Sebenarnya
aku malas menulis perihal perpolitikan Indonesia, tapi melihat dagelan Politik
yang selalu tayang di Stasiun TV membuatku sedikit gerah juga, sebab itu aku
merasa perlu mengeluarkan uneg-uneg yang ada di kepalaku. Seperti sudah kutuliskan
di artikel sebelumnya disini ,
Indonesia itu adalah Negeri yang sempurna, itu jika kita mengabaikan situasi
politik yang ada saat ini. Kekisruhan Politik yang dimulai sejak perebutan
kekuasaan oleh Soeharto dari Soekarno hingga era setelah Reformasi seakan hanya
berganti topik dan judul. Siapapun yang jadi pemimpinnya seolah tidak memiliki
pengaruh bagi perkembangan bangsa.
Ya,
bagaimanapun juga hampir mustahil membuat nuansa perpolitikan yang stabil
dengan sistem yang salah. Sebenarnya sistem demokrasi bukanlah sistem yang
tepat untuk bangsa kita. Dengan sistem demokrasi, pemimpin yang akan terpilih
bukanlah yang terbaik tapi yang paling dikenal. Sebaik apapun karakter
seseorang jika dia tidak dikenal maka tidak mungkin dia terpilih. Dan dalam
sistem demokrasi, calon pemimpin hanya ditentukan oleh jumlah suara. Jadi
disini, nilai suara Mario Teguh memiliki poin yang sama persis dengan nilai
suara seorang kriminal. Dalam hal ini nilai ideologi tidak diperhitungkan. Tak
peduli meskipun disatu sisi seseorang memilih pemimpin karena fanatik atau selembar rupiah atau
benar-benar demi perkembangan bangsa.
Meskipun
aku bukanlah seorang Agamis tapi sebenarnya aku memiliki rasa
kagum dengan sistem perpolitikan Islam. Dalam Islam, seorang yang ambisius
tidak layak dijadikan pemimpin. Ketika seseorang berkata, “Pilih aku” maka
dia akan dikeluarkan dari kandidat pemimpin, karna seorang yang ambisius akan
lebih mementingkan dirinya sebelum bangsanya. Dalam Islam, pemimpin
dikandidatkan melalui musyawarah dan diskusi oleh orang-orang yang memang
mengerti urusan pemerintahan. Dengan begitu tidak mungkin seseorang
dikandidatkan sebagai pemimpin jika tidak memiliki karakter yang layak.
Setelah
ditentukan pemimpinnya maka rakyat akan berbaiat, jika ada ketidaksetujuan maka
harus memiliki argumentasi dan solusi kemudian dipertimbangkan dalam rapat.
Dalam hal ini, calon pemimpin tidak harus mengeluarkan dana dan membual ini dan
itu. Karna Rakyat-lah yang membutuhkannya, bukan dia yang membutuhkan rakyat,
disitulah makna Wakil Rakyat yang sebenarnya.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa korupsi adalah penyebab terpuruknya Negeri Indonesia.
Aku pribadi tidak bisa hanya menyalahkan pelaku Koruptornya, karna jika saja
aku yang jadi Wakil Rakyat dengan sistem yang ada, ada kemungkinan aku juga
akan menjadi Koruptor. Korupsi adalah hal yang wajar dengan sistem
per-politik-an yang ada saat ini. Dalam dunia perdagangan tidak ada yang salah
dengan mengeluarkan modal sedikit untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.
Baiklah,
aku akan coba jabarkan situasi dunia per-politik-an yang ada. Untuk menjadi
pejabat di Indonesia apa yang sangat diperlukan? Uang atau modal.
Seseorang butuh dana untuk menjadi Pejabat Pemerintah, dana itu diperlukan untuk kampanye, untuk
memperkenalkan diri pada seluruh masyarakat Indonesia dari Kota Besar hingga
pelosok desa, karna sehebat apapun seseorang dia takkan bisa jadi Pejabat jika
dia hanya dikenal segelintir orang.
Nah,
sekarang kita mulai hitung-hitungan ala pedagang. Disini misalkan saja kita
mengeluarkan dana 10 Milyar untuk kampanye, kemudian kita misalkan juga gaji
Pejabat Pemerintah selama 1 Periode adalah 15 Milyar. Jadi keuntungan yang
didapat adalah 5 Milyar… itu jika ada jaminan terpilih, padahal kita tahu
bermain politik itu seperti bermain judi, jika tidak bisa bermain secara
totalitas maka peluang kalah akan lebih besar. Tentu saja tidak mungkin ada
yang mau kehilangan modal 10 milyar begitu saja, sebab itulah target minimal setidaknya balik
modal.
Dalam
sistem Politik Indonesia kita mengetahui bahwa rakyat akan memilih seseorang
karna beberapa unsur
diantaranya : calon memiliki hubungan kekerabatan dengannya, calon memiliki
kesamaan kota/ agama/ suku/ status/ yang lainnya, calon dimungkinkan dapat
memberikan keuntungan terhadapnya secara langsung/ tidak langsung, dan masih
banyak yang lain. Tapi kita akan ambil poin terakhir sebagai strategi Politik.
Jika kita bisa memberikan keuntungan pada rakyat maka presentase kemenangan
akan meningkat.
