Aku mematung, terhanyut dalam keindahan pesona dalam kanvas. Indah sekali, kesannya begitu hidup dan memiliki jiwa. Matahari dengan sapuan warna orange dengan gradasi senja yang begitu memukau. Dibawahnya hamparan rumput dengan sapuan warna hijau pekat dengan garis-garis tipis dipinggirannya. Sebenarnya lukisan itu sudah cukup indah. Pergiliran gradasi warna yang menegaskan pencahayaan yang begitu detail. Siluet bebatuan yang membelakangi cahaya redup mentari sore.
Namun pohon itu terasa mengganggu. Kenapa dia harus meletakkannya
disitu? Kenapa dia merasa perlu untuk melukisnya? Apa maksudnya? Pohon
tua itu merusak nuansa elegan dalam lukisan itu. Keberadaannya justru
membuat kabur tema yang dibuat. Kupandangi pohon tua yang berdiri kokoh
di atas rerumputan itu. Goresan kuasnya terkesan kasar, campuran
warnanya terlalu tebal, namun detail teksturnya begitu memukau.
Pohon itu seolah melambangkan kemarahan yang terpendam. Itu tampak dari
akar-akarnya yang menyeruak di atas permukaan dengan gumpalan tanah
yang menempel. Akar pohon itu merusak tanah disekitarnya, rerumputan
yang berada disekitarnya nampak layu. Seolah pohon itu hendak menyerap
semua keindahan dan meleburkannya.
Seekor burung gagak bertengger di dahan pohon yang telah kehilangan
seluruh daunnya itu. Memberikan kesan yang begitu angker. Tapi ini aneh,
tentu saja ini aneh. Karna begitu kontras dengan pemandangan siluet
sore yang elegan. Cara menggoreskan kuasnya pun berbeda. Seolah lukisan
ini dilukis oleh dua orang yang berbeda.
Aku meraba permukaan kanvas itu. Merasakan teksturnya dipermukaan
kulitku. Aku merasakan sapuan kuas yang begitu lembut pada latar
pemandangan sore. Benar-benar dilukis dengan seluruh jiwa. Ada rasa
kasih sayang, pengertian dan kelembutan dari caranya melukis. Namun
begitu aku meraba goresan kuas pada pohon itu aku tersentak, secara
reflek kuangkat tanganku. Menakutkan sekali. Perasaan yang begitu campur
aduk dirangkum jadi satu kesatuan hasilnya begitu kacau. Ada kebencian
di dalamnya, ada kesedihan dan ada keputusasaan.
“Ada apa Erin?” Retno bertanya padaku begitu melihat tingkahku.
“Oh tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya terkesan dengan lukisan ini. Kau tahu siapa yang melukisnya?” tanyaku.
“Oh itu lukisan Sena. Itu lho Mahasiswa seni rupa yang selalu bikin
ribut suasana kelasnya. Memangnya lukisan itu menarik ya? Menurutku sih
biasa saja.”
“Retno, kau ini. Tau apa kau tentang seni?” Jawabku, “aku pernah
melihat beberapa karya lukis dari London, dan lukisan ini menurutku juga
cukup layak disebut sebagai mahakarya. Aku jadi penasaran dengan orang
bernama Sena itu.”
“Kau ingin bertemu langsung dengannya?”
“Ya. Tentu saja.”
“Kalau jam segini sih biasanya dia asyik nongkrong sama teman-temannya di Kantin. Perlu kuantar ketempatnya?”
“Bolehlah. Setidaknya aku ingin tau yang mana orangnya.”
Suasana Kantin begitu ramai, hilir mudik para pelanggan yang rata-rata
adalah Mahasiswa kampus ini seolah tidak ada habisnya. Aku menyapa
beberapa teman yang kebetulan berpapasan denganku. Ada juga beberapa
pemuda yang hanya berani mencuri pandang padaku. Tentu saja mereka tidak
berani sok akrab denganku karna kedudukan ayahku sebagai Walikota yang
cukup disegani.
Aku
melayangkan pandangan keseluruh penjuru kantin dan kulihat di salah
satu meja tampak berkerumun para pemuda yang asyik membuat kebisingan.
Tampak seorang pemuda memimpin obrolan sementara yang lainnya serius
mendengarkan. Beberapa detik kemudian secara serentak mereka tertawa
terbahak-bahak.
“Itu
dia yang bernama Sena.” Retno menunjuknya dengan buku yang ada
ditangannya. Aku menatap pemuda bernama Sena itu. Apa benar dia yang
bernama Sena? Benarkah lukisan tadi dia yang membuatnya? Sepertinya
tidak melukiskan karakternya. Kukira dia adalah seorang pendiam dan
tidak banyak bergaul. Tapi ini menarik.
