"Hati-hati
mas, jangan terlalu dekat dengan bangsal itu, dia berbahaya, bisa saja
dia melemparmu dengan gelas,” seorang tukang sapu RSJ memperingatkan
seorang mahasiswa yang sedang berjalan melewati bangsalku, mahasiswa itu
pun siaga dan berjalan lebih cepat, raut wajahnya begitu terlihat cemas
dan takut.
“Ggraaawllll
!!!” Aku berteriak tiba-tiba ketika mahasiswa itu begitu dekat dengan
jendela tempatku berada, sontak dia melompat dengan penuh keterkejutan
sehingga wajahnya membiru karna saking takutnya, seketika diapun berlari
terbirit-birit di sepanjang koridor RSJ.
Aku tertawa terbahak-bahak dengan suara lengking yang aneh keluar dari
mulutku, aku menggedor-gedor teralis besi yang memagari jendela
keras-keras hingga kedua tanganku lecet. Semua mata perawat dan tukang
sapu RSJ memandang ngeri ke arahku, merekapun mengambil jarak lebih jauh
dariku.
Setelah
cukup lama aku tertawa, akupun keletihan, aku duduk dibangku kayu di
dalam bangsalku dan merenung cukup lama sampai aku menyadari bahwa aku
sangat kesepian, jam dinding berdetak mengikuti irama jantungku seolah
memahami rasa sakit yang merasuk ke dalam jiwaku, “tik tok… tik tok… tik
tok…”
Aku
meraba jantungku dan merasakan sesak didadaku, entah kenapa rasa ini
begitu menyakitkan, padahal tak ada luka yang nampak, namun rasa sakit
ini begitu menyiksa, rasa sakit yang terus menggerogoti dari dalam. Aku
butuh teman bicara, aku butuh teman berbagi, aku tak bisa menanggung
rasa kesendirian ini lebih lama, aku tak sanggup menahan rasa sakit ini
seorang diri. Tanpa sadar air mata merembes keluar melalui sela mataku
dan membuat basah pipiku dan akupun mulai terisak-isak.
Aku
menyandarkan kepalaku ke meja kayu di depanku dan menyingkirkan sarapan
pagi yang sedari tadi tidak tersentuh olehku, kulipat kedua tanganku
dan membenamkan kepalaku didalamnya, aku menangis dan terus menangis
hingga tanpa sadar akupun tertidur.
Entah sudah berapa menit aku tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan oleh
suara kunci pintu yang diputar, jantungku berdebar kencang saat pintu
bangsalku dibuka, lalu masuklah seorang perawat wanita ke dalam
bangsalku..
“Aargh…
argh…” teriakku menakutinya, namun dia malah berjalan lebih dekat
kearahku dengan tenangnya, keringat dingin bercucuran membasahi kulitku,
aku mendelik kearahnya dengan harapan agar dia tidak mendekati
“wilayahku”, namun dia tidak mempedulikanku.
“Gubrakk!!” Kursi tempatku duduk terjungkal ketika aku dengan tiba-tiba
melompat dan berlari menjauhi perawat, aku mencari tempat yang aman
untuk berlindung, lalu akupun meringkuk di sudut ruangan dan merapat ke
lemari kayu, tubuhku menggigil ketakutan dan mataku dengan waspada
memandanginya.
“Andrea,
aku takkan menyakitimu,” perawat wanita itu berusaha berbicara dengan
sangat lembut, senyum manis yang dipaksakan melengkung di sudut pipinya.
Tentu saja perawat itu berbohong, dia akan menyiksaku dan mungkin akan
membunuhku. Pernah suatu ketika seorang perawat mengambil jarak yang
terlalu dekat denganku dan sebelum dia mencekikku aku membela diri,
kulempar dia dengan sendok, gelas, piring, buku, kursi, meja dan benda
apa saja yang bisa aku sentuh hingga perawat itu mengalami memar-memar
yang begitu banyak di sekujur tubuhnya.
Lalu
enam orang dari bagian keamanan berdatangan dan masuk ke bangsalku
untuk menyelamatkan si perawat dari kemarahanku, mereka berenam
memegangi tangan dan kakiku lalu menyuntikkan obat bius di tanganku dan
akupun tertidur, ketika aku terbangun aku mendapati tangan dan kakiku
terikat di sebuah kursi, merekapun memaksa agar aku menelan pil pahit
berwarna merah meski aku bersikukuh menolaknya, akhirnya mereka
menjejalkannya kemulutku meski aku telah berteriak-teriak sekuat tenaga.
