Saturday 14 February 2015

Membedah Kata Cinta




Hubungan laki-laki dan perempuan yang bernama cinta. Seolah panjangnya usia zaman tidak sanggup menampung ragam ceritanya. Beragam pengorbanan akan diberikan oleh mereka yang dimabuk asmara untuk bisa mendapatkannya. Tak peduli berapa uang yang dihamburkan, fisik yang dilelahkan dan jiwa yang dikorbankan. Seolah hanya untuk sebuah problematika yang bernama cintalah, Allah menciptakan susunan tubuhnya yang begitu sempurna.
Cinta adalah kebutuhan emosional mendasar yang ada dalam diri manusia sehingga secara naluriah setiap orang berusaha mendapatkannya. Menurut Psikoanalisis, cinta itu ada semenjak manusia dilahirkan ke muka bumi. Ketika itu cinta di arahkan pada dirinya sendiri atau lebih dikenal dengan istilah Narsisisme. Penggunaan kalimat Narsis itu sendiri berdasarkan pada mitologi Yunani yang mengisahkan seorang pemuda rupawan bernama Narcissus yang mati tenggelam karna terpesona oleh ketampanannya sendiri yang terpantul di sungai. Narsisisme ini bisa dikatakan sebagai bentuk cinta yang paling primitif.
Semakin bertambahnya usia, maka cinta Narsis inipun mengalami perkembangan. Si anak mulai mencari objek cintanya yaitu ibunya. Cinta semacam ini kita kenal dengan istilah Oedipus Complex. Kemudian sang anak memasuki masa pubertas dimana naluri seksual mulai bangun dari tidurnya hingga si remaja terserang virus bernama cinta. Menurut Freud, cinta itu tidak lebih dari dorongan naluri seksual yang disublimasi sedemikian rupa karna tuntutan moral di masyarakat. Teori itu membantah teori cinta yang diploklamirkan Plato yang menyatakan bahwa cinta yang suci adalah cinta yang tidak dikotori oleh naluri seksual. Tentu saja, baik Plato maupun Freud bisa salah karna mereka hanyalah manusia biasa.
Intinya, ketika memasuki masa remaja. Beberapa hormon dalam diri manusia menuntut untuk dipenuhi kebutuhannya, yaitu kebutuhan akan cinta dari lawan jenis yang jika kebutuhan itu tidak dipenuhi maka kejiwaan seseorang akan terganggu.

