            “Andrea, tenangkan dirimu,” kata dokter Rio berulang-ulang.

            “PRANGG !!” Piring yang berisi sarapanku jatuh kelantai dan berhamburan mengotori lantai.

            “Menyingkir kau dariku !!” Aku membentak dokter Rio.

            Aku mengangkat kursi tinggi-tinggi dengan kedua tanganku dan melemparkannya ke arah dokter Rio dan… “Brakk !!” tepat mengenai perutnya hingga ia terhuyung jatuh ke belakang.

            Aku mengangkat satu kursi lagi dan melemparkannya namun dia berhasil mengelak, aku mengangkat meja namun tak kuat sehingga meja itu ambruk di depanku, aku melemparkan buku-buku, pulpen, gelas dan apa saja ke arah dokter Rio.

            Suara keributan ini terdengar dari luar, tanpa dokter Rio harus meminta tolong, petugas keamanan yang berjumlah 8 orang telah berhamburan masuk ke bangsalku dan mengepungku. Aku melemparkan apa saja kearah mereka namun mereka telah berpengalaman dengan hal semacam ini.

            Salah satu dari mereka mendekapku dari belakang, belum sempat aku meronta, tiba-tiba 7 orang lainnya sudah memegangiku, aku kalah jumlah dan hanya bisa berteriak sekeras aku bisa.
“Hati-hati, jangan sampai pasienku terluka,” kata dokter Rio.

            Sebatang jarum bius sudah menancap di tanganku dan akupun berhenti meronta, lalu semuanya pun menjadi begitu gelap, aku terlelap.


l l l


            “Bang!! Bang!! Bang!!” Dengan penuh emosi, aku menggedor-gedor pintu sel tempat aku dikurung, aku terus memukulinya hingga tanganku sendiri berdarah namun tak ada satu petugaspun yang mempedulikanku.

            “Bang!! Bang!! Bang!!” Pintu sel ini terbuat dari besi yang benar-benar kokoh, sehingga berkali-kalipun aku memukulnya, pintu itu tidak lecet sedikitpun, justru kulit tangankulah yang mengelupas dan berdarah.

            Aku keletihan dan duduk dilantai sel yang dingin, aku meringkuk kedinginan dan membenamkan wajahku di dalam kedua tanganku. Tanpa terasa mataku mulai berair dan akupun menangis terisak-isak.

            Aku kembali mengenang masa laluku yang begitu menyakitkan. Aku memiliki seorang ibu yang kata orang sangat baik, namun sayangnya ibuku meninggal karna sakit ketika usiaku belum genap 5 bulan.

            Kejadian itu membuat ayahku benar-benar depresi dan membuatnya berubah menjadi tukang pukul yang kejam, aku dan kakak perempuanku selalu menjadi bulan-bulanannya karna bagi ayahku keberadaan kami berdua mengingatkannya pada ibuku yang sudah tiada.

            Ayah menjadi seorang pemabuk dan bergaul dengan preman-preman jalanan, setiap kali ia pulang kerumah dan melihatku atau kakakku, dia langsung meluapkan seluruh kekesalannya. Ayahku sangat membenci kami sebagaimana ia membenci ibu, ayah membenci ibu justru karna rasa cintanya yang berlebihan, ayah berpendapat bahwa seandainya ia tidak terlalu mencintai ibu maka dia pastilah tidak akan terlalu sakit hati saat kehilangannya.

            Namun aku mempunyai seorang kakak yang sangat menyayangiku yang selalu menghiburku dan mewarnai hidupku disaat kebencian ayah sedang memuncak, kakakku bersikap seolah ia adalah ibuku dan ia berusaha menggantikan ibuku, aku merasa bahwa aku benar-benar tidak bisa hidup tanpanya.

            Namun hal yang paling aku takutkan terjadi, akhirnya kakakku menyusul ibuku dan meninggalkanku dalam kesedihan dan ketakutan yang tiada tara. Aku masih ingat betul kejadian itu, gambaran itu masih terlihat jelas didalam kepalaku, aku bisa melihat tengkorak kakakku yang pecah dan otaknya yang berhamburan serta darah yang membanjiri lantai.

            Aku masih ingat betul bagaimana ayah terus membenturkan kepala kakakku yang sudah tak bernyawa, aku masih bisa mencium bau anyir dari darah kakakku, aku masih ingat betul kengerian yang menyelimuti seluruh ragaku dikala ayah memalingkan pandangannya kearahku yang sedang meringkuk ketakutan, dan aku masih ingat rasa sakit kala itu, dikala ayahku membanting tubuhku yang rapuh sampai aku kehilangan kesadaran.