Aku
menghampiri salah satu karyawan Kantin dan memesan Jus Alpukat. “Tolong
berikan ini pada orang itu ya? Sena. Tahu kan?” karyawan itu
mengangguk.
“Katakan padanya bahwa aku… Erin menitipkan salam untuknya.”
Setelah
aku membayar dan memberikan tip untuk karyawan Kantin itu aku langsung
pergi meninggalkan ruangan bersama Retno. Aku tidak harus bertemu
langsung dengannya saat ini. Tentu saja Sena sudah mengenalku
sebagaimana seluruh Mahasiswa di Kampus ini tahu siapa dia yang bernama
Erin.
****
Mereka
sangat berarti bagiku. Lukisan-lukisan ini, yang kupajang rapi
mengelilingi perpustakaan pribadi keluargaku. Meskipun untuk mendapatkan
salah satunya saja aku harus menguras tabunganku. Tapi memang
begitulah, hanya orang yang berani berkorban saja yang bisa memahami
sebuah karya seni. Dan jika harus dinilai dengan uang, maka karya seni
itu tidak bisa dinominalkan. Mereka melukisnya dengan jiwa maka aku
harus menghargainya semampuku.
Aku
menatap sebuah lukisan gadis kecil dihadapanku. Lukisan yang bagus.
Nampak latar belakang hujan rintik-rintik yang membasahi tubuh gadis
kecil yang berpakaian usang. Aku menatap mata gadis kecil itu namun aku
tidak mendapatkan jiwa didalamnya. Lukisan yang hanya indah dipandang
tapi tak bisa diresapi. Aku hanya melihatnya sebagai zombie, tidak ada
kehidupan didalamnya. Tidak nampak rangkuman emosi dari si pelukis. Tapi
banyak orang awam memuji lukisan ini. Mereka yang hanya melihat dari
apa yang terlihat.
Sebenarnya
aku tidak tertarik dengan lukisan ini. Tapi ini adalah hadiah ulang
tahun dari kakakku, dan dia menghargainya terlalu mahal. Jadi aku
berkesimpulan bahwa letak artistiknya ada pada pengorbanan kakakku dalam
mencurahkan kasih sayangnya padaku dengan menghadiahkan lukisan yang
cukup mahal ini padaku. Bukan pada lukisannya. Kesan didalamnya. Itulah
yang menjadi keindahannya. Walaupun tetap saja akan lebih baik jika
kakakku mengerti sedikit tentang jiwa seni sehingga aku tidak harus
memajang mayat hidup ini disini.
Aku
menduga, orang yang melukisnya tidak begitu mengerti tentang seni. Dia
hanya memfokuskan diri menciptakan sebuah nuansa keindahan, meski tanpa
jiwa. Mungkin dia mengira bahwa melukis adalah profesi bisnis sehingga
dia hanya berpikir bahwa yang terpenting bagi lukisan adalah segera
terjual dan berganti menjadi gemerincing uang. Dan keinginannya jelas
terkabul. Orang-orang awam pastilah akan terpukau dengan keindahan
lukisannya.
Sedangkan
lukisan disebelahnya, mungkin tidak begitu menarik bagi kebanyakan
orang. Hanya goresan-goresan cat air yang tak jelas maksudnya.
Warna-warna bercampur mengotori kanvas. Tapi lukisan inilah yang
sebenarnya bagus. Aku bisa merasakan sentuhan emosinya. Jiwanya.
Harapannya.
Lukisan
ini sangat bermakna bagiku. Setiap aku melihatnya seolah aku melebur
bersamanya. Bersama kenangan dan harapannya. Lukisan ini sebenarnya bisa
sangat mahal jika dijual. Tapi pelukisnya menghadiahkannya padaku.
Baginya, penghargaanku pada lukisannya dan kemampuanku dalam menjiwainya
adalah pembayaran yang cukup untuk melunasinya. Sebenarnya aku sudah
berkali-kali memaksanya untuk menerima uang dariku tapi dia menolaknya.
Melihat keteguhannya untuk tidak menerima uang dariku, aku jadi mengerti
bahwa dia memiliki persepsi seni yang lebih dalam.