“Grawl !! grawl !!” Bentakku ke arah perawat itu.
“Baiklah
Andrea, aku tidak akan mendekatimu,” perawat itu berbicara dengan
sangat lembut, dan ketika dia melihat sarapanku yang masih utuh dia
hanya geleng-geleng kepala, “Andrea, sejak kemarin perutmu tidak terisi
apapun, cobalah untuk makan satu-dua sendok, kamu butuh gizi. Andrea,
sebenarnya ingin sekali aku menyuapkannya kemulutmu namun aku khawatir
kamu akan mengamuk lagi sehingga aku terpaksa memanggil keamanan untuk
membiusmu dan mengurungmu. Tapi ya sudahlah. Sebentar lagi Psikiater
“itu” akan datang yah, siapa lagi kalau bukan dokter Rio.”
Aku
mengernyitkan dahiku ketika mendengar dokter Rio disebut, ‘benarkah dia
akan datang?’ pikirku harap-harap cemas, semoga perawat itu tidak
berbohong.
“Bagaimana Andrea, kau senang mendengar kabar ini?” Tanya perawat wanita.
Aku hanya diam membisu sambil menatap matanya dalam-dalam, setelah
beberapa detik akupun tersenyum kearahnya, perawat itu membalas
senyumanku sebelum akhirnya keluar dari bangsalku, mengunci pintunya dan
meninggalkanku sendirian.
Aku
menunggu kedatangan Psikiaterku, dengan berdiri didekat jendela yang
berteralis besi, aku terus mengawasi sepanjang koridor sejauh mataku
bisa menangkapnya, setiap ada orang berjalan melewati bangsalku aku
berharap dia adalah dokter Rio tapi ternyata bukan, setelah lama menanti
aku mulai bosan dan duduk di kursi.
Perutku
mulai berbunyi, aku memandangi sarapan pagiku yang mulai dingin, lama
aku berpikir sampai akhirnya akupun mendekatinya dan memegang sendoknya.
Satu suap… dua suap… tiga suap… aku terus memasukkannya kedalam
perutku.
“Ceklek…
ceklek…” suara pintu dibuka, aku terkejut sekali hingga suapan nasi
yang masih berada di dalam mulutku masuk ke saluran pernafasan membuatku
tersedak dan nasi itupun menyembur melalui hidungku meninggalkan rasa
nyeri dan gatal.
“Gubrak
!!” Kursiku terjungkal ketika aku secara reflek melompat dan berlari ke
sudut lemari untuk berlindung hingga akhirnya pintu bangsalku terbuka
dan kudapati dokter Rio berdiri mematung sambil menatap kearahku.
Aku
merasa tenang kembali sehingga detak jantungku yang sudah bergejolak
kembali stabil ke iramanya yang teratur, aku memandangi dokter Rio cukup
lama hingga akhirnya senyum tipis terbentuk dipipiku.
“Bagaimana kabarmu, Andrea?” Tanya dokter Rio dengan ramah.
Dokter Rio adalah Psikiater terbaik yang pernah kutemui, hal itu tidak
lain adalah karna sikapnya yang pengertian dan senantiasa berusaha untuk
memahamiku. Aku pernah bertemu dengan banyak Psikiater yang lebih parah
darinya, mereka senantiasa memandangku dengan tatapan yang jijik karna
penampilanku yang sangat lusuh. Memang, sudah berhari-hari aku tidak
mandi, rambutku yang panjang mulai tampak kusut, bajuku yang sangat
jarang dicuci inipun mulai robek sana sini.
Tapi
yang aku tidak suka dari mereka adalah karna mereka tidak pernah
menganggapku sebagai manusia, mereka hanya melihatku sebagai sebuah
mesin yang dijadikan kelinci percobaan untuk riset-riset mereka. Mereka
memandangku tidak lebih dari goresan grafik dalam buku catatan yang
terkadang naik tapi lebih sering turun. Sedangkan dokter Rio berbeda
dengan mereka, dokter Rio selalu menempatkan dirinya dalam sudut
pandangku, dan aku tahu bahwa dia sangat tulus untuk membantuku, ya, aku
yakin dengan ketulusannya dan aku bisa melihat dan merasakannya.
“Uhm, seperti biasa dokter… tidak terlalu baik,” jawabku dengan suara pelan, berharap tidak ada orang luar yang mendengarkanku.
