Kota Magelang memang tidak pernah membosankan untuk di
ceritakan. Setelah sebelumnya aku menuliskan Artikel berjudul Magelang, Kota Sejuta Bunga? Sekarang aku kembali menuliskan satu sisi lagi tentang Magelang dengan
tema Wisata. Sebenarnya ada cukup banyak tempat Wisata di Magelang, terlebih
daerah Kabupaten, tapi kali ini aku akan mengambil setting Ketep Pas dan Kedung
Kayang.
Ketep dan Kedung Kayang sebenarnya adalah tempat Wisata yang
berbeda. Tapi berhubung letak kedua tempat tersebut berdekatan, anggaplah Ketep
dan Kedung Kayang sebagai satu paket. Soalnya, sayang sekali jika kita hanya
mengunjungi Ketep tanpa bersinggah ke Kedung Kayang.
Aku, mengunjungi Ketep bersama beberapa
temanku, termasuk diantaranya seorang Blogger asal Magelang dan Blogger asal
Wonosobo. Dulu kami kursus Komputer di tempat yang sama, jadi acara tersebut
bisa juga disebut sebagai reuni. Kami memulai keberangkatan dari Mertoyudan
dengan mengendarai sepeda motor.
Jalur yang paling dekat menuju Ketep adalah melalui
pertigaan Blabak. Jadi dari pertigaan Blabak, kita belok ke kiri memasuki
Kecamatan Sawangan dan berjalan terus ke arah Merapi. Sebenarnya Ketep tidak
terletak di kaki Gunung Merapi. Tapi dari Ketep kita bisa melihat Gunung Merapi
secara utuh. Ketep sendiri sebenarnya tidaklah luas, hanya beberapa Hektar.
Jadi biasanya tidak akan lama buat kita berkunjung ke Ketep. Sebelum memasuki
Ketep, kita perlu merogoh Kocek Rp 17.000 untuk membeli tiket masuknya.
Sajian utama di Ketep adalah pemandangan Gunung. Salah satu
lokasi di Ketep dinamakan pelataran Panca Arga. Kenapa diberinama demikian?
Sebab, pelataran Panca Arga berada di area ketinggian yang memungkinkan kita
untuk melihat Lima (Panca) buah Gunung yang mengelilingi Magelang. Kelima
Gunung tersebut adalah Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Slamet, Gunung
Sindoro dan Gunung Sumbing.
Di Panca Arga dan Gardu Pandang terdapat masing-masing 1
buah teropong yang memungkinkan kita untuk melihat pemandangan Pegunungan
dengan lebih detail. Oh iya, selain itu sebenarnya kita juga bisa menyewa
teropong portabel dengan merogoh kocek Rp 5000. Waktu itu aku sempat menyewa
teropong portable tersebut dan hasilnya... mengecewakan.
Sangat disayangkan karna teropong yang disewakan tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, pada akhirnya aku hanya mengalungkannya di
leherku dan tidak menggunakannya. Menggunakannya hanya membuatku senewen,
bagaimana tidak? Teropong tersebut hanya berfungsi di satu sisi saja. Sebagian
lensanya seperti sengaja ditutupi sebuah benda. Sementara sisi lensa yang
berfungsi tidak menampilkan view seperti yang diharapkan. Jadi memang sebaiknya
menggunakan teropong yang sudah disediakan di area Ketep atau melihat
pemandangan dengan mata telanjang.
Selain pelataran Panca Arga, di Ketep juga terdapat sebuah
gedung Teater bernama Ketep Volcano Theatre. Teater tersebut menyajikan
aktifitas Gunung Merapi dan letusannya dari masa ke masa dalam bentuk film. Teater
tersebut hanya dibuka di jam-jam tertentu saja. Sayangnya, aku tidak sempat
memasukinya karna waktu kami terbatas. Kami masih harus mengunjungi tempat
Wisata lain selain Ketep sehingga harus mengagendakan waktu seefektif mungkin.
Setelah melewati gedung Teater, aku dan teman-teman memasuki
Ketep Volcano Centre. Ketep Volcano Centre mengajak kita mengenal lebih dekat
Gunung Merapi berikut aktifitas dan sejarahnya dalam bentuk foto dan gambar.
Terdapat sebuah replika Gunung Merapi setinggi sekitar 2 meter yang terbuat
dari semen. Selain itu terdapat poster-poster dinding yang menjelaskan secara
detail tentang Gunung Merapi.
Kita juga diajak menilik sejarah Merapi melalui foto-foto
Merapi dari masa ke masa. Dari foto hitam putih yang diambil di era Soekarno
hingga foto berwarna yang menampilkan area-area
letusan yang hangus. Di Ketep Volcano Centre juga terdapat sebuah gambar di
sebuah meja yang jika dilihat dengan sebuah alat yang terdapat disitu akan
nampak seperti gambar 3 Dimensi.
Puas menikmati perjalanan Wisata di Ketep, kamipun
melanjutkan perjalanan ke Kedung Kayang. Kedung Kayang adalah sebuah Wisata
Alam berupa Air Terjun. Tempatnya tidak begitu jauh dari Ketep, hanya butuh
waktu sekitar 5-10 menit untuk sampai di Lokasi. Dari Ketep kita jalan ke arah
menurun sampai pertigaan, lalu belok kiri dan mengikuti jalan hingga sampai di
sebuah Gapura bertuliskan Kedung Kayang.
