Saturday 7 November 2015

Cerpen : Tarian Dalam Kanvas

           



Aku mematung, terhanyut dalam keindahan pesona dalam kanvas. Indah sekali, kesannya begitu hidup dan memiliki jiwa. Matahari dengan sapuan warna orange dengan gradasi senja yang begitu memukau. Dibawahnya hamparan rumput dengan sapuan warna hijau pekat dengan garis-garis tipis dipinggirannya. Sebenarnya lukisan itu sudah cukup indah. Pergiliran gradasi warna yang menegaskan pencahayaan yang begitu detail. Siluet bebatuan yang membelakangi cahaya redup mentari sore.

                Namun pohon itu terasa mengganggu. Kenapa dia harus meletakkannya disitu? Kenapa dia merasa perlu untuk melukisnya? Apa maksudnya? Pohon tua itu merusak nuansa elegan dalam lukisan itu. Keberadaannya justru membuat kabur tema yang dibuat. Kupandangi pohon tua yang berdiri kokoh di atas rerumputan itu. Goresan kuasnya terkesan kasar, campuran warnanya terlalu tebal, namun detail teksturnya begitu memukau.

                Pohon itu seolah melambangkan kemarahan yang terpendam. Itu tampak dari akar-akarnya yang menyeruak di atas permukaan dengan gumpalan tanah yang menempel. Akar pohon itu merusak tanah disekitarnya, rerumputan yang berada disekitarnya nampak layu. Seolah pohon itu hendak menyerap semua keindahan dan meleburkannya.

                Seekor burung gagak bertengger di dahan pohon yang telah kehilangan seluruh daunnya itu. Memberikan kesan yang begitu angker. Tapi ini aneh, tentu saja ini aneh. Karna begitu kontras dengan pemandangan siluet sore yang elegan. Cara menggoreskan kuasnya pun berbeda. Seolah lukisan ini dilukis oleh dua orang yang berbeda.

                Aku meraba permukaan kanvas itu. Merasakan teksturnya dipermukaan kulitku. Aku merasakan sapuan kuas yang begitu lembut pada latar pemandangan sore. Benar-benar dilukis dengan seluruh jiwa. Ada rasa kasih sayang, pengertian dan kelembutan dari caranya melukis. Namun begitu aku meraba goresan kuas pada pohon itu aku tersentak, secara reflek kuangkat tanganku. Menakutkan sekali. Perasaan yang begitu campur aduk dirangkum jadi satu kesatuan hasilnya begitu kacau. Ada kebencian di dalamnya, ada kesedihan dan ada keputusasaan.

                “Ada apa Erin?” Retno bertanya padaku begitu melihat tingkahku.

                “Oh tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya terkesan dengan lukisan ini. Kau tahu siapa yang melukisnya?” tanyaku.

                “Oh itu lukisan Sena. Itu lho Mahasiswa seni rupa yang selalu bikin ribut suasana kelasnya. Memangnya lukisan itu menarik ya? Menurutku sih biasa saja.”

                “Retno, kau ini. Tau apa kau tentang seni?” Jawabku, “aku pernah melihat beberapa karya lukis dari London, dan lukisan ini menurutku juga cukup layak disebut sebagai mahakarya. Aku jadi penasaran dengan orang bernama Sena itu.”

                “Kau ingin bertemu langsung dengannya?”

                “Ya. Tentu saja.”

                “Kalau jam segini sih biasanya dia asyik nongkrong sama teman-temannya di Kantin. Perlu kuantar ketempatnya?”

                “Bolehlah. Setidaknya aku ingin tau yang mana orangnya.”

                Suasana Kantin begitu ramai, hilir mudik para pelanggan yang rata-rata adalah Mahasiswa kampus ini seolah tidak ada habisnya. Aku menyapa beberapa teman yang kebetulan berpapasan denganku. Ada juga beberapa pemuda yang hanya berani mencuri pandang padaku. Tentu saja mereka tidak berani sok akrab denganku karna kedudukan ayahku sebagai Walikota yang cukup disegani.

Aku melayangkan pandangan keseluruh penjuru kantin dan kulihat di salah satu meja tampak berkerumun para pemuda yang asyik membuat kebisingan. Tampak seorang pemuda memimpin obrolan sementara yang lainnya serius mendengarkan. Beberapa detik kemudian secara serentak mereka tertawa terbahak-bahak.

