Ilmu yang paling luas mungkin adalah Tasawuf karna itu tak
jarang orang menganggap bahwa topik Tasawuf adalah topik yang paling keren di
dunia. Tasawuf sendiri bisa diartikan ilmu untuk mengenal Allah. Namun
sayangnya banyak sekali orang terjebak dalam pemahaman berputar-putar tentang
Tasawuf, seringkali mereka tersesat jauh dan justru semakin jauh dari
nilai-nilai Islam. Pernah seorang penganut Tasawuf berkata, “Ibadah amaliyah
adalah jalan untuk menuju hakikat. Untuk orang-orang awam mereka diwajibkan untuk
melaksanakannya untuk bisa mencapai taraf hakikat, tapi bagi kami yang sudah
sampai taraf hakikat maka sebab-sebab untuk mencapai hakikat tidak diperlukan
lagi.”
Pernah pula aku mendapat pertanyaan sangat konyol dari
seorang teman, “dapatkah Allah menciptakan suatu benda yang amat sangat berat
yang Allah sendiri tidak mampu mengangkatnya?” Duh, pertanyaan macam apa pula
itu? Jika aku jawab “bisa” tentunya akan dibalas dengan argumen berarti Allah
tidak menguasai makhluk ciptaan-Nya karna tidak bisa mengangkatnya. Jika
kujawab “tidak” tentunya kan dibalas dengan argumen bahwa ada hal yang tidak
bisa Allah ciptakan di dunia ini. Itu sama saja ngetes Allah, sebagai makhluk
yang tercipta dari nutfah apakah layak buat kita mempertanyakan keagungan
Allah? Bagaimanapun juga, Allah tidak akan ditanya tentang apa yang
diperbuat-Nya, tetapi kitalah yang akan ditanyai.
Sebenarnya masih buuuaaanyak sekali argumen yang sering
digunakan oleh penganut Tasawuf simpang kiri, pemikirannya yang mendalam dan
berputar-putar ternyata tidak menghasilkan apapun selain sampah. Pada nyatanya,
meski mereka sok-sokan bicara hakikat dan merasa kenal Allah, hafalan Quran
mereka tak seberapa, pengenalan tentang Hadits juga biasa saja. Bahkan pernah
suatu ketika aku membaca status FB yang menyatakan dirinya adalah tuhan, ketika
aku menyanggahnya langsung dibalas bahwa orang awam sepertiku tidak akan
sanggup memahaminya. Percuma saja sih melanjutkan perdebatan jika lawan bicara
sudah memandang rendah.
Memang sih, aku tidak tau apa-apa tentang ilmu Tasawuf. Tapi
satu hal aku tahu pasti bahwa yang paling tau ilmu Tasawuf adalah Rosul saw.
Manusia yang paling tinggi derajatnya disisi Allah adalah Muhammad saw, jadi
hanya beliau yang layak dijadikan panutan. Dan setelah beliau siapa lagi? Mengenai
hal ini Nabi Muhammad saw pernah bersabda, “generasi yang paling baik adalah
generasiku, berikutnya adalah generasi tabi’in, berikutnya adalah generasi
tabi’ut tabi’in.” Disitu jelas disebutkan bahwa generasi yang paling layak
dijadikan teladan setelah Nabi saw adalah para sahabat Nabi saw, kemudian para
tabi’in yaitu generasi yang tidak hidup bersama Nabi saw namun masih sangat
kental dengan Islam, dan yang terakhir adalah generasi tabi’ut tabi’in atau
generasi sesudah tabi’in. Setelah itu tidak ada lagi generasi yang lebih baik
lagi.
Mengenang usai masa SMA dulu, karna aku sering hidup sendiri
maka aku sering melamun dan pada akhirnya tertarik dengan ilmu tasawuf. Aku membaca buku-buku Sufi dan terutama yang
paling favorit adalah buku-buku karya Imam Ghozali. Hal pertama
yang ditekankan sebelum menanjak ilmu tasawuf adalah meninggalkan dunia.
Melepaskan keterikatan dengan manusia, harta dan yang lainnya. Dalam beberapa hal ajaran al-Ghazali sangat bijak dan penuh makna, tapi di sisi lain ternyata memiliki sisi kelam. Aku masih sangat mengagumi dan menghormati figur al-Ghazali meski bukan sebagai sosok Ulama.
Sampai akhirnya aku membaca buku yang jauh jauuuh lebih
keren dari karangan al-Ghozali, buku tersebut adalah buku yang ditulis oleh
Ulama tabi’in yang hebat luar biasa bernama Ibn Qoyyim al-Jauziyah. Pembahasannya
tentang pengenalan hati manusia dan pembagiannya lebih bisa diterima nalar, hal
itu membuat pemikiran-pemikiran al-Ghozali tampak seperti pemikiran anak TK
yang bahkan belum bisa baca tulis. Aku tidak hendak membandingkan antara Ibn
Qoyyim dan al-Ghozali karna jelas al-Ghozali tidak sebanding. Nampaknya sangat konyol membandingkan seorang Ulama dengan ahli filsafat. Aku akui Imam Ghozali
adalah seorang yang bersih dan penuh kebijaksanaan, hanya saja pemahamannya tentang hadits sangat
sedikit dan sering menggunakan hadits dhoif (lemah) dan maudhu’ (palsu).
