“Aku tidak ingin melanjutkannya, mas!” Kataku berusaha terlihat tegas. Aku mencoba menahan airmataku yang hendak mengalir dan berusaha melantangkan suara, “mengertilah bahwa aku tidak lagi mencintaimu. Aku tidak ingin melihat mas lagi. Lebih baik kita akhiri saja!!”
Mas Taufik nampak terpukul sekali mendengarnya. Kulihat bola
matanya mulai berkaca-kaca. Sungguh hatiku begitu teriris melihatnya. Serasa
jantungku dicacah dari dalam… sakit rasanya. Tapi aku tidak punya pilihan.
Bagaimanapun juga aku harus membuat Mas Taufik membenciku. Aku ingin dia
meninggalkanku.
Malam semakin larut. Semilir angin membelai rerumputan dan
menimbulkan suara gemerisik. Rembulan merana terlingkup mega hitam yang
menyekat sinarnya sehingga menambah suram suasana rumah kecil kami yang mulai
lapuk dimakan usia. Kami menggunakan lampu dian
sebagai penerang rumah karna sejak seminggu lalu PLN memutus sambungan
listriknya yang disebabkan karna kami tidak sanggup membayar tagihan.
“Lastri… apakah kau akan meninggalkanku begitu saja? Setelah
semua yang telah kita lewati bersama?” Mas Taufik berbicara dengan bibir
bergetar, tatapan matanya yang sayu semakin menyiksaku ke dalam perasaan
bersalah.
“Berapa kali aku harus menjelaskannya, mas? Aku sudah tidak
ada sedikitpun rasa terhadap mas. Percuma saja kita mempertahankan rumah tangga
tanpa adanya cinta. Mengapa ti…” Aku memaksakan
diri berbicara selantang mungkin kemudian terdiam ketika menyadari putraku
mulai menggeliat di gendonganku, dengan sigap aku berusaha menenangkannya agar
tidak terbangun.
“Apa salahku? Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?
Katakan Lastri!! Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki diri. Aku
akan membuatmu mencintaiku lagi. Apapun itu aku akan lakukan demi rumah tangga
kita. Demi putra kecil kita.” Tatapan mata Mas Taufik begitu berapi-api. Aku
menyadari bahwa dia memang serius mengucapkannya.
Sungguh aku tau betapa besar rasa cinta Mas Taufik
terhadapku. Aku bahkan paham betul bahwa dia bersedia melakukan apapun dan
mengorbankan apapun demi diriku. Itulah sebabnya aku menerimanya ketika dia
datang melamarku. Kala itu aku bertekad untuk hidup dalam suka dan duka bersama
Mas Taufik dan aku tidak menuntut apapun darinya. Aku bahkan tidak peduli
dengan latar belakang ekonominya dan sebagainya. Aku percaya bahwa kami pasti
akan berhasil melalui segala hal asalkan cinta kami berdua tulus.
Dulu, beberapa tahun yang lalu, ketika kami belum menikah.
Aku mengenal Mas Taufik sebagaimana orang-orang mengenalnya. Dia adalah pemuda
yang rajin, selalu bangun pagi dan aktif ke Masjid. Selain itu dia adalah
pemuda yang santun dan ramah kepada semua orang. Dia adalah sulung dari 3
bersaudara. Kedua adiknya perempuan dan dia memiliki seorang Ibu. Ayahnya
meninggal ketika Mas Taufik baru menginjak bangku SMP. Karna itu mas Taufik
merasa bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Sepeninggal ayahnya, Mas Taufik hanya bisa mengenyam bangku
SMP. Setelah itu dia bekerja untuk menyekolahkan adik-adiknya. Ya, dia adalah
pemuda yang baik dan santun sebab itulah aku diam-diam mengaguminya. Meskipun
aku bukan seorang bunga desa, banyak orang menyebutku cantik. Sebab itu tak
sedikit pemuda kampung yang mendekatiku, tapi tak satupun dari para pemuda itu
yang menarik minatku. Mas Taufik adalah sosok pemuda yang dikenal santun, itu
sangat berbeda denganku yang lebih dikenal sebagai wanita yang tegas dan teguh
pendirian, meski tak sedikit orang menyebutku keras kepala. Tapi begitulah aku,
ketika aku sudah mengucapkan sesuatu maka aku akan melakukannya.
Awal mula aku mengenal Mas Taufik adalah saat aku masih di
bangku SMA. Karna kampungku agak terpencil maka sarana transportasipun
terbatas. Selepas Ashar tidak akan ada lagi kendaraan umum yang mengarah ke
Kampungku. Padahal Sekolahku berada di Kampung lain. Kala itu aku terlambat
pulang karna suatu hal sehingga kehabisan angkot. Hingga hampir menjelang
Maghrib aku menunggu tak ada satupun angkot yang kuharapkan terlambat pulang.
Memang ada beberapa pemuda kampungku yang juga Sekolah di tempat yang sama
denganku tapi aku enggan meminta bantuan mereka.