Keuntungan
tidak langsung diantaranya berupa kesejahteraan dan kemakmuran, sedangkan
keuntungan langsung dan terlihat adalah… uang tunai, dan inilah strategi
politik yang sering dipakai. Penyuapan sebelum pemilihan dilangsungkan
dipercaya bisa meningkatkan persentase kemenangan. Dengan memberikan “amplop”
kepada calon-calon pemilih potensial maka kemungkinan terpilih semakin besar.
Secara psikologis, seseorang yang diberikan “amplop” akan merasa berhutang budi
sehingga dia akan merasa tidak enak jika tidak memilih calon. Tapi bukankah
pencoblosan calon itu rahasia dan tersembunyi? Iya memang, tapi seorang
politikus tentulah sudah mempunyai semacam perhitungan, jika dia memberikan 100
amplop maka setidaknya dia harus mendapatkan setidaknya 60 dukungan, jika ternyata pemilihnya di bawah
target maka dia akan dengan mudah mengintimidasi si penerima “amplop” baik
secara tersirat maupun langsung, sebab itulah untuk jalan amannya si penerima
amplop akan memilihnya. Yup, ini adalah permainan psikologis.
Di dunia Politik, money politic dianggap lumrah. Lumrahnya
manusia yang menjalani hidupnya siang dan malam dengan berjuang mengais rezeki,
maka nominal rupiah didepan mata sulit untuk ditolak. Meskipun money politic
adalah pelanggaran Pemilu tapi banyak calon tidak begitu ambil pusing, semua calon berprasangka terlebih
dahulu bahwa pesaing melakukan money politic sehingga jika dia tidak melakukan
hal yang sama maka dia akan kalah. Karna itulah banyak orang baik yang terjebak
situasi Politik dan akhirnya harus terseret arus. Sering kita jumpai Pejabat
yang dulunya koar-koar berdemo demi kebaikan Bangsa menjadi lupa diri ketika
dia telah duduk nyaman di kursi Pemerintah.
Dan untuk melakukan money politic itu butuh apa? Uang. Nah
sekarang kita lanjutkan hitung-hitungannya, karna strategi pertama gagal maka
modalpun ditambah. Karna tergiur oleh ambisi kekuasaan maka kitapun tidak lagi
peduli dengan jumlah uang yang dikeluarkan, kita hanya fokus pada satu kata
saja, “kemenangan.” Setelah hutang sana-sini dan menjual tanah ini dan itu
akhirnya kitapun berhasil menduduki
kursi Pemerintahan, sementara kita abaikan dulu kemungkinan kalahnya.
Namun ketika kita menghitung-hitung jumlah pengeluaran, ternyata dana kampanye
yang kita keluarkan mencapai 15 Milyar rupiah.
Dalam dunia dagang, mengeluarkan modal 15 Milyar dan
mendapatkan gaji 15 Milyar, rugi atau untung? Tentu saja rugi. Kitapun terjebak
dalam kemenangan semu, disaat seperti itu apa yang pertama kali kita pikirkan?
Tentu saja akan sulit memfokuskan diri bekerja untuk rakyat. Dengan menjadi pejabat
justru gaya hidup meningkat sehingga pengeluaran pun semakin menanjak. Tapi
Kita memiliki kesempatan selama 1 periode tersebut untuk mendapatkan
keuntungan, tidak ada jaminan kita akan mendapatkan kesempatan kedua di
periode mendatang, orang Jawa bilang “aji mumpung.” Kesempatan apa yang mungkin
dimiliki untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Pejabat? Membuka
usaha mandiri? Tentu saja tidak.
Dengan menjadi Pejabat Pemerintah kita mendapatkan
kesempatan untuk mengelola keuangan Negara. Kita bisa saja menambahkan nominal
rupiah untuk alokasi pembangunan di suatu daerah, misalkan saja kita mengajukan
dana untuk semen seharga Rp 1000/ kilogram, kita bisa menambahkan Rp 100. Jika
untuk dana pembangunan itu dibutuhkan sekitar 1000 Ton semen maka berapa
keuntungan yang akan kita dapatkan? Well, cukup menggiurkan bukan? Dengan
memanfaatkan kewenangan yang kita miliki, dalam 1 periode dimungkinkan kita
mendapatkan 30 Milyar dengan modal 15 Milyar, untung atau rugi? Tentu saja
untung.
Nah, sekarang kita bisa membayangkan bagaimana jika kita
berada dalam posisi Pejabat Pemerintah. Apakah kita akan bertindak jujur dan
memikirkan rakyat dengan benar disaat Peluang memperkaya diri terbuka lebar
didepan mata kita? Ya, aku percaya masih ada orang jujur dalam Pemerintahan
Negara kita. Tapi seseorang yang bisa meluangkan waktu memikirkan rakyat
biasanya adalah orang yang pikirannya tidak terforsir oleh sistem balik modal.
Jika seseorang menjadi Pemimpin tanpa dia harus mengeluarkan dana maka dia
lebih dimungkinkan untuk fokus memikirkan rakyat. Dalam sistem Pemerintahan
Islam yang kubicarakan diatas, calon pemimpin tidak perlu mengeluarkan sepeserpun dana kampanye karna
dana sudah ditanggung oleh Negara. Karna dia menjadi Pemimpin dengan bantuan
keuangan Negara maka dia tidak perlu memikirkan sistem balik modal karna sudah
pasti dia mendapatkan gaji yang layak. Karna merasa mendapat tunjangan dari
rakyat maka diapun merasa berhutang budi pada rakyat dan akhirnya dia akan
fokus memikirkan rakyatnya.