Tiket masuk ke Kedung Kayang relatif murah, hanya Rp 2.500.
Setelah masuk ke dalam akan ditemui pertigaan, kita bisa memilih kiri jika
ingin berada di atas Air Terjun, atau ke kanan jika ingin ke bawah Air Terjun.
Tentu saja lebih menarik buat kita berada di bawah karna kita akan bisa melihat
Air Terjun secara keseluruhan.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke arah Air Terjun, ada
baiknya kita berbelanja jajanan dan minuman terlebih dahulu di Warung yang
tersedia, tentu saja akan sedikit merepotkan jika kita kehausan setelah sampai
di Air Terjun, mengingat jarak antara Air Terjun dan warung jajanan cukup jauh.
Jalan dari tempat parkir hingga Air Terjun mudah dilintasi
karna sudah teraspal dengan baik menggunakan semen, selain itu di pinggirannya
terdapat pagar pegangan sebagai pengaman. Meski begitu, jalanan tersebut begitu
menurun sehingga berbahaya dilintasi dengan sepeda motor. Jarak untuk sampai ke
Lokasi mungkin sekitar setengah kilometer atau lebih. Jujur saja sedikit
melelahkan untuk sampai di lokasi karna begitu menurunnya jalan yang dilewati,
apalagi untuk kembali dari Air Terjun... sangat menanjak.
Pemandangan Air Terjun cukup indah dan memuaskan sehingga
kelelahan yang didapat untuk sampai ke Lokasi terbayarkan sudah. Batu-batu
besar bertebaran disana-sini, sangat bagus untuk dijadikan background foto
kita. Meski saat itu belum musim hujan, Air Terjun tersebut cukup deras dan
tidak mengecewakan. Cukup banyak pengunjung yang ada di lokasi, tapi selalu
banyak tempat bagus untuk mengabadikan gambar.
Sebagai pecinta lingkungan, kami berusaha memegang teguh
slogan, “tidak mengambil apapun dari alam selain gambar, dan tidak meninggalkan
apapun dari alam selain jejak.” Puas kami menikmati keindahan alam di Kedung
Kayang, kamipun melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tuntas sudah acara
reuniku bersama teman-temanku dan kamipun pulang ke Magelang Kota.
Perjalanan
di tengah Samudra mungkin bisa dibilang sebagai perjalanan yang membosankan. Tak
peduli di Negri mana kita berada, lautan tetaplah sama. Yang membedakan hanyalah
warna laut, iklim, waktu dan besarnya gelombang. Tapi tidak bisa dibilang sebagai
perjalanan yang tidak mengesankan.
Di akhir tahun
2013 lalu, aku mendapatkan kesempatan melakukan penjelajahan Samudra. Bukan dalam rangka liburan tapi lebih
karna pekerjaan. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa pekerjaan yang paling
menghasilkan adalah pekerjaan laut. Apalagi bagi mereka yang terkena himpitan hutang,
laut seringkali dijadikan solusi.
Selama 8
bulan aku terombang-ambing di tengah Samudra Atlantik. Dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang
pas-pasan dan modal yang tak seberapa maka sudah tentu bukan kapal sementereng Pesiar
atau Fery yang menjadi tempatku bekerja, tapi pekerjaan yang lebih menuntut pada
fisik. Ya, aku bekerja di kapal pemancing Cumi berbendera Taiwan.
Aku bersama
teman-teman Indonesiaku memulai perjalanan dari Pelabuhan Singapore. Saat itulah
kami mengucapkan selamat tinggal pada daratan. Kami menumpang sebuah Kapal kecil
milik Singapore, melintasi ombak yang tenang dan ratusan kapal besar dan kecil disekitar
kami. Banyak sekali jenis kapal yang menakjubkan. Sayang sekali, meskipun aku sempat
mengabadikannya di Kamera Handphone, Handphone-ku sempat tercebur kegenangan
air laut, tentu saja tidak ada tempat service
HP di dalam kapal.
Sepanjang perairan
Singapore tidak pernah kosong dari beragam jenis Kapal, kemanapun kepala menoleh
disana Nampak beragam jenis kapal dengan segala kesibukannya. Dari yang super
besar, hingga yang kecil. Selain itu, sepanjang perairan Singapore banyak sekali
pelampung-pelampung kecil bertebaran, aku akhirnya tahu bahwa dibawah pelampung itu terdapat semacam perangkat untuk menjebak ikan.
Di dalam perahu
kami terdapat bergalon-galon air tawar.Tentu saja, air tawar sangat penting bagi
pelaut. Tapi aku sempat berpikir, untuk apa membawa air sebanyak itu. Akhirnya aku
tahu bahwa air tersebut digunakan sebagai alat pembayaran untuk membeli beragam
keperluan.
Rata-rata
pelaut memang lebih sering memakai sistem barter daripada jual beli menggunakan
uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Seperti kejadian kala itu, kapal
kami mendekati sebuah perahu yang lebih kecil,
kemudian terlibat tawar menawar untuk menukar galon air dengan Mie Instan dan rokok.
Begitulah sistem barter berjalan.
Kapal yang
kami tumpangi bukanlah kapal tempat kami bekerja, tapi hanya sebagai tumpangan saja.
Setelah berjam-jam melintasi perairan Singapore sampailah kami di perbatasan perairan
laut Singapore, disanalah kapal Cumi berbendera Taiwan tempat kami bekerja,
sedang menunggu.