“Apakah
ada masalah? Aku memperhatikan catatanmu, Andrea, semakin hari semakin
parah,” dokter Andrea membetulkan kursi kayu yang tadi terjatuh ke
posisinya semula dan mulai mendudukinya, “aku sudah mendengar semua dari
para perawat dan Psikiater disini, mereka telah berputus asa untuk
menyembuhkanmu, bahkan mereka menyangka bahwa kau gila. Terakhir, kau
melempari seorang perawat dengan semua benda hingga sampa sekarang dia
tidak mau mendekati bangsalmu lagi.”
“Dia berusaha membunuhku dokter !!” Jawabku membela diri.
Dokter Rio memandang mataku dalam-dalam dan suasanapun hening sejenak,
kemudian dia menghembuskan nafasnya perlahan sambil geleng-geleng
kepala, “Andrea, sampai kapan kau menyimpan fantasimu itu? Dan kenapa
juga dia hendak membunuhmu? Apa alasannya?”
Aku terdiam dengan perasaan yang agak dongkol, bahkan dokter Rio yang
sangat baik padaku tidak percaya padaku, lalu siapa lagi yang akan
percaya padaku? Aku berjalan mendekati jendela dan melihat ke luar
bangsal, mungkin saja ada orang lain di luar sana yang saat ini sedang
mengawasi kami, setelah dirasa keadaan aman akupun duduk di kursi kayu,
berhadapan dengan dokter Rio.
“Kenapa
dokter tidak percaya padaku? Kalau dokter sudah tidak percaya padaku
lalu siapa lagi yang akan percaya?” Air mata mulai merembes keluar dari
sela mataku.
“Bukan aku tak percaya padamu, Andrea, tapi ucapanmu itu sangat tidak
masuk akal. Apa alasannya dia membunuhmu? Dan apa untungnya?”
“Karna dia membenciku, karna mereka membenciku, karna semua orang sangat membenciku !”
“Apa yang membuatmu berpikir bahwa semua orang membencimu?”
“Aku bisa merasakannya dokter, aku bisa melihatnya meski mereka berusaha menyembunyikannya.”
“Tidak ada yang membencimu, Andrea, mereka menyayangimu, mereka memperhatikanmu dan ingin membantumu,”
“Dokter bohong !!” Aku melengking, “tak ada satu orangpun yang peduli padaku.”
“Termasuk aku?”
Aku termangu beberapa saat hingga akhirnya berkata, “tidak. Kecuali dokter, semua orang membenciku kecuali dokter.”
“Jika kau bisa percaya padaku, kenapa kau tidak bisa percaya pada mereka?”
“Karna… karna dokter berbeda dengan mereka,” aku mulai terisak ketika mengenang masa laluku, “aku takut, dokter… sangat takut.”
“Andrea,
aku menyayangimu dan aku ingin kau segera sembuh dan hidup sebagaimana
layaknya orang lain. Aku kehabisan akal untuk mengatasi sikap paranoidmu
itu, aku membutuhkan bantuanmu, maukah kau membantuku?”
“Aku takut dokter. Semua orang membenci keberadaanku.”
“Tak
ada yang membencimu, kamu sendirilah yang membenci dirimu sendiri.
Semua orang hanya berperan sebagaimana cermin, mereka hanya memantulkan
cahaya yang datang pada mereka. Jika kau merasa semua orang membencimu
maka kau akan bertingkah laku seolah semua orang membencimu, lalu karna
sikapmu itu, apa yang tadinya hanya perasaanmu saja, kini jadi realita.
Orang lain membencimu karna kau bersikap seolah semua orang membencimu.
Jika kau berpikir bahwa semua orang menyayangimu, maka apa yang tadinya
hanya perasaanmu saja maka akan menjadi realita. Andrea, bersikaplah
seolah orang lain menyayangimu, maka mereka akan menyayangimu.”
“Betulkah?” Tanyaku sedikit sangsi, “aku hanya perlu berpikir bahwa mereka semua menyayangiku maka mereka akan menyayangiku?”
“Jika
kau berpikir bahwa orang lain itu baik hati maka kau pun akan bersikap
baik pada mereka, dengan begitu merekapun akan bersikap baik padamu.”
“Tapi aku tidak bisa menyayangi mereka, aku tidak bisa menyayangi orang yang aku tahu bahwa mereka sangat membenciku.”
“Kau
tidak membenci mereka Andrea, kau membenci ayahmu, lalu kebencianmu itu
kau lampiaskan pada semua orang,” dokter Rio mulai berdiri dari
kursinya.
Aku
berusaha mencerna perkataan dokter Rio tapi semakin aku memikirkannya
semakin terasa pening kepalaku, rasanya sakit… sangat sakit.