“Biarkan
seni ini menjadi semakin bermakna. “ Katanya, “suatu ketika aku pasti
mati tapi karya seni yang aku buat akan abadi. Maka biarkanlah lukisan
ini menjadi semakin bermakna. Berapapun uang yang diberikan aku tidak
akan menjual lukisan ini karna bukan untuk uang lukisan ini kubuat. Aku
merangkum kehidupanku dalam lukisan ini, merangkum seluruh kenangan.
Merangkum kesedihan dan kebahagiaan menjadi satu di dalam lembaran
kanvas. Satu-satunya yang kuinginkan adalah keabadian dalam lukisanku
ini. Keabadian dalam kenangan bagi mereka yang mengerti seni. Ya, aku
butuh uang untuk makan dan yang lainnya. Karna itulah aku menjual
lukisan-lukisanku dengan nominal. Tapi bukan yang ini. Karya seni
didalamnya akan luruh jika aku menominalkannya.”
Keabadian.
Ya, jiwa itu abadi namun raga terikat dengan usia. Kematian raga
bukanlah berarti kematian bagi jiwa. Bagi jiwa yang dititipkan dalam
sebuah karya seni maka dititipkanlah keabadian dalam goresan kanvas.
Meski telah lebur jasad bersama tumpukan tanah namun seni yang dibuat
dengan sepenuh jiwa akan tetap hidup. Abadi. Selamanya.
Lukisan
adalah sebuah rangkaian kehidupan dari lembaran emosi yang tidak dapat
dituangkan melalui kata-kata. Mereka memadukan keindahan bersama buku
harian kehidupannya atau filosofi kehidupannya dalam bingkai kanvas.
Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan emosinya. Hanya rasa sebagaimana
adanya. Tanpa kalimat dan tanpa kata.
Dengan
melukis, orang-orang melepaskan beban hidupnya. Mengungkapkan emosi
yang tak bisa diungkap dengan kata. Mencoba membebaskan diri dari
belenggu kegilaan. Tentu saja, ketika dunia tidak bisa memahami mereka,
mereka bisa lebur dalam kegilaan. Dan saat itu, hanya sebuah kanvas yang
dapat memahaminya. Dia akan membiarkan kuas ditangannya menari
mengungkapkan rasa didalam dadanya.
Aku
memandangi beberapa koleksi lukisanku satu demi satu dan melebur dalam
tiap emosinya. Menyelami beragam kehidupan didalamnya. Setiap darinya
memiliki kesan tersendiri. Kupejamkan mataku sejenak dan membiarkan jiwa
ini hanyut dalam kumpulan imajinasi. Terbang ke angkasa menembus
cakrawala harapan. Menuruni lembah keputus asaan. Hanyut dalam sungai
kepasrahan dan kembali ke dunia nyata dengan air mata meleleh membasahi
pipi.
Sejenak
kupandangi salah satu bagian dinding yang masih kosong. Aku merenung
sejenak dan tersenyum, “aku ingin membeli lukisan pemuda yang bernama
Sena itu. Harus.”
****
Sanggar
seni ini sudah sepi, hanya ada Sena yang sedang sibuk dengan
lukisannya. Dia membelakangiku dan tidak menyadari keberadaanku yang
sedang mendekatinya. Dia tampak begitu hanyut dengan pekerjaannya. Aku
memandang pekerjaannya. Lukisan yang bagus dan memiliki jiwa.
Sapuan
warna biru mendominasi kanvas. Campuran warnanya begitu halus. Di
beberapa bagian dia memberikan bercak warna ungu dan merah dengan
goresan kuas melengkung indah seperti ukiran. Di salah satu sisi dia
melukis mata dengan detail yang menjadi tema dalam lukisannya. Sena
sedang asyik menyapukan warna biru gelap dibagian atas kanvas, begitu
gelap warnanya hingga menyerupai warna hitam. Lalu dengan tangkas dia
mencampur warna dan memberikan bercak-bercak putih terang diatas warna
biru gelap. Lalu dia goreskan warna kuning melingkar secara spiral yang
tidak teratur sementara disekelilingnya diberikan pergantian gradasi
warna dari terang ke gelap.
Aku
mendesah nafas panjang seketika memahami emosi apa yang terkandung
didalamnya. Sena mendengarnya dan langsung menoleh kepadaku. “Oh, Erin.
Maaf, aku tidak menyadari kedatanganmu. Jika boleh tahu, angin apakah
yang membawamu kesini?”
Aku
diam sejenak, memandang matanya dan tersenyum, “maaf, aku jadi
mengganggu pekerjaanmu, Sena. Aku terkesan dengan lukisanmu yang kau
pajang di ruang pameran. Jadi aku ingin memilikinya.”