Setelah komunikasi
radio kedua nakhoda kapal, kapal tumpangan kamipun merapat kepintu kapal Cumi. Kapal
tersebut bernama Pei Yuh No. 6. Ketika pertama kali melihatnya kapal Pei Yuh terlihat
besaaar sekali. Tapi setelah lama berada di Pei Yuh dan setelah melihat kapal kapal
lain yang yang jaaauh lebih besar, ukuran Pei Yuh tampak biasa saja.
Satu demi
satu ABK (Anak Buah Kapal) melompat masuk kedalam Pei Yuh. Lalu Pei Yuh melemparkan
berbagai jenis makanan instant ke kapal yang mengantarkan kami sebagai upah,
kemudian kami memulai perjalanan dengan Pei Yuh. Kami semua di kumpulkan dan didata.
ABK di kapal Pei Yuh tidak hanya berasal dari Indonesia tapi juga dari Negara
lain seperti Vietnam, China dan Phillippines.
Wilayah
perburuan kami ada di Laut Argentine dan Laut Folkland karna itu kapal kami
terus melaju menuju tempat tenggelamnya matahari. Karna berjalan searah
dengan matahari maka setiap sekitar 3 hari sekali jam kapal akan dikurangi satu
jam karna perbedaan zona waktu. Semakin menjauh dari perairan nusantara,
semakin bergejolak dan semakin gelap warna lautnya. Semakin jauh dari benua,
semakin sepi pula. Hingga akhirnya Kapal Pei Yuh terombang-ambing seorang diri
tanpa terlihat satupun kapal lain yang melintas.
Ketika mendekati perairan Madagascar, lautan mulai
menunjukkan keganasannya. Ombak menggulung kesana kemari. Disatu sisi ombak
setinggi puluhan meter, sedang disisi lain lautan tampak begitu curam seperti
lembah. Air laut menghajar kapal dari segala sisi. Lumayan mengerikan juga
ketika gelombang laut mengangkat kapal kami tinggi-tinggi untuk kemudian
menghempaskan kami ke bawah, perut
serasa berdesir, seperti jatuh dari ketinggian.
Kapal yang terhempas kebawah disambut deburan ombak yang
membanjiri anjungan kapal. Tak seorangpun berani keluar dari ruangan karna
terlalu berbahaya. Di dalam ruangan kami bergoncang ke kanan dan ke kiri.
Berbagai macam benda berjatuhan, dari tempat sampah, mangkok, dan barang-barang
lain berhamburan. Benar-benar bukan perjalanan yang nyaman.
Sampai akhirnya kami melewati perairan Madagascar, gelombang
laut mulai lebih tenang. Pernah suatu ketika kapal begitu miring. Pada mulanya
tak ada yang terkejut karna sudah biasanya kapal miring ke arah kanan. Tapi
begitu kapal mulai miring tajam hingga 45 derajat, bunyi bell darurat membuat
kami berhamburan.
Ruang pengepakan tergenang air dan kami sangat kesulitan
berjalan karna lantainya sangat miring. Jika tidak berpegangan, maka kami akan jatuh ke sisi lain dan bisa-bisa
tercebur ke laut. Untungnya Kapten kapal sangat sigap mengatasinya.
Seluruh ABK diminta berkumpul ke sisi kiri untuk mengimbangi kapal, kemudian Kapten memerintahkan kami untuk mengisi penampungan
air di sisi kiri dengan air
laut dengan menggunakan selang besar sehingga akhirnya kemiringan kapal kembali stabil.
Jika saja Kapten tidak sigap maka kemungkinan kami selamat adalah
0%. Itu tidak bisa dikata berlebihan mengingat kondisi kami yang sendirian di
tengah samudra, tanpa sinyal, tanpa adanya kapal lain yang melintas, benar-benar seperti di pemakaman.
Tapi kejadian semacam itu bagi Kapten kapal bukanlah sesuatu yang luar biasa,
meski bagi kami kejadian itu cukup mengerikan.
Setelah 3 minggu berlalu, sampailah kami ke Cape Town. Kapal
perlu bersandar dulu ke Cape Town untuk mengisi bahan bakar, membeli perbekalan
dan mengisi tangki air tawar. Aku masih ingat betul betapa takjubnya diriku
melihat Cape Town. Melihat daratan setelah 3 Minggu hanya melihat birunya laut
dan birunya langit tentulah mengagumkan. Aku bisa melihat gunung tandus yang
menjulang, sementara di kaki gunung perkotaan terhampar.
Kebetulan kala itu aku sedang dapat jatah jaga ruang kemudi,
sehingga aku bisa meminjam teropong untuk melihat lebih dekat kesibukan di Cape
Town. Aku bisa melihat kapal-kapal Tanker sedang menurunkan muatannya. Aku bisa
melihat jalan-jalan di sepanjang Cape Town. Melihat gunung tandus dengan
batu-batu bertebaran. Melihat pabrik-pabrik, apartemen, mall dan stadion di sepanjang Cape Town. Selain itu
aku bisa melihat ratusan jenis kapal dengan segala kesibukannya di pelabuhan
Cape Town. Suasana yang hampir mirip seperti di Singapore, hanya saja lebih
ramai.
Untuk memasuki perairan Cape Town, kami harus mengikuti
kapal penjaga pantai. Bendera Cape Town pun dikibarkan di tiang kapal. Udara
Cape Town begitu dingin seperti udara pegunungan. Aku sempat takjub melihat
seekor Ikan Paus menyembul di sebelah kapal, selain itu beberapa kali nampak
Anjing Laut bermunculan.