“Aaaaaaahhh…
aaaaaaahh… aaaahh…” tiba-tiba aku merasakan himpitan yang begitu keras
dalam kepalaku, rasanya sakit, benar-benar sakit.
Semua
kenangan itu kembali menjejali kepalaku, ayahku… si biadab itu
menghantui pikiranku, betapa ingin aku membedah usus-ususnya, mencongkel
bola matanya, merobek mulutnya dan mengulitinya.
“Aaaaaaaahhh…
aaaaaahhh… aaaaaahh…” rasa sakit semakin mendera ketika kenangan demi
kenangan tergambar satu demi satu seperti rekaman video.
Ayahku, aku membencinya, sangat membencinya, namun aku tidak tahu bagaimana caranya melampiaskan kebencianku.
“Andrea, tenangkan dirimu !” Dokter Rio berteriak penuh kecemasan.
Tiba-tiba
aku merasakan suara dengungan didalam kepalaku, semakin aku berusaha
mendengarkan dengungan itu semakin terasa semakin jelas suaranya,
sayup-sayup kudengar suara nyanyian, semakin lama suara itu semakin
jelas dan semakin jelas.
“Happy
birthday to you… happy birthday to you… happy birthday happy birthday
happy birthday to you…” itu suara kakak perempuanku saat merayakan ulang
tahunku yang ke empat, dia menegakkan sebatang lilin di atas sepotong
kue dan menyuruhku meniupnya, lalu dia menutup mataku dan begitu mataku
dibuka, aku mendapati sebuah mainan kereta api diatas meja, dia
mengatakan bahwa mainan itu adalah hadiah ulang tahun untukku yang
berasal dari celengannya selama 4 bulan.
Aku
begitu bahagia dan langsung mencium kening kakak tunggalku itu lalu
kakakkupun memelukku dengan perasaan sayang. Namun tiba-tiba, si
brengsek itu datang dan merusak kebahagiaan kami. Ayahku yang baru saja
menenggak minuman keras menghampiri kami dan membanting mainan kereta
api itu hingga berkeping-keping, aku meratap menangis dan memohon tapi
sia-sia, ayah menginjak mainan itu hingga benar-benar remuk.
Tiba-tiba
ayah menjambak rambut kakakku dan membentaknya dengan kata-kata kasar
karna ayah mengira kakakku membeli mainan itu dari hasil mencuri. Ayah
membenturkan kepala kakakku berkali-kali kelantai hingga darah
berceceran, aku tidak memalingkan pandanganku saat peristiwa itu
berlangsung, namun aku tak bisa berbuat apa-apa, aku takut dan
bersembunyi di bawah meja sementara kakakku terus berteriak histeris,
Aku diam membisu tercekat oleh rasa takut yang teramat sangat, hingga
jeritan kakakku pun terhenti… untuk selamanya.
“Aaaaaaaahh… aaaaaaaaahh… aaaahh…” Aku terus menjerit dan semakin keras, dan kulihat dokter Rio mulai panik.
“Andrea, tenangkan dirimu,” kata dokter Rio berulang-ulang.
“PRANGG !!” Piring yang berisi sarapanku jatuh kelantai dan berhamburan mengotori lantai.
“Menyingkir kau dariku !!” Aku membentak dokter Rio.
Aku
mengangkat kursi tinggi-tinggi dengan kedua tanganku dan melemparkannya
ke arah dokter Rio dan… “Brakk !!” tepat mengenai perutnya hingga ia
terhuyung jatuh ke belakang.
Aku
mengangkat satu kursi lagi dan melemparkannya namun dia berhasil
mengelak, aku mengangkat meja namun tak kuat sehingga meja itu ambruk di
depanku, aku melemparkan buku-buku, pulpen, gelas dan apa saja ke arah
dokter Rio.
Suara
keributan ini terdengar dari luar, tanpa dokter Rio harus meminta
tolong, petugas keamanan yang berjumlah 8 orang telah berhamburan masuk
ke bangsalku dan mengepungku. Aku melemparkan apa saja kearah mereka
namun mereka telah berpengalaman dengan hal semacam ini.
Salah
satu dari mereka mendekapku dari belakang, belum sempat aku meronta,
tiba-tiba 7 orang lainnya sudah memegangiku, aku kalah jumlah dan hanya
bisa berteriak sekeras aku bisa.
“Hati-hati, jangan sampai pasienku terluka,” kata dokter Rio.
Sebatang
jarum bius sudah menancap di tanganku dan akupun berhenti meronta, lalu
semuanya pun menjadi begitu gelap, aku terlelap.
l l l
“Bang!!
