Thursday 17 March 2016

Tasawuf Simpang Kiri




Ilmu yang paling luas mungkin adalah Tasawuf karna itu tak jarang orang menganggap bahwa topik Tasawuf adalah topik yang paling keren di dunia. Tasawuf sendiri bisa diartikan ilmu untuk mengenal Allah. Namun sayangnya banyak sekali orang terjebak dalam pemahaman berputar-putar tentang Tasawuf, seringkali mereka tersesat jauh dan justru semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Pernah seorang penganut Tasawuf berkata, “Ibadah amaliyah adalah jalan untuk menuju hakikat. Untuk orang-orang awam mereka diwajibkan untuk melaksanakannya untuk bisa mencapai taraf hakikat, tapi bagi kami yang sudah sampai taraf hakikat maka sebab-sebab untuk mencapai hakikat tidak diperlukan lagi.”

Pernah pula aku mendapat pertanyaan sangat konyol dari seorang teman, “dapatkah Allah menciptakan suatu benda yang amat sangat berat yang Allah sendiri tidak mampu mengangkatnya?” Duh, pertanyaan macam apa pula itu? Jika aku jawab “bisa” tentunya akan dibalas dengan argumen berarti Allah tidak menguasai makhluk ciptaan-Nya karna tidak bisa mengangkatnya. Jika kujawab “tidak” tentunya kan dibalas dengan argumen bahwa ada hal yang tidak bisa Allah ciptakan di dunia ini. Itu sama saja ngetes Allah, sebagai makhluk yang tercipta dari nutfah apakah layak buat kita mempertanyakan keagungan Allah? Bagaimanapun juga, Allah tidak akan ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi kitalah yang akan ditanyai.

Sebenarnya masih buuuaaanyak sekali argumen yang sering digunakan oleh penganut Tasawuf simpang kiri, pemikirannya yang mendalam dan berputar-putar ternyata tidak menghasilkan apapun selain sampah. Pada nyatanya, meski mereka sok-sokan bicara hakikat dan merasa kenal Allah, hafalan Quran mereka tak seberapa, pengenalan tentang Hadits juga biasa saja. Bahkan pernah suatu ketika aku membaca status FB yang menyatakan dirinya adalah tuhan, ketika aku menyanggahnya langsung dibalas bahwa orang awam sepertiku tidak akan sanggup memahaminya. Percuma saja sih melanjutkan perdebatan jika lawan bicara sudah memandang rendah.

Memang sih, aku tidak tau apa-apa tentang ilmu Tasawuf. Tapi satu hal aku tahu pasti bahwa yang paling tau ilmu Tasawuf adalah Rosul saw. Manusia yang paling tinggi derajatnya disisi Allah adalah Muhammad saw, jadi hanya beliau yang layak dijadikan panutan. Dan setelah beliau siapa lagi? Mengenai hal ini Nabi Muhammad saw pernah bersabda, “generasi yang paling baik adalah generasiku, berikutnya adalah generasi tabi’in, berikutnya adalah generasi tabi’ut tabi’in.” Disitu jelas disebutkan bahwa generasi yang paling layak dijadikan teladan setelah Nabi saw adalah para sahabat Nabi saw, kemudian para tabi’in yaitu generasi yang tidak hidup bersama Nabi saw namun masih sangat kental dengan Islam, dan yang terakhir adalah generasi tabi’ut tabi’in atau generasi sesudah tabi’in. Setelah itu tidak ada lagi generasi yang lebih baik lagi.

Mengenang usai masa SMA dulu, karna aku sering hidup sendiri maka aku sering melamun dan pada akhirnya tertarik dengan ilmu tasawuf. Aku membaca buku-buku Sufi dan terutama yang paling favorit adalah buku-buku karya Imam Ghozali. Hal pertama yang ditekankan sebelum menanjak ilmu tasawuf adalah meninggalkan dunia. Melepaskan keterikatan dengan manusia, harta dan yang lainnya. Dalam beberapa hal ajaran al-Ghazali sangat bijak dan penuh makna, tapi di sisi lain ternyata memiliki sisi kelam. Aku masih sangat mengagumi dan menghormati figur al-Ghazali meski bukan sebagai sosok Ulama.



Sampai akhirnya aku membaca buku yang jauh jauuuh lebih keren dari karangan al-Ghozali, buku tersebut adalah buku yang ditulis oleh Ulama tabi’in yang hebat luar biasa bernama Ibn Qoyyim al-Jauziyah. Pembahasannya tentang pengenalan hati manusia dan pembagiannya lebih bisa diterima nalar, hal itu membuat pemikiran-pemikiran al-Ghozali tampak seperti pemikiran anak TK yang bahkan belum bisa baca tulis. Aku tidak hendak membandingkan antara Ibn Qoyyim dan al-Ghozali karna jelas al-Ghozali tidak sebanding. Nampaknya sangat konyol membandingkan seorang Ulama dengan ahli filsafat. Aku akui Imam Ghozali adalah seorang yang bersih dan penuh kebijaksanaan, hanya saja pemahamannya tentang hadits sangat sedikit dan sering menggunakan hadits dhoif (lemah) dan maudhu’ (palsu).

