Saturday 7 November 2015

Cerpen : Dalam Batasan Kasih



“Aku tidak ingin melanjutkannya, mas!” Kataku berusaha terlihat tegas. Aku mencoba menahan airmataku yang hendak mengalir dan berusaha melantangkan suara, “mengertilah bahwa aku tidak lagi mencintaimu. Aku tidak ingin melihat mas lagi. Lebih baik kita akhiri saja!!”

Mas Taufik nampak terpukul sekali mendengarnya. Kulihat bola matanya mulai berkaca-kaca. Sungguh hatiku begitu teriris melihatnya. Serasa jantungku dicacah dari dalam… sakit rasanya. Tapi aku tidak punya pilihan. Bagaimanapun juga aku harus membuat Mas Taufik membenciku. Aku ingin dia meninggalkanku.

Malam semakin larut. Semilir angin membelai rerumputan dan menimbulkan suara gemerisik. Rembulan merana terlingkup mega hitam yang menyekat sinarnya sehingga menambah suram suasana rumah kecil kami yang mulai lapuk dimakan usia. Kami menggunakan lampu dian sebagai penerang rumah karna sejak seminggu lalu PLN memutus sambungan listriknya yang disebabkan karna kami tidak sanggup membayar tagihan.

“Lastri… apakah kau akan meninggalkanku begitu saja? Setelah semua yang telah kita lewati bersama?” Mas Taufik berbicara dengan bibir bergetar, tatapan matanya yang sayu semakin menyiksaku ke dalam perasaan bersalah.

“Berapa kali aku harus menjelaskannya, mas? Aku sudah tidak ada sedikitpun rasa terhadap mas. Percuma saja kita mempertahankan rumah tangga tanpa adanya cinta. Mengapa  ti…” Aku memaksakan diri berbicara selantang mungkin  kemudian terdiam ketika menyadari putraku mulai menggeliat di gendonganku, dengan sigap aku berusaha menenangkannya agar tidak terbangun.

“Apa salahku? Kenapa kau memperlakukanku seperti ini? Katakan Lastri!! Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki diri. Aku akan membuatmu mencintaiku lagi. Apapun itu aku akan lakukan demi rumah tangga kita. Demi putra kecil kita.” Tatapan mata Mas Taufik begitu berapi-api. Aku menyadari bahwa dia memang serius mengucapkannya.

Sungguh aku tau betapa besar rasa cinta Mas Taufik terhadapku. Aku bahkan paham betul bahwa dia bersedia melakukan apapun dan mengorbankan apapun demi diriku. Itulah sebabnya aku menerimanya ketika dia datang melamarku. Kala itu aku bertekad untuk hidup dalam suka dan duka bersama Mas Taufik dan aku tidak menuntut apapun darinya. Aku bahkan tidak peduli dengan latar belakang ekonominya dan sebagainya. Aku percaya bahwa kami pasti akan berhasil melalui segala hal asalkan cinta kami berdua tulus.

Dulu, beberapa tahun yang lalu, ketika kami belum menikah. Aku mengenal Mas Taufik sebagaimana orang-orang mengenalnya. Dia adalah pemuda yang rajin, selalu bangun pagi dan aktif ke Masjid. Selain itu dia adalah pemuda yang santun dan ramah kepada semua orang. Dia adalah sulung dari 3 bersaudara. Kedua adiknya perempuan dan dia memiliki seorang Ibu. Ayahnya meninggal ketika Mas Taufik baru menginjak bangku SMP. Karna itu mas Taufik merasa bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Sepeninggal ayahnya, Mas Taufik hanya bisa mengenyam bangku SMP. Setelah itu dia bekerja untuk menyekolahkan adik-adiknya. Ya, dia adalah pemuda yang baik dan santun sebab itulah aku diam-diam mengaguminya. Meskipun aku bukan seorang bunga desa, banyak orang menyebutku cantik. Sebab itu tak sedikit pemuda kampung yang mendekatiku, tapi tak satupun dari para pemuda itu yang menarik minatku. Mas Taufik adalah sosok pemuda yang dikenal santun, itu sangat berbeda denganku yang lebih dikenal sebagai wanita yang tegas dan teguh pendirian, meski tak sedikit orang menyebutku keras kepala. Tapi begitulah aku, ketika aku sudah mengucapkan sesuatu maka aku akan melakukannya.

Awal mula aku mengenal Mas Taufik adalah saat aku masih di bangku SMA. Karna kampungku agak terpencil maka sarana transportasipun terbatas. Selepas Ashar tidak akan ada lagi kendaraan umum yang mengarah ke Kampungku. Padahal Sekolahku berada di Kampung lain. Kala itu aku terlambat pulang karna suatu hal sehingga kehabisan angkot. Hingga hampir menjelang Maghrib aku menunggu tak ada satupun angkot yang kuharapkan terlambat pulang. Memang ada beberapa pemuda kampungku yang juga Sekolah di tempat yang sama denganku tapi aku enggan meminta bantuan mereka.