Bang!! Bang!!” Dengan penuh emosi, aku menggedor-gedor pintu sel tempat
aku dikurung, aku terus memukulinya hingga tanganku sendiri berdarah
namun tak ada satu petugaspun yang mempedulikanku.
“Bang!!
Bang!! Bang!!” Pintu sel ini terbuat dari besi yang benar-benar kokoh,
sehingga berkali-kalipun aku memukulnya, pintu itu tidak lecet
sedikitpun, justru kulit tangankulah yang mengelupas dan berdarah.
Aku
keletihan dan duduk dilantai sel yang dingin, aku meringkuk kedinginan
dan membenamkan wajahku di dalam kedua tanganku. Tanpa terasa mataku
mulai berair dan akupun menangis terisak-isak.
Aku
kembali mengenang masa laluku yang begitu menyakitkan. Aku memiliki
seorang ibu yang kata orang sangat baik, namun sayangnya ibuku meninggal
karna sakit ketika usiaku belum genap 5 bulan.
Kejadian
itu membuat ayahku benar-benar depresi dan membuatnya berubah menjadi
tukang pukul yang kejam, aku dan kakak perempuanku selalu menjadi
bulan-bulanannya karna bagi ayahku keberadaan kami berdua
mengingatkannya pada ibuku yang sudah tiada.
Ayah
menjadi seorang pemabuk dan bergaul dengan preman-preman jalanan,
setiap kali ia pulang kerumah dan melihatku atau kakakku, dia langsung
meluapkan seluruh kekesalannya. Ayahku sangat membenci kami sebagaimana
ia membenci ibu, ayah membenci ibu justru karna rasa cintanya yang
berlebihan, ayah berpendapat bahwa seandainya ia tidak terlalu mencintai
ibu maka dia pastilah tidak akan terlalu sakit hati saat kehilangannya.
Namun
aku mempunyai seorang kakak yang sangat menyayangiku yang selalu
menghiburku dan mewarnai hidupku disaat kebencian ayah sedang memuncak,
kakakku bersikap seolah ia adalah ibuku dan ia berusaha menggantikan
ibuku, aku merasa bahwa aku benar-benar tidak bisa hidup tanpanya.
Namun
hal yang paling aku takutkan terjadi, akhirnya kakakku menyusul ibuku
dan meninggalkanku dalam kesedihan dan ketakutan yang tiada tara. Aku
masih ingat betul kejadian itu, gambaran itu masih terlihat jelas
didalam kepalaku, aku bisa melihat tengkorak kakakku yang pecah dan
otaknya yang berhamburan serta darah yang membanjiri lantai.
Aku
masih ingat betul bagaimana ayah terus membenturkan kepala kakakku yang
sudah tak bernyawa, aku masih bisa mencium bau anyir dari darah
kakakku, aku masih ingat betul kengerian yang menyelimuti seluruh ragaku
dikala ayah memalingkan pandangannya kearahku yang sedang meringkuk
ketakutan, dan aku masih ingat rasa sakit kala itu, dikala ayahku
membanting tubuhku yang rapuh sampai aku kehilangan kesadaran.
Untungnya
ada seorang tetangga yang memergoki kejadian itu dan dia melarikanku ke
rumah sakit sementara ayahku melarikan diri dari kejaran polisi. Aku
dirawat oleh sebuah keluarga yang ternyata tidak menyayangiku, lalu
akupun berpindah dari satu pengasuhan ke pengasuhan lain hingga aku
remaja, semua orang membenciku sehingga akupun membenci mereka.
Aku
hidup dengan sebuah ambisi yang memuncak, yaitu menghabisi ayahku. Aku
terus memburunya dan mencari berita tentang keberadaannya. Aku selalu
membawa sebuah belati yang kuasah setiap sore dan aku sangat ingin
menggunakannya untuk membedah usus-usus ayahku.
Namun,
nasib tidak berpihak padaku. Aku mendengar sebuah berita bahwa ayahku
mengalami kecelakaan dalam pengejaran polisi, sebuah truk melindasnya
hingga isi kepalanya berhamburan di jalanan, begitu mendengar kabar itu
aku begitu terpukul dan menjerit sekeras-kerasnya, aku sangat sakit hati
karna tidak bisa melampiaskan dendamku, aku tidak bisa menghujamkan
belati itu keperut ayahku, aku tak akan pernah bisa melihat wajah ayahku
yang kesakitan dan memohon-mohon padaku, aku mulai merasa kehilangan
tujuan hidupku dan aku mulai kehilangan diriku, lalu… disinilah aku
berada.
l l l
Sudah
7 hari sejak aku mengamuk dan melampiaskan seluruh kekesalanku kepada
dokter Rio, kini aku merasakan rasa bersalah yang teramat sangat, aku
sangat takut dia membenciku karna perlakuanku kala itu, aku menghabiskan
waktu didalam bangsal hari demi hari dalam kesendirian dan dalam
kesedihan, ini adalah hari tergelap yang pernah aku rasakan, dibenci
oleh orang yang aku sayangi.