Setelah
semua perbekalan kapal siap, kamipun meluncur ke Laut Argentine. Butuh waktu
sebulan dari Cape Town untuk sampai di Laut Argentine. Lautan tetaplah sama,
dimanapun berada. Biru dan membosankan. Jikapun ada pemandangan yang membuat
kami terkesan, itu bukan karna lautnya tapi karna penghuni lautnya. Jika di
perairan Asia, kami terbiasa melihat ikan-ikan bersayap yang beterbangan
seperti burung, yang biasa kami sebut Ikan Indosiar. Maka di perairan Afrika
dan Argentine ikan Indosiar sudah tidak lagi kami temui. Yang paling sering
kami temui adalah Lumba-lumba liar yang terlihat mengiringi kapal kami seolah
berlomba mencapai garis finish.
Tentu saja
di perairan Asia kami sudah biasa melihat Lumba-lumba, tapi di perairan
Argentine jumlahnya semakin banyak. Selain itu, beberapa kali aku melihat ikan
hiu yang cukup besar meski tidak sering. Dan yang paling sering terlihat adalah
sekumpulan camar yang beterbangan dan berenang seperti bebek. Kadang, kami
mengisi waktu luang dengan memancing Camar. Camar adalah jenis burung yang
sangat mudah dipancing. Kita hanya perlu menggunakan daging atau sampah sayuran
sebagai umpan maka mereka akan langsung berebut.
Akhirnya
kamipun sampai di wilayah perburuan Cumi di Argentine. Jika biasanya kami
terapung sendirian di tengah Samudra, di laut Argentine kami mempunyai banyak
teman. Ratusan kapal dari berbagai Negara berkumpul di laut Argentine dengan
tujuan yang sama, berburu Cumi. Lautan Argentine memiliki gelombang yang
tenang, meski tidak setenang perairan Asia. Ketika kami keluar ruangan, kami
akan disambut udara yang begitu dingin.
Air lautnya
sedingin es, sehingga jika kita terlalu lama kontak dengan air tanpa memakai
sarung tangan maka kulit kita akan menggembung dan bernanah. Aku belum pernah
tahu jenis penyakit tersebut di Indonesia, tapi di situ kami menamainya
“tongsang” yang diambil dari bahasa China.
Kurasa
semua orang disitu pernah terkena tongsang, karna kami semua mau tak mau harus
kontak dengan air ketika terlalu lama mengepak Cumi. Bagian tubuh yang terkena
tongsang terasa perih dan panas. Tapi tongsang tidak bertahan lama selama
ditangani dengan tepat. Secara reflek mungkin kita akan mencari air panas untuk
menetralkannya, tapi menggunakan air panas sebenarnya justru akan memperparah.
Ketika
terkena tongsang, solusinya adalah merendam bagian tubuh kita ke air dengan
suhu stabil, dan mendapatkan air dengan suhu stabil tidak sulit. Kami memiliki
pemanas air untuk mandi, kami bisa dengan mudah mendapatkan air dengan suhu
stabil disitu. Air laut yang dingin jika dihangatkan akan menjadi air dengan
suhu stabil. Tidak panas juga tidak dingin. Kalo di Indonesia, semua air
memiliki suhu yang stabil.
Selain
tongsang ada lagi jenis penyakit lain yang tidak terhindarkan untuk kami alami.
Tapi yang ini tidak menyakitkan. Mungkin lebih tepat disebut sebagai kerusakan
kulit. Itu terjadi akibat radiasi dari pancaran lampu yang khusus untuk
memancing Cumi. Kulit wajah kami akan terkelupas seperti ular, dan tampak jelek
sekali. Tapi lama kelamaan kulit baru juga akan menutupi. Selain merusak kulit pancaran lampu cumi dilarang untuk dilihat secara langsung karna terlalu kuatnya radiasi bagi mata. Meski begitu tetap saja banyak yang jadi korban karna tak sengaja menatapnya. Akibatnya mata-pun memerah dan seharian mengeluarkan airmata, tentunya hal itu amat sangat mengganggu.
Iklim di
laut Argentine tentulah berbeda dengan Asia. Disini, hujan es sering terjadi.
Selain itu siang hari disini lebih panjang. Di Argentine, matahari terbit pukul
3.30 AM dan tenggelam pukul 09.00 PM. Tidak terbayang jika harus menjalankan
puasa disini. Tapi tentu saja Tuhan Mahaadil, udara di sini begitu dingin
sehingga kami jarang mengalami kehausan.
Setelah 2
bulan kami berburu di lautan Argentine, kamipun pindah ke Folkland, menuju
tangkapan yang lebih besar dan lebih banyak. Perjalanan dari Argentine ke
Folkland membutuhkan waktu seminggu. Iklim di Folkland juga berbeda dengan
Argentine. Jika di Argentine kadang kami mengalami hujan es, tapi hujan tersebut
masihlah hujan air. Tapi di Folkland kami pernah mengalami hujan es yang
benar-benar hujan es.
Ribuan
butir es jatuh dari langit seperti kerikil dan suaranya bergemeletak ketika
menimpa lantai. Tapi butiran es yang jatuh sangat kecil, diameternya mungkin
sekitar 1-2 cm. Berbeda
dengan Argentine, di Folkland siangnya lebih sedikit dari malamnya. Di
Folkland, matahari terbit pukul 8.30 AM dan tenggelam pukul 03.00 PM. Karna
Cumi adalah binatang malam, sementara di Folkland setiap harinya lebih di dominasi
malam hari, tentulah tangkapan Cumi jauuhh lebih banyak.