Karna al-Ghozali adalah profesor filsafat maka pemikirannya
pun kemana-mana dan akhirnya merambah pada tasawuf. Perlu diketahui bahwa
al-Ghozali bahkan tidak layak membuat fatwa karna minimnya pengetahuannya
tentang hadits, sebab itu al-Ghozali lebih tepat disebut sebagai filsuf
daripada Ulama. Dalam biografi al-Ghozali, beliau meninggal dalam keadaan
khusnul khotimah. Al-Ghozali pada akhirnya memutuskan untuk mempelajari hadits
dan meninggalkan tasawuf, beliau meninggal dalam keadaan mendekap erat Kitab
shohih Bukhari-Muslim. Ya, tentu saja, perkataan yang paling indah setelah
firman Allah (al-Quran) tentulah sabda Nabi saw (hadits), yang bersimpangan
dari keduanya meski terlihat luar biasa, hanyalah sampah.
Jujur saja, ilmu tasawuf memang nampak lebih logis dan masuk
akal selain juga tampak lebih luar biasa dan begitu mulia. Kita bisa
mendengarnya dari do’a yang diucapkan oleh Rabi’ah, “ya Allah, sekiranya aku
menyembah-Mu karna mengharap syurga-Mu maka jangan Engkau masukkan aku kedalam
syurga-Mu. Dan sekiranya aku menyembah-Mu karna takut akan neraka-Mu maka
masukkanlah aku ke dalam neraka-Mu....” Betapa keren dan gagahnya doa tersebut,
namun doa tersebut dicela oleh Ibn Taimiyah, seorang yang mendapat gelar
Syaikhul Islam dan merupakan guru dari Ibn Qoyyim. Para ahli tasawuf atau lebih
sering disebut Sufi biasanya memang memandang rendah orang-orang yang menyembah
Allah karna takut Neraka dan mengharap Syurga, mereka tidak segan memaki dan
mengatai bodoh bagi orang yang menyembah demi imbalan.
Bagi para Ulama ahlussunnah, menyembah Allah karna mengharap
imbalan itu tidak boleh dicela karna memang kodratnya manusia seperti itu.
Allah sendiri seringkali mengiming-imingi kita dengan keindahan syurga dan
menakut-nakuti kita dengan neraka, tentulah Allah paling paham tentang tabiat
manusia. Para sahabat Nabi yang tentunya levelnya jauuuh diatas langit
dibanding para Sufi juga seringkali diiming-imingi Nabi saw dengan keindahan
syurga. Menyembah Allah bukan karna Syurga dan Neraka memang terdengar lebih
mulia, tapi apakah manusia sanggup melakukannya? Berbeda dengan Malaikat,
manusia memiliki kelemahan berupa nafsu. Manusia bisa termotivasi beribadah
karna tidak ingin masuk Neraka serta pengharapan untuk bisa masuk syurga... itu
manusiawi banget.
Para sufi, meskipun dengan pemahamannya yang sangat dalam pada
nyatanya melupakan hal-hal yang lebih penting dalam Islam. Ambil contoh saja,
seorang Sufi terkadang menghindari sholat Jama’ah ke Masjid dengan alasan
menghindari sifat Riya’. Mereka juga jarang bermu’amalah dengan manusia demi
menghindarkan diri dari keterikatan duniawi. Secara penampilan mereka pun
kadang jauh dari kesan rapi. Pada akhirnya mereka menjadi antisosial dan
seringkali berlebihan dalam beribadah. Padahal Nabi saw sendiri pernah marah
ketika seseorang beribadah secara berlebihan hingga tidak berkumpul dengan
istri, shoum tanpa jeda dan tahajud tanpa tidur. Nabi saw pula pernah marah
ketika seseorang menggunakan pakaian yang lusuh.
Para Sufi meskipun selalu merasa dirinya tawadhu’ dan zuhud
pada nyatanya hati mereka tetap sombong, hal itu nampak dari perkataan mereka
ketika menyebut orang selain mereka dengan sebutan “orang awam.” Seringkali
pula mereka mengira bahwa ilmu yang mereka pahami terlalu tinggi. Terlepas dari
sifat Narsis tanpa sadar milik mereka, para Ulama bahkan sama sekali tidak
memandang mereka. Ketika bermusyawarah dalam urusan ummat atau dalam memberikan
fatwa, tak pernah para Ulama memanggil para Sufi karna tahu bahwa kaum Sufi
tidak memiliki kapasitas keilmuan.
Islam yang benar sudah tentu bukan islam yang aneh-aneh.
Semua rangkaian Islam yang sempurna sudah tertulis dalam firman Allah dan sabda
Rasul saw, tidak ada yang terlewat bakal secuilpun. Mengenai firman Allah sudah
jelas bahwa al-Qur’an telah terjamin oleh Allah sendiri keasliannya hingga hari
Kiamat. Sedangkan untuk hadits memang tidak mendapatkan jaminan, sebab itulah
para Ulama bekerja keras dalam meriwayatkannya. Hadits pun terbagi-bagi
tingkatannya dari shohih hingga maudhu’.
Dan untuk kitab yang paling shohih adalah riwayat Bukhari,
itu karna Bukhari amat sangat luar biasa perfeksionis dalam meriwayatkan
hadits. Bukhari selalu memastikan sendiri seperti apa karakter dari jalur
periwayatnya, sedikiiiit saja ada jalur periwayatnya yang keluar dari standart
yang ditetapkan maka tanpa “ba-bi-bu” langsung dicoret oleh Bukhari meskipun
Bukhari telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk mendapatkan hadits
tersebut. Bukhari hanya mau memasukkan hadits yang benar-benar terjamin ke
dalam kitabnya, sebab itulah hadits yang tercantum dalam Riwayat Bukhari tidak
diragukan lagi keshahihannya.
0 comments:
Post a Comment