Tiba-tiba pertolongan datang seperti dari langit. Mas Taufik yang kala itu kebetulan sedang membeli beberapa keperluan di Kampung tempat Sekolahku berada, lewat didepanku. Aku langsung memanggilnya dan menjelaskan keadaanku. Biasanya ayahku akan marah jika mengetahui aku pulang berboncengan dengan pemuda, tapi aku yakin jika pemuda itu adalah Mas Taufik, ayah akan memakluminya apalagi melihat keadaanku, memang tidak ada pilihan yang lebih baik.

Mas Taufik benar-benar pemuda yang lugu. Aku lihat dia agak grogi ketika aku membonceng motornya. Dia bahkan kesulitan untuk berbincang-bincang padaku, hanya mengatakan kata-kata yang formal. Dia tidak sok akrab dan memanfaatkan keadaan. Itulah sebabnya aku merasa aman bersama Mas Taufik. Aku berharap keadaan ini akan berlangsung selamanya. Sungguh saat itu aku merasa nyaman berada dekat dengan Mas Taufik.

Setelah kejadian itu, terdengar desas desus di kampungku bahwa sikap Mas Taufik terlihat berbeda. Jika selama ini Mas Taufik selalu tampak kaku , tiba-tiba saja dia nampak bercahaya seperti mentari. Orang-orang mengatakan Mas Taufik seperti terlahir kembali. Dia menjadi tampak sumringah dan kadang terlihat senyum-senyum sendiri.

Orang-orang berkesimpulan bahwa sesuatu yang besar baru saja terjaadi dengan Mas Taufik. Ya, desas desus yang terdengar adalah bahwa Mas Taufik tengah dilanda mabuk asmara. Tapi dengan siapa? Orang-orang melirikkan pandangan padaku. Selama ini Mas Taufik memang dikenal alim, dia tidak pernah dekat-dekat dengan wanita. Meski begitu pernah sekali dia begitu dekat dengan seorang wanita, bahkan memboncengkannya dari luar Kampung ke rumah, dan wanita itu adalah aku.

Desas-desus itu tersebar semakin luas. Tapi entah kenapa aku tidak marah atau berusaha menyangkalnya. Sejak itu aku merasa tertarik dengan kepribadian Mas Taufik. Aku mulai dekat dengan kedua saudarinya dan ibundanya. Setelah desas desus itu aku memang selalu meluangkan waktu mampir ke rumah Mas Taufik meski bukan untuk menemui Mas Taufik, aku beralasan untuk menemui ibunda beliau. Meski begitu, Mas Taufik tidak juga memanfaatkan kesempatan yang ada. Tetap saja ketika berpapasan denganku dia hanya menyapa secara formal dan berlalu begitu saja. Aku hanya bisa mendesah panjang melihat kelakuan Mas Taufik yang tidak responsif.

Waktupun berlalu hingga aku lulus SMA. Aku tidak meneruskan kuliah sebagaimana umumnya warga di Kampungku. Mereka yang melanjutkan kuliah biasanya memang hanya dari kalangan terpandang yang memiliki harta melimpah. Sedangkan keluargaku memiliki latar belakang ekonomi yang biasa-biasa saja.

Mungkin sudah tradisi, tapi ketika seorang gadis lulus Sekolah maka itu seperti sebuah sinyal bahwa sang gadis sudah boleh dilamar. Begitu pula denganku. Beberapa pemuda di Kampungku bahkan dari Kampung lain mendatangi rumahku untuk menyatakan niatnya menikahiku, beberapa dari mereka bahkan tergolong dari kelas terpandang. Di kampungku, seorang yang punya pekerjaan tetap sebagai PNS sudah bisa dikatakan kelas terpandang. Tapi aku menolak mereka satu demi satu. Aku tidak tau kenapa, entah karna aku ini bodoh atau bagaimana, ketika Mas Rian yang Guru SMP itu datang melamarku, aku langsung menjawabnya dengan kata “tidak,” padahal dia adalah pemuda yang baik dan mapan, jika aku menjadi istrinya maka aku akan hidup lebih baik.

Ayahku sampai terheran-heran dengan sikapku. Bahkan sampai usiaku 20 tahun, aku belum juga menerima lamaran siapapun. Di kampungku, seorang gadis yang tidak sedang Kuliah atau sedang bekerja di suatu tempat seharusnya sudah berumah tangga ketika usianya telah matang. Pada akhirnya ayah ibuku membicarakan hal ini secara serius. Penolakanku terhadap Mas Rian tentu tidak bisa dibilang sepele karna itu artinya aku menghilangkan kesempatanku untuk hidup secara baik dan terpandang di masyarakat.