Sena
tersenyum, sebuah senyum formal dan sopan yang tidak begitu alami,
terlihat dari urat bibirnya yang halus terlihat, “uhm, sebelumnya aku
berterima kasih atas Jus Alpukat yang kau berikan kemarin. Rasanya enak.
Apalagi mengingat itu hadiah darimu. Dari seorang putri Walikota. Itu
menjadi suatu kehormatan tersendiri bagiku.” Sena diam sejenak untuk
berpikir, “lukisan itu, apakah begitu berharga bagimu?”
Aku
mengangguk, “lukisan itu menarik. Kau memadukan nuansa kebencian
ditempat yang tidak seharusnya. Itu menjadi keunikan tersendiri. Lukisan
itu menggambarkan suatu kepribadian yang membingungkan untukku. Aku
ingin bertanya sedikit, bolehkah?”
Sena tersenyum dan matanya sedikit menyipit, sekaligus itu menjadi pengganti kalimat, “ya.”
“Perlukah ada kebencian dalam kehidupan ini? Bukankah indah jika dalam hidup ini hanya ada kasih sayang dan rasa cinta?”
“Erin.
Mungkin kau tidak mengerti. Kau yang dari kecil selalu hidup dalam
limpahan kasih sayang dan hidup berkecukupan tidak akan mengerti tentang
apa itu kebencian.” Sena meletakkan kuasnya di meja kecil dan memutar
kursinya menghadap padaku. “Memang benar bahwa Seni itu adalah kebebasan
untuk berimajinasi, dan kebanyakan orang menggunakan imajinasinya untuk
lari dari kebencian. Tapi itu adalah suatu hal yang tidak semestinya.
Itu namanya mengingkari kenyataan. Karnanya, melalui lukisan itu aku
sedikit mengajarkan arti sebuah kebencian di atas kehidupan yang
dipenuhi oleh kelembutan dan kasih sayang.”
Sena berdiri lalu mengambilkan kursi untukku. Aku duduk setelah dipersilahkan. “Tapi kenapa?”
“Karna
bagi mereka yang pernah mengenal arti sebuah kebencian, arti sebuah
kasih sayang itu menjadi semakin bermakna. Ya. Mungkin beberapa orang
akan menyayangkan aku memberikan nuansa kebencian diatas tema lukisan
yang dipenuhi oleh kasih sayang. Mungkin orang akan mengira bahwa aku
berusaha merusak seluruh keindahan yang dengan susah payah kubuat dan
menggantikannya dengan kebencian dan keputus asaan. Seolah aku merusak
citra seniku sendiri.”
“Tidak
Sena. Lukisanmu bermakna. Aku menyukai cita rasa didalamnya. Hanya saja
aku merasa perlu untuk bertanya. Menurutmu, perlukah adanya kebencian
didunia ini?”
“Tidak.
Tentu saja. Hanya saja itu tidak mungkin kecuali di syurga sana.
Mencoba membohongi diri dengan angan-angan hilangnya kebencian dari
kehidupan adalah bodoh. Karna itu manusia perlu melihat realita hidup
agar bisa menyesuaikan. Cobalah lihat di bangsal-bangsal RSJ disana,
kenapa mereka disana? Karna mereka mencoba lari dari kenyataan, mencoba
membohongi diri sendiri dan hidup dalam imajinasi yang mereka buat
sendiri. Sebuah dunia imajinasi yang begitu indah sehingga mereka betah
tinggal didalamnya dan tidak mau hidup didunia nyata yang keras.”
“Lukisan itu. Bagaimana kau membuatnya?” tanyaku.
“Aku
sendiri tidak menyadarinya Erin. Aku hanya melebur bersama jiwaku. Aku
hanya ingin melukis keindahan, mengajarkan manusia untuk memahami
indahnya dunia melalui seni. Namun tiba-tiba tanganku bergerak sendiri
dan melukiskan pohon kebencian itu. Itu bukan keinginanku Erin. Pohon
itu membuatku takut. Lukisan itu adalah kejujuran dari perasaanku dan
akupun menyadari ada kebencian dan kemarahan dalam diriku. Suatu hal
yang asing bagiku tapi sekaligus begitu akrab.”
Aku diam saja mendengarkan.
“Aku
selalu berusaha untuk bahagia dan membuat orang lain bahagia. Aku ingin
mempersembahkan keindahan bagi dunia. Namun ketika melukiskan keindahan
maka kenangan-kenangan itu kembali, kenangan buruk dimasa laluku.