Tubuhku
semakin kurus karna aku tidak memiliki nafsu makan, tubuhku pun semakin
kotor karna aku menolak mandi. Aku menghabiskan hariku dengan
berteriak-teriak sendiri, menangis, tertidur, mondar-mandir dan
meringkuk di dekat lemari, lalu dengan jujur aku berkata pada diriku
sendiri bahwa aku menyesali apa yang aku lakukan pada dokter Rio, kini
dia tidak akan mau lagi menemuiku, kini aku harus menanggung kesendirian
dan kesedihan ini sampai mati atau… lebih baik aku mati sekarang saja?
Ya,
lebih baik aku mati sekarang saja agar aku terbebas dari segala
kesengsaraan yang membelengguku, aku telah kehilangan arti hidupku,
tapi… sebelum aku mati aku ingin melakukan satu hal, aku ingin melarikan
diri dari sini dan mencari kuburan ayahku yang telah menyebabkan aku
menjadi begini, lalu aku akan mengeluarkan jasadnya dan menguliti
seluruh tubuhnya dan mencacah-cacah tubuhnya hingga kecil-kecil agar
ayah yang sudah berada dialam lain sana merasakan rasa sakitnya, mungkin
aku tidak bisa mendengarkan jeritannya maupun melihat rasa takutnya
namun setidaknya aku telah melampiaskan dendamku, setelah itu, aku tidak
peduli lagi apa yang akan terjadi.
Aku
tertawa sendiri ketika membayangkan adegan ketika aku harus membedah
tubuh ayahku yang telah mati, dan aku akan terus menyiksanya sampai aku
puas meski aku sendiri tidak tahu apakah aku bisa terpuaskan.
“Ceklek !!” Tiba-tiba pintu bangsal terbuka ketika aku sedang asyik dalam lamunanku, aku tidak punya waktu untuk terkejut.
Aku
melihat dokter Rio berdiri diambang pintu dan berjalan kearahku, ketika
melihatnya tiba-tiba seluruh kebencian yang menyelubungi diriku
melepuh, aku melihatnya seperti sinar didalam kegelapan yang teramat
pekat.
Namun
ketika aku melihat perban yang melekat di tangan kanannya aku menjadi
begitu lemas, rasa bersalah yang teramat sangat menyiksaku dari dalam,
“dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya, dia dengan
tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya, dia dengan tulus
berusaha menolongmu namun kau menyakitinya,” kata-kata itu terus
berdengung didalam kepalaku hingga aku merasakan himpitan yang luar
biasa.
“Aaaaaaahh… aaaaaaahh… aaaaaaaahh…” aku mulai meringis kesakitan.
“Andrea,”
dokter Rio berbicara dengan begitu tenang, “aku memahami kejadian waktu
itu, kau hanya kehilangan kendalimu, namun aku tahu bahwa kejadian itu
takkan kembali terulang karna aku tahu bahwa kau menyayangiku, dan,
tanpa harus kau meminta maaf padaku, aku… telah memaafkanmu, dan
sedikitpun aku tidak membencimu.”
Sebuah
senyuman tulus yang terukir disela bibir dokter Rio ibarat hembusan
angin musim semi bagiku, seolah seluruh beban didalam kepalaku melebur
dalam seketika sehingga rasa sakit didalam kepalaku menghilang, aku
merasa begitu nyaman, aku merasa begitu tenang, dan akupun tersenyum.
“Benarkah? Dokter sudah memaafkanku dan tidak menaruh dendam sedikitpun kepadaku?”
“Tentu
saja, aku melakukan yang terbaik bagi diriku dan bagi dirimu, karna aku
tahu bahwa kebencian itu tidak dapat membuatku bahagia, karna aku tahu
bahwa dendam itu adalah siksaan batin yang takkan pernah dapat
terpuaskan oleh apapun.”
Aku
merasa tidak pernah mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari pada ini
selama hidupku, aku mendapatkan pencerahan dan akupun mulai mengerti
arti dari sebuah kasih sayang dan pemaafan, dan akupun mulai menemukan
cahaya harapan yang akan menerangi seluruh langkahku.