Akupun mengatakan pada orangtuaku bahwa aku tidak mencintai Mas Rian. Orangtuaku paham betul dengan watakku yang “keras kepala” sehingga mereka tidak mendebatku. Entah karna angin apa, Mas Taufik tiba-tiba datang ke rumahku dengan setelan rapi. Mengenakan sepatu hitam, kemeja batik rapi dan celana hitam lengkap dengan sabuknya. Dengan terbata-bata dia menyatakan keinginannya untuk melamarku dan entah kenapa tiba-tiba saja aku mengucapkan bersedia. Ayahku begitu terkejut mendengar keputusanku, tapi seperti biasa, tak seorangpun di keluargaku berani mendebat apa yang sudah aku putuskan.

Tentu saja, demi menjaga kredibilitas nama keluargaku, ayahku tidak akan menolak Mas Taufik menjadi menantunya karna aku sudah menyatakan bersedia. Jadi, aku mengorbankan masa depanku untuk hidup lebih baik bersama Mas Rian dan memilih hidup sederhana bersama Mas Taufik. Satu-satunya alasan kuat yang melandasinya hanyalah satu kalimat yang bernama “Cinta.” Aku tau betul bahwa Mas Taufik mencintaiku lebih dari apapun, dan aku mengira dengan rasa cinta, kami bisa melalui apapun.

“Mas harus mengerti. Aku tidak mencintai mas lagi. Apa itu belum cukup?” Aku membentaknya dengan suara lantang, serta merta Fariz, putraku, terbangun dan menangis. Aku berusaha menenangkannya. Mas Taufik mendekatiku hendak mengelus Fariz agar terdiam, aku hendak menghindarinya tapi tidak tega, aku membiarkan Mas Taufik melimpahkan kasih sayangnya pada putra kami hingga akhirnya Fariz terdiam dan tertidur lelap.

“Bagaimana nasib putra kita nanti?” Kulihat airmata Mas Taufik mengalir dipipinya. Aku hanya bisa menggigit bibirku, mencoba menahan diri agar tidak terbawa perasaan, mencoba menahan agar tidak menumpahkan airmataku.

Sempat terpikir untuk membatalkan keinginanku untuk bercerai, tapi aku tak mungkin melakukannya. Mungkin terlihat begitu kejam, tapi kenyataannya aku tidak ingin bersama Mas Taufik karna aku mencintainya. Aku begitu mengenal betul wataknya yang penuh kasih dan tanggung jawab, tapi justru hal itulah yang membuatku ingin agar Mas Taufik melupakanku. Bukan karna aku benci, bukan pula aku sudah kehilangan rasa cinta. Tapi semua karna keadaan yang memaksa.

Sudah 4 tahun kami menjalani hidup berumah tangga, namun keadaan ekonomi tidak juga membaik. Aku menyadari Mas Taufik mulai kelimpungan mencari nafkah. Bahkan demi menghidupiku, kedua adiknya tidak bisa melanjutkan Sekolahnya. Kemudian ketika Fariz pertama kali meneriakkan tangisan pertamanya, keadaan semakin memburuk. Mas Taufik bekerja siang malam tanpa mengenal istirahat, dia menjual semua yang dimilikinya. Bahkan hari demi hari tubuhnya semakin kurus, sangat berbeda denganku. Mas Taufik selalu mengusahakan untuk mencukupi semua kebutuhanku dengan melupakan dirinya. Pernah suatu kali aku menolak untuk makan sebelum melihat Mas Taufik makan, tapi dia mengatakan bahwa aku menyakiti harga dirinya sebagai seorang suami.

Sering aku menyarankannya istirahat ketika badannya sakit tapi dia menolaknya. Dia tetap bekerja dengan tubuhnya yang semakin sakit-sakitan. Dia sudah tidak peduli dengan dirinya sendiri hanya demi diriku. Ingin sekali aku membantu Mas Taufik bekerja, tapi bagaimana dengan Fariz jika aku bekerja? Semakin hari aku semakin tersiksa. Meski tubuhku sehat dan segar, tercukupi gizi dan kasih sayang oleh Mas Taufik tapi hatiku sakit. Istri mana yang tega melihat suaminya tersiksa saat dirinya hidup serba kecukupan?

Aku akan terlihat jahat jika membebankan suamiku apa yang diluar kemampuannya. Lalu apakah ada keputusan yang lebih baik? Sungguh, aku tidak pernah ingin suamiku menderita lebih lama lagi karna diriku sebab itu aku harus membuat keputusan yang tegas. “Mas, besok antar aku ke rumah orangtuaku.” Kataku lirih.

Kulihat Mas Taufik begitu pasrah, tatapannya kosong seperti kehilangan ruh. Airmatanya mengalir semakin deras. Dia hanya diam membisu tak berani mendebatku, karna sebagaimana yang diketahuinya tentangku, ketika aku memutuskan sesuatu tak ada seorangpun yang pernah berhasil merubahnya. Mas Taufik mendekap kedua lututnya dan membenamkan kepalanya didalamnya, aku mendengarnya menangis terisak-isak. Kemudian, nyaris tak terdengar dia berkata, “baiklah, asalkan itu bisa membuatmu bahagia.”


Magelang, 2 September 2014

winapurwokoadi.blogspot.com

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Post a Comment

 
biz.