Penghianatan, penghinaan, kesedihan dan kebencian merasuk jelas ke alam
imajiku. Aku selalu berusaha melupakannya dan berpura-pura hal itu tak
pernah terjadi tapi tetap saja hatiku tak bisa berbohong pada diriku.
Kebencianku yang selama ini kupendam akhirnya terlihat begitu jelas
ketika aku melihat goresan kasar dalam kanvasku.”
****
Aku
ingin melukis. Aku ingin lebih dalam mengenal diriku dan merangkumnya
dalam sebuah kanvas. Aku berada didalam sanggar seni keluargaku,
bertemankan keheningan. Kupejamkan mataku dan memulai relaksasi. Satu
tarikan nafas lembut dan panjang disusul hembusan perlahan. Kutajamkan
pendengaranku dan berkonsentrasi, sayup-sayup terdengar suara kipas
angin, makin lama suara itu semakin keras dan semakin keras.
Terdengar
lagi suara tetesan air dari arah dapur. Lalu detak jarum jam menggema
didalam kepalaku. Begitu keras. Suara-suara tadi bercampur didalam
kepalaku, berdentum dan saling beradu. Keheningan pun pecah oleh
keramaian dan bercampur menjadi melodi.
Tiba-tiba
terdengar suara musik yang mengalahkan semua suara. Sebuah musik klasik
dari DVD yang sudah kusetel dengan timer. Musik itu mengalun begitu
lembut membelai syaraf-syaraf imajiku. Membawaku terbang mengelana
menembus batas-batas rasio. Bola mataku bergerak-gerak (Rapid Eye
Movement) sebagai bagian efek penurunan gelombang otak menuju gelombang
Theta dan memasuki mode hypnosis. Ketika aku berada dalam masa ini maka
suara sekecil apapun menjadi sangat sugestif.
“Kau
adalah angin, mengembara menyisiri lembah-lembah kehidupan.” Sebuah
suara mengomandoku, suara dari DVD, dan akupun hanya bisa pasrah
mengikutinya. Aku mengosongkan pikiranku, menghilangkan kenanganku
sebagai manusia dan menjadi angin. Aku berhembus menyisiri padang
rumput, mengukir riak dalam genangan, membelai lembut dedaunan.
Aku
terus mengikuti suara-suara sugestif itu. Terbang membelah awan dan
turun menghujam menghempas bumi. Lalu aku kembali menjadi diriku.
Beragam kenangan menjejali kepalaku, begitu jelas dan begitu nyata. Rasa
sakit, kecewa, gelisah, marah, dan bahagia datang silih berganti. Aku
membedah diriku, membedah kekuatan imajinasiku sebagaimana Michaelangelo
membedah mayat demi menciptakan mahakarya.
Waktu
terus berlalu hingga satu jam telah berlalu, kemudian alunan musik
berhenti sebagai tanda usainya masa relaksasi. Aku kembali dari masa
terhipnosis dan membuka mataku. Kudapati keringat telah membanjiri
tubuhku, nafasku tersengal-sengal. Beragam memori yang bergiliran masuk
kedalam kepalaku cukup menguras tenagaku. Aku langsung berdiri dan
mengambil air minum.
Kenangan tadi masih menghujam kuat didalam kepalaku. Beragam emosi yang
berkecamuk bergelut didalam diriku. Aku segera menghampiri kanvas dan
mencampur warna. Lalu tertorehlah goresan-goresan kuas didalam kanvas
yang mewakili beragam emosiku. Butuh waktu 3 minggu untukku menuangkan
beragam emosiku sehingga nampaklah sebuah lukisan yang melambangkan
bahwa betapapun banyaknya masalah hidup semua pasti akan berakhir jika
manusia percaya pada janji Tuhan. Aku tersenyum melihat tunas bunga
Tulip berwarna cerah didalam kanvas yang melambangkan sebagai tunas
harapan. Tunas itu berdiri kukuh seolah tersenyum, diatas reruntuhan
puing bangunan dan serakan pecah belah. Begitu kontras dengan tema
lukisan yang melambangkan kesedihan.
Aku akan memajang lukisanku ini disamping lukisan Sena. Lukisanku
adalah kebalikan dari lukisannya. Sena melukiskan kebencian yang
menghancurkan segala keindahan, sedangkan aku melukiskan keindahan yang
akan menghancurkan segala kebencian. Lukisan itu kuahiri dengan goresan
kuas warna hijau terang dengan kalimat dari janji Tuhan, “sesungguhnya
setelah kesukaran akan datang kemudahan.”
Magelang, 21 Juli 2012
0 comments:
Post a Comment