            Untungnya ada seorang tetangga yang memergoki kejadian itu dan dia melarikanku ke rumah sakit sementara ayahku melarikan diri dari kejaran polisi. Aku dirawat oleh sebuah keluarga yang ternyata tidak menyayangiku, lalu akupun berpindah dari satu pengasuhan ke pengasuhan lain hingga aku remaja, semua orang membenciku sehingga akupun membenci mereka.

            Aku hidup dengan sebuah ambisi yang memuncak, yaitu menghabisi ayahku. Aku terus memburunya dan mencari berita tentang keberadaannya. Aku selalu membawa sebuah belati yang kuasah setiap sore dan aku sangat ingin menggunakannya untuk membedah usus-usus ayahku.

            Namun, nasib tidak berpihak padaku. Aku mendengar sebuah berita bahwa ayahku mengalami kecelakaan dalam pengejaran polisi, sebuah truk melindasnya hingga isi kepalanya berhamburan di jalanan, begitu mendengar kabar itu aku begitu terpukul dan menjerit sekeras-kerasnya, aku sangat sakit hati karna tidak bisa melampiaskan dendamku, aku tidak bisa menghujamkan belati itu keperut ayahku, aku tak akan pernah bisa melihat wajah ayahku yang kesakitan dan memohon-mohon padaku, aku mulai merasa kehilangan tujuan hidupku dan aku mulai kehilangan diriku, lalu… disinilah aku berada.


l l l



            Sudah 7 hari sejak aku mengamuk dan melampiaskan seluruh kekesalanku kepada dokter Rio, kini aku merasakan rasa bersalah yang teramat sangat, aku sangat takut dia membenciku karna perlakuanku kala itu, aku menghabiskan waktu didalam bangsal hari demi hari dalam kesendirian dan dalam kesedihan, ini adalah hari tergelap yang pernah aku rasakan, dibenci oleh orang yang aku sayangi.

            Tubuhku semakin kurus karna aku tidak memiliki nafsu makan, tubuhku pun semakin kotor karna aku menolak mandi. Aku menghabiskan hariku dengan berteriak-teriak sendiri, menangis, tertidur, mondar-mandir dan meringkuk di dekat lemari, lalu dengan jujur aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku menyesali apa yang aku lakukan pada dokter Rio, kini dia tidak akan mau lagi menemuiku, kini aku harus menanggung kesendirian dan kesedihan ini sampai mati atau… lebih baik aku mati sekarang saja?

            Ya, lebih baik aku mati sekarang saja agar aku terbebas dari segala kesengsaraan yang membelengguku, aku telah kehilangan arti hidupku, tapi… sebelum aku mati aku ingin melakukan satu hal, aku ingin melarikan diri dari sini dan mencari kuburan ayahku yang telah menyebabkan aku menjadi begini, lalu aku akan mengeluarkan jasadnya dan menguliti seluruh tubuhnya dan mencacah-cacah tubuhnya hingga kecil-kecil agar ayah yang sudah berada dialam lain sana merasakan rasa sakitnya, mungkin aku tidak bisa mendengarkan jeritannya maupun melihat rasa takutnya namun setidaknya aku telah melampiaskan dendamku, setelah itu, aku tidak peduli lagi apa yang akan terjadi.

            Aku tertawa sendiri ketika membayangkan adegan ketika aku harus membedah tubuh ayahku yang telah mati, dan aku akan terus menyiksanya sampai aku puas meski aku sendiri tidak tahu apakah aku bisa terpuaskan.

            “Ceklek !!” Tiba-tiba pintu bangsal terbuka ketika aku sedang asyik dalam lamunanku, aku tidak punya waktu untuk terkejut.

            Aku melihat dokter Rio berdiri diambang pintu dan berjalan kearahku, ketika melihatnya tiba-tiba seluruh kebencian yang menyelubungi diriku melepuh, aku melihatnya seperti sinar didalam kegelapan yang teramat pekat.

            Namun ketika aku melihat perban yang melekat di tangan kanannya aku menjadi begitu lemas, rasa bersalah yang teramat sangat menyiksaku dari dalam, “dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya, dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya, dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya,” kata-kata itu terus berdengung didalam kepalaku hingga aku merasakan himpitan yang luar biasa.

            “Aaaaaaahh… aaaaaaahh… aaaaaaaahh…” aku mulai meringis kesakitan.

            “Andrea,” dokter Rio berbicara dengan begitu tenang, “aku memahami kejadian waktu itu, kau hanya kehilangan kendalimu, namun aku tahu bahwa kejadian itu takkan kembali terulang karna aku tahu bahwa kau menyayangiku, dan, tanpa harus kau meminta maaf padaku, aku… telah memaafkanmu, dan sedikitpun aku tidak membencimu.”

            Sebuah senyuman tulus yang terukir disela bibir dokter Rio ibarat hembusan angin musim semi bagiku, seolah seluruh beban didalam kepalaku melebur dalam seketika sehingga rasa sakit didalam kepalaku menghilang, aku merasa begitu nyaman, aku merasa begitu tenang, dan akupun tersenyum.