“Itu dia yang bernama Sena.” Retno menunjuknya dengan buku yang ada ditangannya. Aku menatap pemuda bernama Sena itu. Apa benar dia yang bernama Sena? Benarkah lukisan tadi dia yang membuatnya? Sepertinya tidak melukiskan karakternya. Kukira dia adalah seorang pendiam dan tidak banyak bergaul. Tapi ini menarik.

Aku menghampiri salah satu karyawan Kantin dan memesan Jus Alpukat. “Tolong berikan ini pada orang itu ya? Sena. Tahu kan?” karyawan itu mengangguk.

“Katakan padanya bahwa aku… Erin menitipkan salam untuknya.”

Setelah aku membayar dan memberikan tip untuk karyawan Kantin itu aku langsung pergi meninggalkan ruangan bersama Retno. Aku tidak harus bertemu langsung dengannya saat ini. Tentu saja Sena sudah mengenalku sebagaimana seluruh Mahasiswa di Kampus ini tahu siapa dia yang bernama Erin.

****

Mereka sangat berarti bagiku. Lukisan-lukisan ini, yang kupajang rapi mengelilingi perpustakaan pribadi keluargaku. Meskipun untuk mendapatkan salah satunya saja aku harus menguras tabunganku. Tapi memang begitulah, hanya orang yang berani berkorban saja yang bisa memahami sebuah karya seni. Dan jika harus dinilai dengan uang, maka karya seni itu tidak bisa dinominalkan. Mereka melukisnya dengan jiwa maka aku harus menghargainya semampuku.

Aku menatap sebuah lukisan gadis kecil dihadapanku. Lukisan yang bagus. Nampak latar belakang hujan rintik-rintik yang membasahi tubuh gadis kecil yang berpakaian usang. Aku menatap mata gadis kecil itu namun aku tidak mendapatkan jiwa didalamnya. Lukisan yang hanya indah dipandang tapi tak bisa diresapi. Aku hanya melihatnya sebagai zombie, tidak ada kehidupan didalamnya. Tidak nampak rangkuman emosi dari si pelukis. Tapi banyak orang awam memuji lukisan ini. Mereka yang hanya melihat dari apa yang terlihat.

Sebenarnya aku tidak tertarik dengan lukisan ini. Tapi ini adalah hadiah ulang tahun dari kakakku, dan dia menghargainya terlalu mahal. Jadi aku berkesimpulan bahwa letak artistiknya ada pada pengorbanan kakakku dalam mencurahkan kasih sayangnya padaku dengan menghadiahkan lukisan yang cukup mahal ini padaku. Bukan pada lukisannya. Kesan didalamnya. Itulah yang menjadi keindahannya. Walaupun tetap saja akan lebih baik jika kakakku mengerti sedikit tentang jiwa seni sehingga aku tidak harus memajang mayat hidup ini disini.

Aku menduga, orang yang melukisnya tidak begitu mengerti tentang seni. Dia hanya memfokuskan diri menciptakan sebuah nuansa keindahan, meski tanpa jiwa. Mungkin dia mengira bahwa melukis adalah profesi bisnis sehingga dia hanya berpikir bahwa yang terpenting bagi lukisan adalah segera terjual dan berganti menjadi gemerincing uang. Dan keinginannya jelas terkabul. Orang-orang awam pastilah akan terpukau dengan keindahan lukisannya.

Sedangkan lukisan disebelahnya, mungkin tidak begitu menarik bagi kebanyakan orang. Hanya goresan-goresan cat air yang tak jelas maksudnya. Warna-warna bercampur mengotori kanvas. Tapi lukisan inilah yang sebenarnya bagus. Aku bisa merasakan sentuhan emosinya. Jiwanya. Harapannya.

Lukisan ini sangat bermakna bagiku. Setiap aku melihatnya seolah aku melebur bersamanya. Bersama kenangan dan harapannya. Lukisan ini sebenarnya bisa sangat mahal jika dijual. Tapi pelukisnya menghadiahkannya padaku. Baginya, penghargaanku pada lukisannya dan kemampuanku dalam menjiwainya adalah pembayaran yang cukup untuk melunasinya. Sebenarnya aku sudah berkali-kali memaksanya untuk menerima uang dariku tapi dia menolaknya. Melihat keteguhannya untuk tidak menerima uang dariku, aku jadi mengerti bahwa dia memiliki persepsi seni yang lebih dalam.