Di Folkland, kapal pemancing Cumi tidak sebanyak di
Argentine. Ketika berburu Cumi, paling hanya nampak 1-2 kapal lain, berbeda
dengan di Argentine yang ketika malam menjelang seperti pasar malam karna
ramainya kapal pemancing Cumi yang ada. Suhu udara di Laut Folkland sendiri
jauh lebih dingin daripada Laut Argentine. Kadang kami jumpai pula gelombang
laut yang besar. Seringkali parasut penyeimbang kapal rusak karna besarnya
gelombang laut. Pernah pula ketika sedang memancing, tiba-tiba kapal dihantam
ombak, kala itu seorang ABK dari Phillippines sampai terpental dan mengalami
cedera ringan. Untunglah kala itu kebanyakan ABK berada di ruang pengepakan
sehingga tidak ikut menjadi korban.
Jika di Argentine, kadang kami dibuat heboh ketika melihat
Pinguin berenang di kejauhan. Maka di Laut Folkland kami tidak lagi heboh jika
hanya melihat Pinguin. Pinguin sangat sering dijumpai dan jumlahnya begitu
banyak. Tak terhitung sudah berapa kali Pinguin terjerat pancing. Jika biasanya
kami hanya melihat dari kejauhan, kali ini kami bisa menyentuhnya dan
bermain-main dengannya. Setelah kami puas berfoto dan bermain-main dengan
Pinguin, maka Pinguin itu segera kami lepaskan karna Pinguin merupakan binatang
yang dilindungi.
Di perairan Folkland kadang banyak sekali dijumpai anakan
Lobster yang berada di permukaan laut dan kadang terjerat pancing. Namun,
selain jenis binatang tersebut. Tidak ada lagi binatang yang terjerat pancing
tanpa sengaja. Kadangkala memang, ada Hiu, Lumba-lumba, Anjing Laut dan Singa
Laut yang terjerat pancing namun karna terlalu berat pancingnya putus.
Ketika perbekalan kebutuhan hidup mulai habis, Kapten akan
menghubungi kapal lain dan melakukan barter. Dari air tawar, solar, oli mesin,
perlengkapan memancing, makanan, dsb bisa digunakan untuk barter dengan kapal
lain. Memang proses serah terima barang sangat merepotkan, tapi kehabisan
perbekalan bukanlah masalah selama ada kapal lain yang bersedia melakukan
transaksi.
Setelah 3 bulan berada di Folkland, perburuan Cumi pun usai.
Kapal harus kembali ke Taiwan. Karna kami berjalan ke timur, maka setiap sekitar
3 hari sekali jam kapal dimajukan 1 jam mengikuti zona waktu. Perjalanan pulang
tidak terlalu mulus. Berkali-kali kapal diterjang amukan badai sehingga
benda-benda didalam kapal berjatuhan. Suatu ketika gelombang laut sedang
besar-besarnya. Air menerjang anjungan kapal hingga lantai kayu di ruang
pengepakan tercerai berai. Selain itu, hantaman ombak mengakibatnya rusaknya
sebagian mesin kapal yang mengakibatkan kapal berjalan lambat dan sering mogok.
Akhirnya kami sampai di Cape Town, kali ini kami di izinkan
untuk jalan-jalan di Cape Town. Ini adalah pertama kalinya kami menginjakkan
kaki di daratan setelah 6 bulan kami terombang-ambing di laut. Pada mulanya
terasa sedikit aneh begitu menyadari lantai yang kami pijak tidak
bergoyang-goyang seperti di dalam kapal, tapi beberapa menit kemudian aku sudah
terbiasa. Di Cape Town kami bisa menghubungi keluarga setelah 6 bulan kami
benar-benar kehilangan kontak. Kami memanfaatkan kesempatan ini untuk
berbelanja.
Esok harinya kami harus mengucapkan selamat tinggal pada
Cape Town. Kami telah puas belanja, perbekalan Kapal pun telah kembali di isi
ulang. Namun, meskipun mesin kapal sudah diperbaiki ternyata masih ada yang kurang
sehingga kapal masih berjalan lambat meski lebih cepat dari sebelumnya. Beberapa
hari kemudian kami kembali melihat daratan, ternyata Pulau Mauritius. Kapten
menghentikan kapal di perbatasan perairan Mauritius, ternyata Kapten sedang
menunggu Mesin tambahan.
Di perairan Mauritius banyak kapal kecil menawarkan
dagangan. Ada yang menawarkan pulsa elektronik, ada yang menawarkan Wisky. Kali
ini transaksi tidak menggunakan sistem barter, tapi jual beli secara Cash
menggunakan mata uang dolar atau Rupee. Setelah mesin baru dipasang, kapalpun
melanjutkan perjalanan. Kami telah memasuki wilayah Asia.
Pembagian waktu siang dan malam mulai adil. Matahari terbit
pukul 06.00 AM dan tenggelam pukul 06.00 PM. Udarapun mulai terasa panas. Kami
bahkan telah berani mandi tanpa menggunakan pemanas air. Memasuki wilayah
Nusantara, matahari begitu menyengat. Kami begitu kecewa melihat perubahan
warna kulit kami dari yang sebelumnya putih karna terus berada di udara dingin
menjadi gosong dan kembali seperti semula, berwarna kecoklatan.