Tiba-tiba pertolongan datang seperti dari langit. Mas Taufik
yang kala itu kebetulan sedang membeli beberapa keperluan di Kampung tempat
Sekolahku berada, lewat didepanku. Aku langsung memanggilnya dan menjelaskan
keadaanku. Biasanya ayahku akan marah jika mengetahui aku pulang berboncengan
dengan pemuda, tapi aku yakin jika pemuda itu adalah Mas Taufik, ayah akan
memakluminya apalagi melihat keadaanku, memang tidak ada pilihan yang lebih
baik.
Mas Taufik benar-benar pemuda yang lugu. Aku lihat dia agak
grogi ketika aku membonceng motornya. Dia bahkan kesulitan untuk
berbincang-bincang padaku, hanya mengatakan kata-kata yang formal. Dia tidak
sok akrab dan memanfaatkan keadaan. Itulah sebabnya aku merasa aman bersama Mas
Taufik. Aku berharap keadaan ini akan berlangsung selamanya. Sungguh saat itu
aku merasa nyaman berada dekat dengan Mas Taufik.
Setelah kejadian itu, terdengar desas desus di kampungku
bahwa sikap Mas Taufik terlihat berbeda. Jika selama ini Mas Taufik selalu
tampak kaku , tiba-tiba saja dia nampak bercahaya seperti mentari. Orang-orang
mengatakan Mas Taufik seperti terlahir kembali. Dia menjadi tampak sumringah
dan kadang terlihat senyum-senyum sendiri.
Orang-orang berkesimpulan bahwa sesuatu yang besar baru saja
terjaadi dengan Mas Taufik. Ya, desas desus yang terdengar adalah bahwa Mas
Taufik tengah dilanda mabuk asmara. Tapi dengan siapa? Orang-orang melirikkan
pandangan padaku. Selama ini Mas Taufik memang dikenal alim, dia tidak pernah
dekat-dekat dengan wanita. Meski begitu pernah sekali dia begitu dekat dengan
seorang wanita, bahkan memboncengkannya dari luar Kampung ke rumah, dan wanita
itu adalah aku.
Desas-desus itu tersebar semakin luas. Tapi entah kenapa aku
tidak marah atau berusaha menyangkalnya. Sejak itu aku merasa tertarik dengan
kepribadian Mas Taufik. Aku mulai dekat dengan kedua saudarinya dan ibundanya.
Setelah desas desus itu aku memang selalu meluangkan waktu mampir ke rumah Mas
Taufik meski bukan untuk menemui Mas Taufik, aku beralasan untuk menemui ibunda
beliau. Meski begitu, Mas Taufik tidak juga memanfaatkan kesempatan yang ada.
Tetap saja ketika berpapasan denganku dia hanya menyapa secara formal dan
berlalu begitu saja. Aku hanya bisa mendesah panjang melihat kelakuan Mas
Taufik yang tidak responsif.
Waktupun berlalu hingga aku lulus SMA. Aku tidak meneruskan
kuliah sebagaimana umumnya warga di Kampungku. Mereka yang melanjutkan kuliah
biasanya memang hanya dari kalangan terpandang yang memiliki harta melimpah.
Sedangkan keluargaku memiliki latar belakang ekonomi yang biasa-biasa saja.
Mungkin sudah tradisi, tapi ketika seorang gadis lulus
Sekolah maka itu seperti sebuah sinyal bahwa sang gadis sudah boleh dilamar.
Begitu pula denganku. Beberapa pemuda di Kampungku bahkan dari Kampung lain
mendatangi rumahku untuk menyatakan niatnya menikahiku, beberapa dari mereka
bahkan tergolong dari kelas terpandang. Di kampungku, seorang yang punya
pekerjaan tetap sebagai PNS sudah bisa dikatakan kelas terpandang. Tapi aku
menolak mereka satu demi satu. Aku tidak tau kenapa, entah karna aku ini bodoh
atau bagaimana, ketika Mas Rian yang Guru SMP itu datang melamarku, aku
langsung menjawabnya dengan kata “tidak,” padahal dia adalah pemuda yang baik
dan mapan, jika aku menjadi istrinya maka aku akan hidup lebih baik.
Ayahku sampai terheran-heran dengan sikapku. Bahkan sampai
usiaku 20 tahun, aku belum juga menerima lamaran siapapun. Di kampungku,
seorang gadis yang tidak sedang Kuliah atau sedang bekerja di suatu tempat
seharusnya sudah berumah tangga ketika usianya telah matang. Pada akhirnya ayah
ibuku membicarakan hal ini secara serius. Penolakanku terhadap Mas Rian tentu
tidak bisa dibilang sepele karna itu artinya aku menghilangkan kesempatanku
untuk hidup secara baik dan terpandang di masyarakat.