“Biarkan seni ini menjadi semakin bermakna. “ Katanya, “suatu ketika aku pasti mati tapi karya seni yang aku buat akan abadi. Maka biarkanlah lukisan ini menjadi semakin bermakna. Berapapun uang yang diberikan aku tidak akan menjual lukisan ini karna bukan untuk uang lukisan ini kubuat. Aku merangkum kehidupanku dalam lukisan ini, merangkum seluruh kenangan. Merangkum kesedihan dan kebahagiaan menjadi satu di dalam lembaran kanvas. Satu-satunya yang kuinginkan adalah keabadian dalam lukisanku ini. Keabadian dalam kenangan bagi mereka yang mengerti seni. Ya, aku butuh uang untuk makan dan yang lainnya. Karna itulah aku menjual lukisan-lukisanku dengan nominal. Tapi bukan yang ini. Karya seni didalamnya akan luruh jika aku menominalkannya.”

Keabadian. Ya, jiwa itu abadi namun raga terikat dengan usia. Kematian raga bukanlah berarti kematian bagi jiwa. Bagi jiwa yang dititipkan dalam sebuah karya seni maka dititipkanlah keabadian dalam goresan kanvas. Meski telah lebur jasad bersama tumpukan tanah namun seni yang dibuat dengan sepenuh jiwa akan tetap hidup. Abadi. Selamanya.

Lukisan adalah sebuah rangkaian kehidupan dari lembaran emosi yang tidak dapat dituangkan melalui kata-kata. Mereka memadukan keindahan bersama buku harian kehidupannya atau filosofi kehidupannya dalam bingkai kanvas. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan emosinya. Hanya rasa sebagaimana adanya. Tanpa kalimat dan tanpa kata.

Dengan melukis, orang-orang melepaskan beban hidupnya. Mengungkapkan emosi yang tak bisa diungkap dengan kata. Mencoba membebaskan diri dari belenggu kegilaan. Tentu saja, ketika dunia tidak bisa memahami mereka, mereka bisa lebur dalam kegilaan. Dan saat itu, hanya sebuah kanvas yang dapat memahaminya. Dia akan membiarkan kuas ditangannya menari mengungkapkan rasa didalam dadanya.

Aku memandangi beberapa koleksi lukisanku satu demi satu dan melebur dalam tiap emosinya. Menyelami beragam kehidupan didalamnya. Setiap darinya memiliki kesan tersendiri. Kupejamkan mataku sejenak dan membiarkan jiwa ini hanyut dalam kumpulan imajinasi. Terbang ke angkasa menembus cakrawala harapan. Menuruni lembah keputus asaan. Hanyut dalam sungai kepasrahan dan kembali ke dunia nyata dengan air mata meleleh membasahi pipi.

Sejenak kupandangi salah satu bagian dinding yang masih kosong. Aku merenung sejenak dan tersenyum, “aku ingin membeli lukisan pemuda yang bernama Sena itu. Harus.”

****

Sanggar seni ini sudah sepi, hanya ada Sena yang sedang sibuk dengan lukisannya. Dia membelakangiku dan tidak menyadari keberadaanku yang sedang mendekatinya. Dia tampak begitu hanyut dengan pekerjaannya. Aku memandang pekerjaannya. Lukisan yang bagus dan memiliki jiwa.

Sapuan warna biru mendominasi kanvas. Campuran warnanya begitu halus. Di beberapa bagian dia memberikan bercak warna ungu dan merah dengan goresan kuas melengkung indah seperti ukiran. Di salah satu sisi dia melukis mata dengan detail yang menjadi tema dalam lukisannya. Sena sedang asyik menyapukan warna biru gelap dibagian atas kanvas, begitu gelap warnanya hingga menyerupai warna hitam. Lalu dengan tangkas dia mencampur warna dan memberikan bercak-bercak putih terang diatas warna biru gelap. Lalu dia goreskan warna kuning melingkar secara spiral yang tidak teratur sementara disekelilingnya diberikan pergantian gradasi warna dari terang ke gelap.

Aku mendesah nafas panjang seketika memahami emosi apa yang terkandung didalamnya. Sena mendengarnya dan langsung menoleh kepadaku. “Oh, Erin. Maaf, aku tidak menyadari kedatanganmu. Jika boleh tahu, angin apakah yang membawamu kesini?”

Aku diam sejenak, memandang matanya dan tersenyum, “maaf, aku jadi mengganggu pekerjaanmu, Sena. Aku terkesan dengan lukisanmu yang kau pajang di ruang pameran. Jadi aku ingin memilikinya.”