Hormon dalam diri manusia yang bertanggung jawab atas fenomena ini di antaranya adalah Pheromone, keberadaan hormon ini membuat seseorang merasa nyaman berdekatan dengan lawan jenis. Selain itu ada juga Oksitosin yang keberadaannya membuat seseorang memiliki ikatan batin yang kuat dengan yang dicintai. Lalu Dopamine yang memberikan sensasi ketika seseorang dimabuk asmara sehingga wajahnya akan nampak berbunga-bunga. Dan Serotonin yang memberikan efek kecanduan, seseorang akan tersiksa oleh perasaan rindu untuk senantiasa bertemu.
Setiap orang yang sedang jatuh cinta akan merasakan kebahagiaan tak terkira yang sulit dibandingkan dengan perasaan yang lain. Hal itu disebabkan karna hormon yang bernama Peniletilamin (PEA). Bisa dikatakan, hormon ini sudah cukup untuk menggambarkan betapa indahnya cinta. Sehingga banyak kisah cinta bermunculan, dari kisah Titanic hingga Layla dan Majnun. Hormon ini pula menyebabkan sepasang kekasih tetap berada dalam gelora asmara yang membara.
Namun perlu diingat bahwa fungsi PEA ini akan menurun seiring dengan terlalu seringnya digunakan. Karna terus menerus dirangsang oleh hormon PEA maka tubuh akan semakin kebal. Seseorang yang suatu ketika begitu jatuh cinta pada pasangannya tiba-tiba tidak merasakan gairah yang sama ketika fungsi PEA ini menurun. Bisa dibilang, sebesar apapun cinta itu, maka dia memiliki batas waktu.
Berdasarkan penelitian, hormon ini akan menurun fungsinya setelah pemakaian selama 4 tahun. Bisa dikatakan bahwa jika seseorang menghabiskan waktunya selama 2 tahun untuk menjalin hubungan asmara dan kemudian menikah, maka keindahan cinta yang tersisa ketika dia membangun rumah tangga adalah 2 tahun. Setelah itu, rasa cinta tidak akan seindah waktu pertama. Jadi, jika seseorang menghabiskan bertahun-tahun waktunya untuk menjalin asmara tanpa adanya komitmen untuk menikah, bisa dibayangkan bagaimana rumah tangganya kelak.
Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Freud bahwa cinta itu tidak lebih dari dorongan seksual, saya lebih merasa nyaman dengan pendapat lain yang menyatakan bahwa cinta adalah suatu alat untuk menegaskan eksistensi diri. Mencintai dan dicintai membuat keberadaan seseorang merasa lebih berarti. Namun tidak pula disangkal bahwa keberadaan naluri seksual turut hadir di dalamnya. Keberadaan cinta, membuat seseorang mengeluarkan beragam potensi yang dia sendiri tidak menyadarinya.
Seseorang memberikan cinta dan kasih sayangnya kepada orang lain dengan harapan cinta itu akan kembali pada dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah, bahwa seseorang itu mencintai orang lain karna rasa cintanya pada dirinya sendiri. Itu berarti cinta Narsisisme di masa kecil masih melekat. Tentu saja itu adalah hal yang sudah semestinya. Jika seseorang kehilangan rasa cintanya pada dirinya sendiri secara total, maka dia tidak akan bisa mencintai orang lain. Namun cinta Narsisime ini akan menghancurkan dirinya ketika berada di atas takaran yang semestinya.
Perbedaan Persepsi Cinta Bagi Pria Dan Wanita
Menurut Byron, persepsi cinta itu berbeda dari sudut pandang pria dan wanita. Bagi seorang wanita, cinta itu adalah kehidupan, sedangkan bagi seorang pria, cinta itu tidak lebih dari bagian hidup. Hal ini menjelaskan tentang kenapa kaum wanita lebih rela berkorban demi cinta daripada lelaki. Pengabdian cinta secara total ini bergantung pada sebesar apa feminimitas yang dimiliki seorang wanita. Jika seorang pria memiliki pendapat yang sama bahwa cinta adalah pengabdian total, berarti pria itu memiliki cukup besar sikap feminim yang idealnya dimiliki kaum wanita, sehingga hal itu justru mengurangi nilainya sebagai lelaki sejati.
Dan pada kenyataannya, kita tidak bisa memberikan batasan secara tegas bahwa wanita itu feminim sedangkan pria itu maskulin. Jika laki-laki itu 100 % maskulin dan wanita itu 100 % feminim, maka keduanya akan menjadi dua makhluk yang benar-benar berbeda. Mereka tidak akan saling melengkapi dan tidak mungkin lagi dibutuhkan komunikasi antara keduanya. Jadi, tidak ada seorang pria yang maskulin 100 %. Beberapa sifat feminim dapat ditemukan pada diri laki-laki yang paling maskulin sekalipun, hal inilah yang menyebabkan kaum pria dapat mengerti dan memahami wanita.
Berbeda dengan kaum wanita yang mengutamakan cinta di atas segalanya, seorang lelaki dengan kemaskulinannya menentukan nilai dirinya melalui kesuksesan yang berhasil dia raih. Sedangkan perjuangannya mendapatkan cinta adalah semacam penyemangat dan tantangan hidup. Kaum pria memiliki insting untuk bersaing dan mencapai target, hal itulah yang membuatnya bahagia.
Bagi wanita, mendapatkan cinta sejati tetaplah lebih berarti daripada meraih karir. Persaingan hidup bukanlah hal yang membuat wanita merasa nyaman. Hal ini menjelaskan tentang kenapa banyak kaum wanita yang rela mengorbankan karir mereka demi mendapatkan cinta sejati. Kaum wanita yang melakukan sebaliknya, yaitu mengorbankan cinta mereka demi karir akan mengalami tekanan mental karna hal itu melawan kodratnya sebagai wanita yang idealnya lebih mengutamakan hubungan kemanusiaan. Maka benarlah pendapat Simone De Beauvoir yang menyatakan bahwa masalah psikologislah yang menyebabkan sedikitnya kaum wanita yang berhasil mencapai karir yang diinginkan, bukan karna masalah rasa rendah diri.
Namun di era emansipasi seperti sekarang ini, banyak para wanita dari kalangan intelektual dengan teguh membela kemerdekaan mereka untuk tidak terjerat pada cinta yang membuat mereka tidak bisa bersaing dengan kaum pria. Keinginan mereka untuk setara dengan pria dalam hak dan kewajiban membuat mereka berpegang teguh untuk lebih memprioritaskan karir di atas cinta, dan berkat kegigihannya tak jarang kaum wanita menjadi lebih superior dibandingkan pria. Namun, banyak diantara wanita intelektual itu akhirnya menyerah dan menghentikan pertempurannya dengan kaum pria yang menurutnya melelahkan. Beberapa dari mereka ternyata merasa lebih nyaman takluk dalam tawanan cinta, dimana mereka mendapatkan perlindungan dan kasih sayang, keinginan untuk menguasai menjadi hal yang tidak penting lagi.
Pada dasarnya, wanita dan lelaki memiliki kebutuhan emosional yang berbeda dalam jalinan cinta. John Gray dalam bukunya yang berjudul “Men Are From Mars & Women Are From Venus” membagi kebutuhan emosional tersebut. Kebutuhan emosional yang perlu diterima seorang wanita adalah perhatian, pengertian, hormat, kesetiaan, penegasan dan jaminan. Sedangkan kebutuhan emosional yang perlu diterima seorang pria adalah kepercayaan, penerimaan, penghargaan, kekaguman, persetujuan dan dorongan.
Pria dan wanita itu memiliki kebutuhan yang berbeda, karnanya mereka perlu diperlakukan berbeda. Karna pria menginginkan penghargaan maka Islam memerintahkan kaum wanita untuk menghargainya sesuai dengan firman Allah yang menegaskan bahwa, “kaum pria itu setingkat lebih tinggi dari wanita.” Karna wanita itu rapuh maka Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Hati-hatilah kalian terhadap kaca.” Kaca dalam konteks yang beliau maksud adalah wanita. Diibaratkan sebagai kaca adalah karna jika ia sampai retak maka ia tidak akan kembali seperti sedia kala, rasa sakit akan tetap ada. Sesuai dengan kodratnya, seorang pria mendapatkan kepuasan jika bisa memberikan kasih sayang dan perlindungan, sedangkan wanita mendapatkan kepuasan jika merasa dicintai.

winapurwokoadi.blogspot.com

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

2 comments:

 
biz.