Karna al-Ghozali adalah profesor filsafat maka pemikirannya pun kemana-mana dan akhirnya merambah pada tasawuf. Perlu diketahui bahwa al-Ghozali bahkan tidak layak membuat fatwa karna minimnya pengetahuannya tentang hadits, sebab itu al-Ghozali lebih tepat disebut sebagai filsuf daripada Ulama. Dalam biografi al-Ghozali, beliau meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Al-Ghozali pada akhirnya memutuskan untuk mempelajari hadits dan meninggalkan tasawuf, beliau meninggal dalam keadaan mendekap erat Kitab shohih Bukhari-Muslim. Ya, tentu saja, perkataan yang paling indah setelah firman Allah (al-Quran) tentulah sabda Nabi saw (hadits), yang bersimpangan dari keduanya meski terlihat luar biasa, hanyalah sampah.

Jujur saja, ilmu tasawuf memang nampak lebih logis dan masuk akal selain juga tampak lebih luar biasa dan begitu mulia. Kita bisa mendengarnya dari do’a yang diucapkan oleh Rabi’ah, “ya Allah, sekiranya aku menyembah-Mu karna mengharap syurga-Mu maka jangan Engkau masukkan aku kedalam syurga-Mu. Dan sekiranya aku menyembah-Mu karna takut akan neraka-Mu maka masukkanlah aku ke dalam neraka-Mu....” Betapa keren dan gagahnya doa tersebut, namun doa tersebut dicela oleh Ibn Taimiyah, seorang yang mendapat gelar Syaikhul Islam dan merupakan guru dari Ibn Qoyyim. Para ahli tasawuf atau lebih sering disebut Sufi biasanya memang memandang rendah orang-orang yang menyembah Allah karna takut Neraka dan mengharap Syurga, mereka tidak segan memaki dan mengatai bodoh bagi orang yang menyembah demi imbalan.

Bagi para Ulama ahlussunnah, menyembah Allah karna mengharap imbalan itu tidak boleh dicela karna memang kodratnya manusia seperti itu. Allah sendiri seringkali mengiming-imingi kita dengan keindahan syurga dan menakut-nakuti kita dengan neraka, tentulah Allah paling paham tentang tabiat manusia. Para sahabat Nabi yang tentunya levelnya jauuuh diatas langit dibanding para Sufi juga seringkali diiming-imingi Nabi saw dengan keindahan syurga. Menyembah Allah bukan karna Syurga dan Neraka memang terdengar lebih mulia, tapi apakah manusia sanggup melakukannya? Berbeda dengan Malaikat, manusia memiliki kelemahan berupa nafsu. Manusia bisa termotivasi beribadah karna tidak ingin masuk Neraka serta pengharapan untuk bisa masuk syurga... itu manusiawi banget.

Para sufi, meskipun dengan pemahamannya yang sangat dalam pada nyatanya melupakan hal-hal yang lebih penting dalam Islam. Ambil contoh saja, seorang Sufi terkadang menghindari sholat Jama’ah ke Masjid dengan alasan menghindari sifat Riya’. Mereka juga jarang bermu’amalah dengan manusia demi menghindarkan diri dari keterikatan duniawi. Secara penampilan mereka pun kadang jauh dari kesan rapi. Pada akhirnya mereka menjadi antisosial dan seringkali berlebihan dalam beribadah. Padahal Nabi saw sendiri pernah marah ketika seseorang beribadah secara berlebihan hingga tidak berkumpul dengan istri, shoum tanpa jeda dan tahajud tanpa tidur. Nabi saw pula pernah marah ketika seseorang menggunakan pakaian yang lusuh.

Para Sufi meskipun selalu merasa dirinya tawadhu’ dan zuhud pada nyatanya hati mereka tetap sombong, hal itu nampak dari perkataan mereka ketika menyebut orang selain mereka dengan sebutan “orang awam.” Seringkali pula mereka mengira bahwa ilmu yang mereka pahami terlalu tinggi. Terlepas dari sifat Narsis tanpa sadar milik mereka, para Ulama bahkan sama sekali tidak memandang mereka. Ketika bermusyawarah dalam urusan ummat atau dalam memberikan fatwa, tak pernah para Ulama memanggil para Sufi karna tahu bahwa kaum Sufi tidak memiliki kapasitas keilmuan.

Islam yang benar sudah tentu bukan islam yang aneh-aneh. Semua rangkaian Islam yang sempurna sudah tertulis dalam firman Allah dan sabda Rasul saw, tidak ada yang terlewat bakal secuilpun. Mengenai firman Allah sudah jelas bahwa al-Qur’an telah terjamin oleh Allah sendiri keasliannya hingga hari Kiamat. Sedangkan untuk hadits memang tidak mendapatkan jaminan, sebab itulah para Ulama bekerja keras dalam meriwayatkannya. Hadits pun terbagi-bagi tingkatannya dari shohih hingga maudhu’. 



Dan untuk kitab yang paling shohih adalah riwayat Bukhari, itu karna Bukhari amat sangat luar biasa perfeksionis dalam meriwayatkan hadits. Bukhari selalu memastikan sendiri seperti apa karakter dari jalur periwayatnya, sedikiiiit saja ada jalur periwayatnya yang keluar dari standart yang ditetapkan maka tanpa “ba-bi-bu” langsung dicoret oleh Bukhari meskipun Bukhari telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk mendapatkan hadits tersebut. Bukhari hanya mau memasukkan hadits yang benar-benar terjamin ke dalam kitabnya, sebab itulah hadits yang tercantum dalam Riwayat Bukhari tidak diragukan lagi keshahihannya.

winapurwokoadi.blogspot.com

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Post a Comment

 
biz.