Kapal mulai mendekati wilayah Aceh, kami bisa melihat perahu-perahu
kecil berbendera Indonesia sedang sibuk mencari ikan. Melihat kapal-kapal
Indonesia yang kecil, ABK dari China menertawakan kami (dalam arti gurauan,
bukan merendahkan). Tapi begitu memasuki wilayah Batam, mereka terperangah
melihat Indonesia yang tampak megah. Perairan Indonesia adalah perairan yang
paling tenang dan paling nyaman. Kami bisa beraktifitas dengan tenang tanpa
harus doyong kesana kemari karna hantaman ombak.
Memasuki perairan Singapore, Kapal kami mengisi solar dari
kapal Tanker Singapore. Ketika pengisian solar berlangsung, kami sempat
berbincang akrab dengan Pekerja kapal Tanker yang kebetulan berasal dari
Malaysia. Memiliki bahasa yang hampir sama, budaya yang seragam dan kepercayaan
agama yang sama membuat kami mudah bergaul akrab dengan mereka.
Kapal kami melanjutkan perjalanannya, melewati perairan
Vietnam dengan kapal-kapal kayunya. Melewati perairan Phillippines dimana
beberapa kali kami melihat tornado yang begitu besar di kejauhan. Dan akhirnya
memasuki perairan Taiwan, tempat tujuan terakhir kami. Akhirnya aku dan
beberapa temanku mengucapkan sayonara pada dunia laut dan kembali ke Negri
Indonesia tercinta.
Purworejo sebenarnya
bukan Kota yang asing ditelingaku, sedari kecil aku sudah terbiasa mendengar nama
Purworejo. Tentu saja, karna Purworejo adalah tetangga dekat Magelang, bus-bus
kecil bertuliskan Magelang–Purworejo banyak berseliweran di Magelang.
Namun,
meski aku sudah familiar dengan nama Purworejo, kemarin adalah pertama kalinya aku
mengunjungi Purworejo. Biasanya sih hanya sekedar lewat saja ketika hendak pergi
keluar kota. Misalnya saja aku ingin pergi ke luar Kota menggunakan
kereta api aku akan mampir ke Purworejo dulu karna Magelang belum memiliki
Stasiun Kereta Api.
Minggu kemarin,
aku bersama teman-teman Organisasi bersilaturahim kerumah salah satu anggota
yang kebetulan bertempat tinggal di Purworejo sekaligus mengadakan tour Wisata
di Kota tersebut. Ini agenda tahunan di Organisasi, selain acara rutin tiap minggunya
yang biasa diisi dengan diskusi.
Tempat tujuan
pertama kami adalah Curug Muncar. Curug Muncar terletak di Kecamatan Bruno,
Purworejo. Kami mengira tersesat karna sempat masuk ke daerah Wonosobo. Setelah
bertanya pada warga sekitar ternyata kami tidak tersesat. Memang jalurnya demikian,
kami harus melintasi Wonosobo terlebih dulu untuk kemudian kembali ke Purworejo.
Dibutuhkan waktu
2 Jam dari Magelang sampai di area Curug Muncar. Mobilpun di parkir di sebuah lapangan,
kalo memakai motor bisa parkir lebih ke atas lagi.Setelah itu kami masih harus mendaki
sekitar 2 Km untuk mencapai Curug. Tidak sulit mencari letak dimana Curug berada,
kami hanya perlu mengikuti aliran air.
Setelah lebih
1 Km kami berhenti disebuah tebing batu untuk istirahat. Sayangnya tebing batu tersebut
sudah dicorat-coret. Setelah itu kami melanjutkan pendakian dan sampailah ke Curug
Muncar.
Curug Muncar
adalah sebuah air terjun dengan ketinggian sekitar 30-40 meter.Letaknya di
ketinggian. Batu-batu besar berserakan disekitar Curug. Untuk mencapai air
terjun tidak bisa dibilang mudah. Selain itu, Karna curug tersebut berada di
ketinggian, maka airnya akan menciprat kemana-mana, jadi area Curug Muncar bisa
dibilang sebagai area basah, sehingga kita harus memiliki baju ganti jika mengunjungi
tempat itu.
Meski memiliki
pemandangan yang indah, tapi mengabadikan Curug Muncar bukan hal mudah. Seperti
yang sudah kubilang sebelumnya, Curug Muncar
adalah area basah. Membawa kamera di dekat air terjun menyebabkan kamera akan basah kuyup.
Meskipun kamera tersebut anti air, mengabadikannya tidak mudah karna lensa kamera
akan tergenang air sehingga gambar yang diambil akan buram. Jika ingin mengambil
gambar memang harus menjauh dari area basah, itu berarti memang sulit untuk mendapatkan
view yang bagus.
Aku tidak
bisa berlama-lama berada di dekat Curug karna bajuku sudah basah kuyup dan aku
mulai menggigil kedinginan. Akupun turun ke area kering dan ganti baju. Setelah
puas berfoto-foto kamipun melanjutkan perjalanan ke rumah salah satu anggota.
Di rumahnya kami istirahat sejenak dan beramah-tamah dengan keluarganya. Keluarga
temanku tersebut sangat ramah, kami disuguhi beraneka ragam hidangan. Ada satu jenis
jajanan yang sangat unik, namanya Clorot. Clorot terbuat dari ketan dan gula
Jawa, mungkin masih ada tambahan lain. Yang membuatnya unik adalah bungkusnya.