            “Benarkah? Dokter sudah memaafkanku dan tidak menaruh dendam sedikitpun kepadaku?”

            “Tentu saja, aku melakukan yang terbaik bagi diriku dan bagi dirimu, karna aku tahu bahwa kebencian itu tidak dapat membuatku bahagia, karna aku tahu bahwa dendam itu adalah siksaan batin yang takkan pernah dapat terpuaskan oleh apapun.”

            Aku merasa tidak pernah mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari pada ini selama hidupku, aku mendapatkan pencerahan dan akupun mulai mengerti arti dari sebuah kasih sayang dan pemaafan, dan akupun mulai menemukan cahaya harapan yang akan menerangi seluruh langkahku.

            Kami berbicara sana-sini dan sesekali dokter Rio menyisipkan sedikit lelucon yang membuatku terpaksa tertawa. Dokter Rio mengatakan padaku bahwa dia akan mengajakku jalan-jalan keluar dan sekarang dia sedang sibuk mengurus izinnya. Namun untuk hal itu dia memerlukan kerjasama dariku, aku harus bersikap baik selama dua minggu kepada semua orang yang berhubungan denganku, aku harus menambahkan point-pointku dan menaikkan grafikku keatas, yang itu artinya aku harus mau mandi, sarapan tepat waktu, merapikan tempat tidur dan berkomunikasi dengan semua orang. 

            “Aku akan melakukannya dokter, aku akan melakukan hal terbaik yang bisa aku lakukan.”

            “Jika nanti kau telah sembuh, aku akan memperkenalkanmu dengan sebuah keluarga yang dikenal sangat bijaksana, mereka telah berpengalaman berurusan dengan orang-orang yang memiliki gangguan jiwa, mereka juga tidak hanya mengurusmu namun juga akan melatihmu dan memberikanmu pekerjaan agar kau tidak terlalu tergantung pada mereka, selain itu tentu saja kau harus mengejar ketertinggalanmu di Sekolah, mereka akan memasukkanmu ke SMP, kurasa tidak akan menjadi masalah jika kau menjadi siswa tertua dikelasmu asalkan kau bisa menunjukkan kualitasmu, mengingat usiamu yang sudah 15 tahun seharusnya kau sudah kelas 3 tapi tidak mengapa jika kau harus memulai dari kelas 1, sepulang sekolah akan ada les tambahan buatmu agar kau lebih bisa memahami pelajaran di kelas dengan baik. Aku akan mengatakan pada gurumu bahwa dulu kau terlalu sibuk bekerja sehingga kau tertinggal, yang penting takkan ada satupun orang yang tahu rahasiamu,dan takkan ada satu orangpun yang akan mengira bahwa dari sinilah kau berasal. Kau bisa memulai hidupmu yang baru dan memiliki kehidupan yang normal dan selanjutnya… masa depan ada ditanganmu.”

            Kebahagiaan membuncah memenuhi relung jiwaku dan meledak begitu saja, aku berjingkrak-jingkrak penuh kesenangan mendengar kabar yang seolah datang dari langit.


l l l



            Dua minggu telah berlalu, aku melakukan apa-apa sesuai yang disarankan dokter Rio sampai-sampai para perawat terkejut melihat perkembanganku, berbagai pujian dilontarkan padaku ketika para Psikiater melihat catatanku, mereka menjabat tanganku dan tersenyum padaku, akupun mulai terbiasa untuk berkomunikasi dengan mereka sehingga tak ada orang yang merasa takut lagi kepadaku. Ternyata benar apa yang dikatakan dokter Rio padaku, jika aku memandang orang lain disekitarku adalah orang baik maka merekapun akan menyesuaikan diri dengan persepsiku.

            Aku dibelikan sebuah baju dan celana baru yang sangat bagus dan disetrika licin oleh perawat, aku bahkan sudah boleh keluar masuk bangsal sesuka hati. Kini aku sedang menunggu kedatangan dokter Rio yang selama dua minggu ini tidak menemuiku.

            Aku berpenampilan dan bersikap seperti halnya remaja pada umumnya, aku sedang asyik berbincang dengan seorang penghuni bangsal dan berusaha membesarkan hatinya ketika akhirnya dokter Rio mendatangiku dan mengajakku keluar seperti yang dijanjikan.

            Kami berjalan-jalan di Mall dan bermain di Time Zone seperti halnya ayah dengan putranya, kami juga menikmati makan siang di KFC, selain itu dokter juga mengajariku sedikit demi sedikit etika berkomunikasi dan bergaul, hari ini benar-benar hari terindah yang pernah kurasakan, aku sangat bahagia.