Kami
berbicara sana-sini dan sesekali dokter Rio menyisipkan sedikit lelucon
yang membuatku terpaksa tertawa. Dokter Rio mengatakan padaku bahwa dia
akan mengajakku jalan-jalan keluar dan sekarang dia sedang sibuk
mengurus izinnya. Namun untuk hal itu dia memerlukan kerjasama dariku,
aku harus bersikap baik selama dua minggu kepada semua orang yang
berhubungan denganku, aku harus menambahkan point-pointku dan menaikkan
grafikku keatas, yang itu artinya aku harus mau mandi, sarapan tepat
waktu, merapikan tempat tidur dan berkomunikasi dengan semua orang.
“Aku akan melakukannya dokter, aku akan melakukan hal terbaik yang bisa aku lakukan.”
“Jika
nanti kau telah sembuh, aku akan memperkenalkanmu dengan sebuah
keluarga yang dikenal sangat bijaksana, mereka telah berpengalaman
berurusan dengan orang-orang yang memiliki gangguan jiwa, mereka juga
tidak hanya mengurusmu namun juga akan melatihmu dan memberikanmu
pekerjaan agar kau tidak terlalu tergantung pada mereka, selain itu
tentu saja kau harus mengejar ketertinggalanmu di Sekolah, mereka akan
memasukkanmu ke SMP, kurasa tidak akan menjadi masalah jika kau menjadi
siswa tertua dikelasmu asalkan kau bisa menunjukkan kualitasmu,
mengingat usiamu yang sudah 15 tahun seharusnya kau sudah kelas 3 tapi
tidak mengapa jika kau harus memulai dari kelas 1, sepulang sekolah akan
ada les tambahan buatmu agar kau lebih bisa memahami pelajaran di kelas
dengan baik. Aku akan mengatakan pada gurumu bahwa dulu kau terlalu
sibuk bekerja sehingga kau tertinggal, yang penting takkan ada satupun
orang yang tahu rahasiamu,dan takkan ada satu orangpun yang akan mengira
bahwa dari sinilah kau berasal. Kau bisa memulai hidupmu yang baru dan
memiliki kehidupan yang normal dan selanjutnya… masa depan ada
ditanganmu.”
Kebahagiaan
membuncah memenuhi relung jiwaku dan meledak begitu saja, aku
berjingkrak-jingkrak penuh kesenangan mendengar kabar yang seolah datang
dari langit.
l l l
Dua
minggu telah berlalu, aku melakukan apa-apa sesuai yang disarankan
dokter Rio sampai-sampai para perawat terkejut melihat perkembanganku,
berbagai pujian dilontarkan padaku ketika para Psikiater melihat
catatanku, mereka menjabat tanganku dan tersenyum padaku, akupun mulai
terbiasa untuk berkomunikasi dengan mereka sehingga tak ada orang yang
merasa takut lagi kepadaku. Ternyata benar apa yang dikatakan dokter Rio
padaku, jika aku memandang orang lain disekitarku adalah orang baik
maka merekapun akan menyesuaikan diri dengan persepsiku.
Aku
dibelikan sebuah baju dan celana baru yang sangat bagus dan disetrika
licin oleh perawat, aku bahkan sudah boleh keluar masuk bangsal sesuka
hati. Kini aku sedang menunggu kedatangan dokter Rio yang selama dua
minggu ini tidak menemuiku.
Aku
berpenampilan dan bersikap seperti halnya remaja pada umumnya, aku
sedang asyik berbincang dengan seorang penghuni bangsal dan berusaha
membesarkan hatinya ketika akhirnya dokter Rio mendatangiku dan
mengajakku keluar seperti yang dijanjikan.
Kami
berjalan-jalan di Mall dan bermain di Time Zone seperti halnya ayah
dengan putranya, kami juga menikmati makan siang di KFC, selain itu
dokter juga mengajariku sedikit demi sedikit etika berkomunikasi dan
bergaul, hari ini benar-benar hari terindah yang pernah kurasakan, aku
sangat bahagia.
Sore
harinya aku mengajak dokter ke rumahku yang telah aku tinggalkan selama
11 tahun, kini keadaannya telah banyak berubah, dinding-dindingnya
pecah, rumput liar tumbuh disana sini, pintu kayunya telah pecah dan
lapuk disantap rayap, kaca jendela banyak yang pecah, genteng rumah juga
sudah banyak yang berjatuhan, isi rumah sudah menghilang entah kemana.