Sena tersenyum, sebuah senyum formal dan sopan yang tidak begitu alami, terlihat dari urat bibirnya yang halus terlihat, “uhm, sebelumnya aku berterima kasih atas Jus Alpukat yang kau berikan kemarin. Rasanya enak. Apalagi mengingat itu hadiah darimu. Dari seorang putri Walikota. Itu menjadi suatu kehormatan tersendiri bagiku.” Sena diam sejenak untuk berpikir, “lukisan itu, apakah begitu berharga bagimu?”

Aku mengangguk, “lukisan itu menarik. Kau memadukan nuansa kebencian ditempat yang tidak seharusnya. Itu menjadi keunikan tersendiri. Lukisan itu menggambarkan suatu kepribadian yang membingungkan untukku. Aku ingin bertanya sedikit, bolehkah?”

Sena tersenyum dan matanya sedikit menyipit, sekaligus itu menjadi pengganti kalimat, “ya.”

“Perlukah ada kebencian dalam kehidupan ini? Bukankah indah jika dalam hidup ini hanya ada kasih sayang dan rasa cinta?”

“Erin. Mungkin kau tidak mengerti. Kau yang dari kecil selalu hidup dalam limpahan kasih sayang dan hidup berkecukupan tidak akan mengerti tentang apa itu kebencian.” Sena meletakkan kuasnya di meja kecil dan memutar kursinya menghadap padaku. “Memang benar bahwa Seni itu adalah kebebasan untuk berimajinasi, dan kebanyakan orang menggunakan imajinasinya untuk lari dari kebencian. Tapi itu adalah suatu hal yang tidak semestinya. Itu namanya mengingkari kenyataan. Karnanya, melalui lukisan itu aku sedikit mengajarkan arti sebuah kebencian di atas kehidupan yang dipenuhi oleh kelembutan dan kasih sayang.”

Sena berdiri lalu mengambilkan kursi untukku. Aku duduk setelah dipersilahkan. “Tapi kenapa?”

“Karna bagi mereka yang pernah mengenal arti sebuah kebencian, arti sebuah kasih sayang itu menjadi semakin bermakna. Ya. Mungkin beberapa orang akan menyayangkan aku memberikan nuansa kebencian diatas tema lukisan yang dipenuhi oleh kasih sayang. Mungkin orang akan mengira bahwa aku berusaha merusak seluruh keindahan yang dengan susah payah kubuat dan menggantikannya dengan kebencian dan keputus asaan. Seolah aku merusak citra seniku sendiri.”

“Tidak Sena. Lukisanmu bermakna. Aku menyukai cita rasa didalamnya. Hanya saja aku merasa perlu untuk bertanya. Menurutmu, perlukah adanya kebencian didunia ini?”

“Tidak. Tentu saja. Hanya saja itu tidak mungkin kecuali di syurga sana. Mencoba membohongi diri dengan angan-angan hilangnya kebencian dari kehidupan adalah bodoh. Karna itu manusia perlu melihat realita hidup agar bisa menyesuaikan. Cobalah lihat di bangsal-bangsal RSJ disana, kenapa mereka disana? Karna mereka mencoba lari dari kenyataan, mencoba membohongi diri sendiri dan hidup dalam imajinasi yang mereka buat sendiri. Sebuah dunia imajinasi yang begitu indah sehingga mereka betah tinggal didalamnya dan tidak mau hidup didunia nyata yang keras.”

“Lukisan itu. Bagaimana kau membuatnya?” tanyaku.

“Aku sendiri tidak menyadarinya Erin. Aku hanya melebur bersama jiwaku. Aku hanya ingin melukis keindahan, mengajarkan manusia untuk memahami indahnya dunia melalui seni. Namun tiba-tiba tanganku bergerak sendiri dan melukiskan pohon kebencian itu. Itu bukan keinginanku Erin. Pohon itu membuatku takut. Lukisan itu adalah kejujuran dari perasaanku dan akupun menyadari ada kebencian dan kemarahan dalam diriku. Suatu hal yang asing bagiku tapi sekaligus begitu akrab.”

Aku diam saja mendengarkan.

“Aku selalu berusaha untuk bahagia dan membuat orang lain bahagia. Aku ingin mempersembahkan keindahan bagi dunia. Namun ketika melukiskan keindahan maka kenangan-kenangan itu kembali, kenangan buruk dimasa laluku. Penghianatan, penghinaan, kesedihan dan kebencian merasuk jelas ke alam imajiku. Aku selalu berusaha melupakannya dan berpura-pura hal itu tak pernah terjadi tapi tetap saja hatiku tak bisa berbohong pada diriku. Kebencianku yang selama ini kupendam akhirnya terlihat begitu jelas ketika aku melihat goresan kasar dalam kanvasku.”