Clorot dibungkus dengan janur yang rangkai sedemikian rupa. Pada mulanya aku
kerepotan membuka bungkusnya. Ternyata bungkusnya tidak perlu dilepas. Kami
hanya perlu mendorongnya dari belakang.
Usai
menunaikan Sholat Dzuhur Ashar yang di jamak dan di qashar, kamipun berpamitan
dan melanjutkan perjalanan ke Pantai Jatimalang. Perjalanan ke Jatimalang
melewati jalan besar dan lapang sehingga lebih cepat. Tidak sampai 1 jam kami
telah sampai ke Pantai.
Kami
disambut udara pantai yang panas. Ketika memasuki Jatimalang kami melewati
loket pembayaran yang tidak dijaga. Salah seorang teman menjelaskan bahwa saat itu kita bisa
masuk Pantai dengan gratis karna masyarakat sekitar menghendakinya demikian.
Sebelumnya
loket pembayaran akan masuk ke kas Kota, tapi berhubung Pemerintah Purworejo
menghapus aliran dana ke Jatimalang untuk tahun itu maka warga sekitar protes
dengan cara menggratiskan biaya masuk ke Pantai Jatimalang. Karna itulah Pantai
Jatimalang jadi lebih ramai dari hari biasanya dan itu menjadi keuntungan
tersendiri bagi para pedagang.
Di
sepanjang pantai kita bisa dengan mudah menemukan lapak dagangan. Selain itu
ada beberapa Kolam renang kecil buat anak-anak dan tambak ikan. Nampak pula beberapa
kapal Nelayan yang sedang ditambatkan.
Pantai
Jatimalang memiliki ombak yang tidak begitu besar tapi juga tidak begitu kecil.
Pantai tersebut juga cukup bersih dari sampah sehingga cukup mengasyikkan jika
ingin mencebur ke dalamnya. Setelah menghabiskan waktu sekitar 1 jam, kamipun
bersantai sejenak menikmati Nasi Pecel. Kemudian kamipun melanjutkan perjalanan
pulang ke Kota Magelang.
Pernah dengar Kota bernama Magelang? Sebenarnya aku merasa
aneh jika banyak yang belum mengenal Kota yang satu ini mengingat keunikan Kota
yang satu ini, tapi kenyataannya demikian. Ternyata Magelang belum seterkenal dugaanku,
beberapa kali aku bertanya pada teman-teman FB yang berasal dari luar kota tapi
masih banyak yang belum mengenal Kota Magelang. Anehnya, ada temanku yang
mengaku sering ke Candi Borobudur ternyata tidak mengenal Kota Magelang. Aduh
aduh neeng, Candi Borobudur itu letaknya di Magelang.
Sebagai sebuah Kota, Magelang memang bisa dibilang sangat
kecil. Untuk melintasi dari ujung ke ujung Kota Magelang menggunakan sepeda
motor tidak dibutuhkan waktu lebih dari 20 menit dengan catatan jalanan sepi.
Selain itu, jalanan di Kota Magelang cenderung datar sehingga jika hendak
berkendara dengan sepeda onthel tetap terasa nyaman. Tapi meski begitu,
pengendara sepeda onthel di Magelang relatif sangat sedikit, mungkin karna gaya
hidup yang kekotaan sehingga merasa gengsi jika harus berkendara dengan sepeda
onthel.
Berbeda dengan pemandangan di Kota lain seperti Sragen,
Klaten, Pemalang, dsb yang tiap pagi banyak dijumpai anak Sekolah berangkat ke
Sekolah bareng dengan mengayuh sepeda, di Magelang tidak dijumpai hal semacam
itu. Di Magelang, anak Sekolah lebih banyak mengendarai Sepeda Motor. Entah
mengendarai sendiri atau dibonceng. Daripada berangkat ke Sekolah dengan
mengayuh Sepeda, mereka lebih memilih naik Angkutan Kota.
Meski tergolong kecil, Kota Magelang bisa dikatakan sebagai
Kota Semi Metropolitan. Hal itu karna sarana dan prasarana Kota Magelang begitu
lengkap. Cukup banyak Mall dibangun. Infrastruktur yang selalu diperbarui.
Sekolah Negri yang cukup banyak. Terdapat pula beberapa Universitas didalamnya. Fasilitas yang begitu lengkap. Bahkan di Kota
Magelang sudah memiliki Stadion Sepak Bola. Belum lagi rencana pengaktifan
kembali jalur kereta api yang menghubungkan Yogyakarta dan Semarang.
Magelang terdiri dari Kabupaten dan Kota. Kabupaten
Magelang sendiri jika dibandingkan dengan Kotanya terbilang amat sangat luas.
Saya pribadi belum mengenal baik Kabupaten Magelang yang memiliki Slogan
Magelang Gemilang, tapi tidak jadi soal karna pada tulisan kali ini saya lebih
memfokuskan pada Magelang Kota. Oh iya, sebagai catatan saja, Candi Borobudur
yang dijuluki sebagai Candi terbesar di seluruh dunia dan termasuk dalam salah
satu Keajaiban Dunia terletak di Kabupaten Magelang, tepatnya di Kecamatan Borobudur.
Jika berkendara dengan sepeda motor dari pusat Kota Magelang mungkin dibutuhkan
waktu sekitar 30 menit.