Akupun mengatakan pada orangtuaku bahwa aku tidak mencintai
Mas Rian. Orangtuaku paham betul dengan watakku yang “keras kepala” sehingga
mereka tidak mendebatku. Entah karna angin apa, Mas Taufik tiba-tiba datang ke
rumahku dengan setelan rapi. Mengenakan sepatu hitam, kemeja batik rapi dan
celana hitam lengkap dengan sabuknya. Dengan terbata-bata dia menyatakan
keinginannya untuk melamarku dan entah kenapa tiba-tiba saja aku mengucapkan
bersedia. Ayahku begitu terkejut mendengar keputusanku, tapi seperti biasa, tak
seorangpun di keluargaku berani mendebat apa yang sudah aku putuskan.
Tentu saja, demi menjaga kredibilitas nama keluargaku, ayahku
tidak akan menolak Mas Taufik menjadi menantunya karna aku sudah menyatakan
bersedia. Jadi, aku mengorbankan masa depanku untuk hidup lebih baik bersama
Mas Rian dan memilih hidup sederhana bersama Mas Taufik. Satu-satunya alasan
kuat yang melandasinya hanyalah satu kalimat yang bernama “Cinta.” Aku tau
betul bahwa Mas Taufik mencintaiku lebih dari apapun, dan aku mengira dengan
rasa cinta, kami bisa melalui apapun.
“Mas harus mengerti. Aku tidak mencintai mas lagi. Apa itu
belum cukup?” Aku membentaknya dengan suara lantang, serta merta Fariz,
putraku, terbangun dan menangis. Aku berusaha menenangkannya. Mas Taufik mendekatiku
hendak mengelus Fariz agar terdiam, aku hendak menghindarinya tapi tidak tega,
aku membiarkan Mas Taufik melimpahkan kasih sayangnya pada putra kami hingga
akhirnya Fariz terdiam dan tertidur lelap.
“Bagaimana nasib putra kita nanti?” Kulihat airmata Mas
Taufik mengalir dipipinya. Aku hanya bisa menggigit bibirku, mencoba menahan
diri agar tidak terbawa perasaan, mencoba menahan agar tidak menumpahkan
airmataku.
Sempat terpikir untuk membatalkan keinginanku untuk
bercerai, tapi aku tak mungkin melakukannya. Mungkin terlihat begitu kejam,
tapi kenyataannya aku tidak ingin bersama Mas Taufik karna aku mencintainya.
Aku begitu mengenal betul wataknya yang penuh kasih dan tanggung jawab, tapi
justru hal itulah yang membuatku ingin agar Mas Taufik melupakanku. Bukan karna
aku benci, bukan pula aku sudah kehilangan rasa cinta. Tapi semua karna keadaan
yang memaksa.
Sudah 4 tahun kami menjalani hidup berumah tangga, namun
keadaan ekonomi tidak juga membaik. Aku menyadari Mas Taufik mulai kelimpungan
mencari nafkah. Bahkan demi menghidupiku, kedua adiknya tidak bisa melanjutkan
Sekolahnya. Kemudian ketika Fariz pertama kali meneriakkan tangisan pertamanya,
keadaan semakin memburuk. Mas Taufik bekerja siang malam tanpa mengenal
istirahat, dia menjual semua yang dimilikinya. Bahkan hari demi hari tubuhnya
semakin kurus, sangat berbeda denganku. Mas Taufik selalu mengusahakan untuk mencukupi
semua kebutuhanku dengan melupakan dirinya. Pernah suatu kali aku menolak untuk
makan sebelum melihat Mas Taufik makan, tapi dia mengatakan bahwa aku menyakiti
harga dirinya sebagai seorang suami.
Sering aku menyarankannya istirahat ketika badannya sakit
tapi dia menolaknya. Dia tetap bekerja dengan tubuhnya yang semakin
sakit-sakitan. Dia sudah tidak peduli dengan dirinya sendiri hanya demi diriku.
Ingin sekali aku membantu Mas Taufik bekerja, tapi bagaimana dengan Fariz jika
aku bekerja? Semakin hari aku semakin tersiksa. Meski tubuhku sehat dan segar,
tercukupi gizi dan kasih sayang oleh Mas Taufik tapi hatiku sakit. Istri mana
yang tega melihat suaminya tersiksa saat dirinya hidup serba kecukupan?
Aku akan terlihat jahat jika membebankan suamiku apa yang
diluar kemampuannya. Lalu apakah ada keputusan yang lebih baik? Sungguh, aku
tidak pernah ingin suamiku menderita lebih lama lagi karna diriku sebab itu aku
harus membuat keputusan yang tegas. “Mas, besok antar aku ke rumah orangtuaku.”
Kataku lirih.
Kulihat Mas Taufik begitu pasrah, tatapannya kosong seperti
kehilangan ruh. Airmatanya mengalir semakin deras. Dia hanya diam membisu tak
berani mendebatku, karna sebagaimana yang diketahuinya tentangku, ketika aku
memutuskan sesuatu tak ada seorangpun yang pernah berhasil merubahnya. Mas
Taufik mendekap kedua lututnya dan membenamkan kepalanya didalamnya, aku
mendengarnya menangis terisak-isak. Kemudian, nyaris tak terdengar dia berkata,
“baiklah, asalkan itu bisa membuatmu bahagia.”
Magelang, 2 September 2014
0 comments:
Post a Comment