            Sore harinya aku mengajak dokter ke rumahku yang telah aku tinggalkan selama 11 tahun, kini keadaannya telah banyak berubah, dinding-dindingnya pecah, rumput liar tumbuh disana sini, pintu kayunya telah pecah dan lapuk disantap rayap, kaca jendela banyak yang pecah, genteng rumah juga sudah banyak yang berjatuhan, isi rumah sudah menghilang entah kemana.     

            Aku mengajak dokter Rio melihat-lihat rumahku sambil menceritakan hal-hal yang pernah terjadi didalam rumah ini, ketika kami berada di kamar mandi aku menceritakan tentang bagaimana dulu kepalaku dibenamkan didalamnya, ketika kami berada didapur aku menceritakan tatkala ayahku memukuliku dan kakakku tanpa ampun, setiap ruangan memiliki cerita tersendiri.

            Akhirnya kami tiba digudang, aku menceritakan secara detail dan lengkap kejadian paling tragis yang pernah terjadi didalam ruangan ini, aku menceritakan tentang hadiah ulang tahunku yang dihancurkan oleh ayahku, tentang darah yang berceceran, tentang jeritan kakakku yang akhirnya terhenti, dan tentang semua ketakutan yang kurasakan.

            Hari sudah menjelang malam ketika dokter Rio mengajakku pergi kesebuah pemakaman dengan mobilnya, tepat dibawah pohon Kamboja aku melihat makam yang benar-benar tidak terurus, rumput liar tumbuh di atasnya menampilkan kesan angker.

            “Ini adalah tempat dimana ayahmu dikuburkan,” gumam dokter Rio.

            Tubuhku bergetar dan rasa dingin menjalar disekujur tubuhku, jantungku berdebar dua kali lebih cepat dan gigiku gemeletuk. Aku diam membisu tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun seolah waktupun ikut membeku.

            Aku merenungkan kenangan masa laluku dan seluruh kebencianku meluap menghimpit dadaku, lalu aku menghirup udara sore yang dingin kedalam paru-paruku hingga benar-benar penuh dan menghembuskannya dengan perlahan.

            “Ayah…” kataku, “tidak ada makhluk yang paling aku benci dimuka bumi ini melebihi kebencianku padamu, dan kebencian ini benar-benar menyakitkan, selama ini aku memendamnya dan membiarkan rasa sakit menjalar keseluruh tubuhku.”

            “Ayah…” kataku, “kini aku mulai memahamimu, aku memahami kebencianmu terhadap dunia yang kau anggap tidak lagi adil, namun ayah, Tuhan tidak akan ditanyai tentang apa yang diperbuat-Nya terhadap makhluk yang diciptakan-Nya namun makhluk ciptaan-Nyalah yang nantinya akan ditanyai tentang bagaimana mereka menyikapi setiap ujian yang menimpanya.”

            “Namun ayah,” kataku, “hidup ini adalah pilihan, takdir hidup itu terletak ditangan kita sendiri yang jika kita bisa menyikapinya secara bijak maka akan berbuah manis pada akhirnya. Apakah ayah tahu? Aku tidak beda dengan ayah, ayah menganggap dunia memperlakukan ayah secara tidak adil sehingga ayahpun melampiaskan kekesalan dan kebencian ayah kepadaku, sebagaimana aku melampiaskan kebencianku kepada semua orang yang ada disekitarku karna perbuatan ayah.”

            “Suatu saat mungkin, ada orang yang tertimpa kebencianku sebagaimana kebencian ayah yang dilampiaskan kepadaku sehingga kebencian itu akan terus berjalan seperti mata rantai, orang yang menjadi pelampiasan kebencianku juga akan melampiaskan kebenciannya kepada orang lain, jika begitu maka rantai kebencian itu akan terus merambat sehingga dunia akan dipenuhi dengan kebencian dan dendam.”

            “Namun ayah, aku ingin merusak mata rantai itu, aku takkan melampiaskan kebencian dan dendamku dan membiarkan dunia berjalan dengan damai karna aku tahu bahwa kebencian dan dendam itu tidak akan sembuh dengan pelampiasan, namun kebencian dan dendam itu akan melebur dengan pemaafan.”

            Aku menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, lalu kurasakan dokter Rio menaruh tangannya kebahuku, aku terdiam sejenak dan kemudian berkata, “ayah, aku tidak lagi peduli dengan kekejaman yang pernah ayah lakukan terhadapku, aku tidak lagi peduli dengan apa yang telah terlanjur terjadi. Ayah, aku hanya ingin mengatakan bahwa… aku memaafkanmu, aku memaafkan semua kesalahan ayah dari yang terkecil hingga yang terbesar tanpa sisa.”


"Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (Surah Al-Imran:Ayat 134)



Magelang, 3 Oktober 2010

winapurwokoadi.blogspot.com

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Post a Comment

 
biz.