****

Aku ingin melukis. Aku ingin lebih dalam mengenal diriku dan merangkumnya dalam sebuah kanvas. Aku berada didalam sanggar seni keluargaku, bertemankan keheningan. Kupejamkan mataku dan memulai relaksasi. Satu tarikan nafas lembut dan panjang disusul hembusan perlahan. Kutajamkan pendengaranku dan berkonsentrasi, sayup-sayup terdengar suara kipas angin, makin lama suara itu semakin keras dan semakin keras.

Terdengar lagi suara tetesan air dari arah dapur. Lalu detak jarum jam menggema didalam kepalaku. Begitu keras. Suara-suara tadi bercampur didalam kepalaku, berdentum dan saling beradu. Keheningan pun pecah oleh keramaian dan bercampur menjadi melodi.

Tiba-tiba terdengar suara musik yang mengalahkan semua suara. Sebuah musik klasik dari DVD yang sudah kusetel dengan timer. Musik itu mengalun begitu lembut membelai syaraf-syaraf imajiku. Membawaku terbang mengelana menembus batas-batas rasio. Bola mataku bergerak-gerak (Rapid Eye Movement) sebagai bagian efek penurunan gelombang otak menuju gelombang Theta dan memasuki mode hypnosis. Ketika aku berada dalam masa ini maka suara sekecil apapun menjadi sangat sugestif.

“Kau adalah angin, mengembara menyisiri lembah-lembah kehidupan.” Sebuah suara mengomandoku, suara dari DVD, dan akupun hanya bisa pasrah mengikutinya. Aku mengosongkan pikiranku, menghilangkan kenanganku sebagai manusia dan menjadi angin. Aku berhembus menyisiri padang rumput, mengukir riak dalam genangan, membelai lembut dedaunan.

Aku terus mengikuti suara-suara sugestif itu. Terbang membelah awan dan turun menghujam menghempas bumi. Lalu aku kembali menjadi diriku. Beragam kenangan menjejali kepalaku, begitu jelas dan begitu nyata. Rasa sakit, kecewa, gelisah, marah, dan bahagia datang silih berganti. Aku membedah diriku, membedah kekuatan imajinasiku sebagaimana Michaelangelo membedah mayat demi menciptakan mahakarya.

Waktu terus berlalu hingga satu jam telah berlalu, kemudian alunan musik berhenti sebagai tanda usainya masa relaksasi. Aku kembali dari masa terhipnosis dan membuka mataku. Kudapati keringat telah membanjiri tubuhku, nafasku tersengal-sengal. Beragam memori yang bergiliran masuk kedalam kepalaku cukup menguras tenagaku. Aku langsung berdiri dan mengambil air minum.

                Kenangan tadi masih menghujam kuat didalam kepalaku. Beragam emosi yang berkecamuk bergelut didalam diriku. Aku segera menghampiri kanvas dan mencampur warna. Lalu tertorehlah goresan-goresan kuas didalam kanvas yang mewakili beragam emosiku. Butuh waktu 3 minggu untukku menuangkan beragam emosiku sehingga nampaklah sebuah lukisan yang melambangkan bahwa betapapun banyaknya masalah hidup semua pasti akan berakhir jika manusia percaya pada janji Tuhan. Aku tersenyum melihat tunas bunga Tulip berwarna cerah didalam kanvas yang melambangkan sebagai tunas harapan. Tunas itu berdiri kukuh seolah tersenyum, diatas reruntuhan puing bangunan dan serakan pecah belah. Begitu kontras dengan tema lukisan yang melambangkan kesedihan.

                Aku akan memajang lukisanku ini disamping lukisan Sena. Lukisanku adalah kebalikan dari lukisannya. Sena melukiskan kebencian yang menghancurkan segala keindahan, sedangkan aku melukiskan keindahan yang akan menghancurkan segala kebencian. Lukisan itu kuahiri dengan goresan kuas warna hijau terang dengan kalimat dari janji Tuhan, “sesungguhnya setelah kesukaran akan datang kemudahan.”


Magelang, 21 Juli 2012

winapurwokoadi.blogspot.com

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Post a Comment

 
biz.