Baiklah, kembali ke topik utama, tentang Kota Magelang. Secara
geografis, Magelang mungkin bisa dianggap sebagai benteng yang kokoh, andai
saja belum ada pesawat ataupun nuklir dalam peperangan. Bagaimana tidak?
Magelang dikelilingi oleh Gunung, yakni Gunung Sumbing di sebelah barat, Gunung
Merbabu dan Gunung Merapi disebelah Timur dan Gunung Sindoro sebelah utara,
belum lagi perbukitan lain yang aku tidak kenal namanya. Selain itu di sebelah baratnya
melintas sungai Progo dan disebelah timurnya dilintasi sungai Elo. Bisa
dibayangkan kan betapa kokohnya jika Magelang dijadikan benteng pertahanan?
Magelang adalah Kota yang sejuk, pepohonan rindang masih
banyak dijumpai. Arus lalu lintas di Kota Magelang sendiri terbilang lancar.
Pemerintah menyediakan jalan lintasan untuk sepeda ontel dan becak, meski masih
sering pengendara motor menyalahgunakan lintasan tersebut. Selain itu Magelang
dikenal bebas banjir karna terletak di dataran tinggi. Jikapun air hujan
melimpah tentulah akan langsung mengalir ke Sungai Progo atau Sungai Elo.
Terdapat sebuah bangunan zaman Belanda yang menjadi ciri
khas Kota Magelang dan bahkan dijadikan maskot Kota Magelang. Bangunan tersebut
lebih sering dikenal dengan sebutan Kompor Air. Karna berbentuk seperti Kompor
dan digunakan untuk menampung air yang
kemudian dialirkan ke penjuru Kota Magelang. Kompor Air itu terletak tepat di
Alun-alun Kota Magelang.
Selain Kompor Air ada bangunan lain yang dijadikan maskot
Kota Magelang, bangunan itu adalah sebuah patung raksasa replika Pangeran Diponegoro
yang menunggang Kuda. Patung tersebut juga terletak di Alun-alun Kota Magelang.
Jika ada bangunan lain yang bisa dijadikan simbol Kota Magelang, tentu saja itu
adalah Candi Borobudur.
Tepat di pusat Kota Magelang terdapat sebuah Bukit yang
bernama Bukit Tidar. Konon kabarnya, Bukit Tidar terletak di pusat Pulau Jawa.
Dan mitosnya, Bukit Tidar merupakan “pakuneng Jowo” (pakunya Pulau Jawa, pen). Yang
mana mitosnya, dulu Pulau Jawa selalu “gonjang-ganjing” kesana kemari, sebab
itulah dipatok dengan Bukit Tidar sehingga Pulau Jawa tetap ditempatnya. Di
bawah kaki bukit Tidar terdapat markas AKMIL, selain itu disisi Utara sebelah
Baratnya digunakan sebagai Lapangan Golf.
Tempat Wisata di Magelang cukup banyak, terutama di daerah
Kabupaten. Seperti Curug Slawe, Kedung Kayang, Ketep, Candi Borobudur, Pisangan
dan masih banyak lagi. Sementara di Kota Magelang sendiri terdapat Taman Kyai
Langgeng, yang mana didalamnya terdapat beragam koleksi bunga dan satwa, juga
wahana bermain. Selain itu mungkin lebih pada Museum, dari Museum Diponegoro,
Museum Soedirman, dsb.
Magelang memiliki makanan khas bernama Gethuk Trio dan Kupat Tahu. Keduanya asli dari Kota Magelang. Diberi nama Gethuk Trio karna makanan khas yang terbuat dari ketela itu memiliki tiga warna yaitu putih, pink dan coklat. Sementara pemberian nama Kupat Tahu sudah bisa ditebak, karna menggunakan Ketupat dan Tahu didalam pengolahannya.
Slogan Kota Magelang beberapa kali mengalami perubahan. Pada
awalnya, adalah Magelang Kota Harapan yang
merupakan kepanjangan dari Hidup Asri Rapi Aman Nyaman. Kemudian diganti menjadi Magelang Kota Jasa, saya masih belum mengerti maksud
penamaan tersebut. Dan untuk saat Ini
Walikota Magelang mengganti slogan Kota menjadi Magelang Kota Sejuta Bunga.
Kenapa diberinama Magelang Kota Sejuta Bunga? Silakan
bertanya pada rumput yang bergoyang, hehehe... Sebenarnya banyak masyarakat
Magelang yang penasaran tentang kenapa Pak Sigit (Walikota Magelang) mengganti
slogan Kota Magelang dari Magelang Kota Harapan menjadi Magelang Kota Sejuta
Bunga. Mengingat di Kota Magelang sendiri tidak berbeda dengan umumnya Kota
lain dalam hal penanaman bunga. Tidak banyak bunga disepanjang jalan Kota Magelang,
juga tidak digalakkan penanaman bunga kepada masyarakat.
Sebagai gantinya, Walikota Magelang menempatkan beberapa
lampu replika berbentuk bunga di beberapa titik, hal itulah satu-satunya yang
membuat Kota Magelang memiliki nilai lebih dalam hal per-bunga-an di banding
Kota lain. Namun tetap saja mengecewakan karna bukan malah menanami bunga-bunga
asli di sepanjang jalan Kota Magelang tapi justru menanami dengan bunga palsu.
Jadi jangan heran jika beberapa warga Magelang dengan sinis memberi slogan
Magelang Kota Sejuta Lampu Bunga.