Aku
mengajak dokter Rio melihat-lihat rumahku sambil menceritakan hal-hal
yang pernah terjadi didalam rumah ini, ketika kami berada di kamar mandi
aku menceritakan tentang bagaimana dulu kepalaku dibenamkan didalamnya,
ketika kami berada didapur aku menceritakan tatkala ayahku memukuliku
dan kakakku tanpa ampun, setiap ruangan memiliki cerita tersendiri.
Akhirnya
kami tiba digudang, aku menceritakan secara detail dan lengkap kejadian
paling tragis yang pernah terjadi didalam ruangan ini, aku menceritakan
tentang hadiah ulang tahunku yang dihancurkan oleh ayahku, tentang
darah yang berceceran, tentang jeritan kakakku yang akhirnya terhenti,
dan tentang semua ketakutan yang kurasakan.
Hari
sudah menjelang malam ketika dokter Rio mengajakku pergi kesebuah
pemakaman dengan mobilnya, tepat dibawah pohon Kamboja aku melihat makam
yang benar-benar tidak terurus, rumput liar tumbuh di atasnya
menampilkan kesan angker.
“Ini adalah tempat dimana ayahmu dikuburkan,” gumam dokter Rio.
Tubuhku
bergetar dan rasa dingin menjalar disekujur tubuhku, jantungku berdebar
dua kali lebih cepat dan gigiku gemeletuk. Aku diam membisu tanpa bisa
mengucapkan sepatah katapun seolah waktupun ikut membeku.
Aku
merenungkan kenangan masa laluku dan seluruh kebencianku meluap
menghimpit dadaku, lalu aku menghirup udara sore yang dingin kedalam
paru-paruku hingga benar-benar penuh dan menghembuskannya dengan
perlahan.
“Ayah…”
kataku, “tidak ada makhluk yang paling aku benci dimuka bumi ini
melebihi kebencianku padamu, dan kebencian ini benar-benar menyakitkan,
selama ini aku memendamnya dan membiarkan rasa sakit menjalar keseluruh
tubuhku.”
“Ayah…”
kataku, “kini aku mulai memahamimu, aku memahami kebencianmu terhadap
dunia yang kau anggap tidak lagi adil, namun ayah, Tuhan tidak akan
ditanyai tentang apa yang diperbuat-Nya terhadap makhluk yang
diciptakan-Nya namun makhluk ciptaan-Nyalah yang nantinya akan ditanyai
tentang bagaimana mereka menyikapi setiap ujian yang menimpanya.”
“Namun
ayah,” kataku, “hidup ini adalah pilihan, takdir hidup itu terletak
ditangan kita sendiri yang jika kita bisa menyikapinya secara bijak maka
akan berbuah manis pada akhirnya. Apakah ayah tahu? Aku tidak beda
dengan ayah, ayah menganggap dunia memperlakukan ayah secara tidak adil
sehingga ayahpun melampiaskan kekesalan dan kebencian ayah kepadaku,
sebagaimana aku melampiaskan kebencianku kepada semua orang yang ada
disekitarku karna perbuatan ayah.”
“Suatu
saat mungkin, ada orang yang tertimpa kebencianku sebagaimana kebencian
ayah yang dilampiaskan kepadaku sehingga kebencian itu akan terus
berjalan seperti mata rantai, orang yang menjadi pelampiasan kebencianku
juga akan melampiaskan kebenciannya kepada orang lain, jika begitu maka
rantai kebencian itu akan terus merambat sehingga dunia akan dipenuhi
dengan kebencian dan dendam.”
“Namun
ayah, aku ingin merusak mata rantai itu, aku takkan melampiaskan
kebencian dan dendamku dan membiarkan dunia berjalan dengan damai karna
aku tahu bahwa kebencian dan dendam itu tidak akan sembuh dengan
pelampiasan, namun kebencian dan dendam itu akan melebur dengan
pemaafan.”
Aku
menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, lalu kurasakan dokter Rio
menaruh tangannya kebahuku, aku terdiam sejenak dan kemudian berkata,
“ayah, aku tidak lagi peduli dengan kekejaman yang pernah ayah lakukan
terhadapku, aku tidak lagi peduli dengan apa yang telah terlanjur
terjadi. Ayah, aku hanya ingin mengatakan bahwa… aku memaafkanmu, aku
memaafkan semua kesalahan ayah dari yang terkecil hingga yang terbesar
tanpa sisa.”
"Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang
lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (Surah
Al-Imran:Ayat 134)
Magelang, 3 Oktober 2010