Showing posts with label Travelling. Show all posts
Showing posts with label Travelling. Show all posts

Sunday, 22 March 2015

Wisata Magelang : Ketep dan Kedung Kayang



Kota Magelang memang tidak pernah membosankan untuk di ceritakan. Setelah sebelumnya aku menuliskan Artikel berjudul Magelang, Kota Sejuta Bunga? Sekarang aku kembali menuliskan satu sisi lagi tentang Magelang dengan tema Wisata. Sebenarnya ada cukup banyak tempat Wisata di Magelang, terlebih daerah Kabupaten, tapi kali ini aku akan mengambil setting Ketep Pas dan Kedung Kayang.

Ketep dan Kedung Kayang sebenarnya adalah tempat Wisata yang berbeda. Tapi berhubung letak kedua tempat tersebut berdekatan, anggaplah Ketep dan Kedung Kayang sebagai satu paket. Soalnya, sayang sekali jika kita hanya mengunjungi Ketep tanpa bersinggah ke Kedung Kayang.

Aku, mengunjungi Ketep bersama beberapa temanku, termasuk diantaranya seorang Blogger asal Magelang dan Blogger asal Wonosobo. Dulu kami kursus Komputer di tempat yang sama, jadi acara tersebut bisa juga disebut sebagai reuni. Kami memulai keberangkatan dari Mertoyudan dengan mengendarai sepeda motor.

Jalur yang paling dekat menuju Ketep adalah melalui pertigaan Blabak. Jadi dari pertigaan Blabak, kita belok ke kiri memasuki Kecamatan Sawangan dan berjalan terus ke arah Merapi. Sebenarnya Ketep tidak terletak di kaki Gunung Merapi. Tapi dari Ketep kita bisa melihat Gunung Merapi secara utuh. Ketep sendiri sebenarnya tidaklah luas, hanya beberapa Hektar. Jadi biasanya tidak akan lama buat kita berkunjung ke Ketep. Sebelum memasuki Ketep, kita perlu merogoh Kocek Rp 17.000 untuk membeli tiket masuknya.







Sajian utama di Ketep adalah pemandangan Gunung. Salah satu lokasi di Ketep dinamakan pelataran Panca Arga. Kenapa diberinama demikian? Sebab, pelataran Panca Arga berada di area ketinggian yang memungkinkan kita untuk melihat Lima (Panca) buah Gunung yang mengelilingi Magelang. Kelima Gunung tersebut adalah Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Slamet, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Di Panca Arga dan Gardu Pandang terdapat masing-masing 1 buah teropong yang memungkinkan kita untuk melihat pemandangan Pegunungan dengan lebih detail. Oh iya, selain itu sebenarnya kita juga bisa menyewa teropong portabel dengan merogoh kocek Rp 5000. Waktu itu aku sempat menyewa teropong portable tersebut dan hasilnya... mengecewakan.



Sangat disayangkan karna teropong yang disewakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, pada akhirnya aku hanya mengalungkannya di leherku dan tidak menggunakannya. Menggunakannya hanya membuatku senewen, bagaimana tidak? Teropong tersebut hanya berfungsi di satu sisi saja. Sebagian lensanya seperti sengaja ditutupi sebuah benda. Sementara sisi lensa yang berfungsi tidak menampilkan view seperti yang diharapkan. Jadi memang sebaiknya menggunakan teropong yang sudah disediakan di area Ketep atau melihat pemandangan dengan mata telanjang.

Selain pelataran Panca Arga, di Ketep juga terdapat sebuah gedung Teater bernama Ketep Volcano Theatre. Teater tersebut menyajikan aktifitas Gunung Merapi dan letusannya dari masa ke masa dalam bentuk film. Teater tersebut hanya dibuka di jam-jam tertentu saja. Sayangnya, aku tidak sempat memasukinya karna waktu kami terbatas. Kami masih harus mengunjungi tempat Wisata lain selain Ketep sehingga harus mengagendakan waktu seefektif mungkin.



Setelah melewati gedung Teater, aku dan teman-teman memasuki Ketep Volcano Centre. Ketep Volcano Centre mengajak kita mengenal lebih dekat Gunung Merapi berikut aktifitas dan sejarahnya dalam bentuk foto dan gambar. Terdapat sebuah replika Gunung Merapi setinggi sekitar 2 meter yang terbuat dari semen. Selain itu terdapat poster-poster dinding yang menjelaskan secara detail tentang Gunung Merapi.



Kita juga diajak menilik sejarah Merapi melalui foto-foto Merapi dari masa ke masa. Dari foto hitam putih yang diambil di era Soekarno hingga foto berwarna yang menampilkan area-area letusan yang hangus. Di Ketep Volcano Centre juga terdapat sebuah gambar di sebuah meja yang jika dilihat dengan sebuah alat yang terdapat disitu akan nampak seperti gambar 3 Dimensi.

Puas menikmati perjalanan Wisata di Ketep, kamipun melanjutkan perjalanan ke Kedung Kayang. Kedung Kayang adalah sebuah Wisata Alam berupa Air Terjun. Tempatnya tidak begitu jauh dari Ketep, hanya butuh waktu sekitar 5-10 menit untuk sampai di Lokasi. Dari Ketep kita jalan ke arah menurun sampai pertigaan, lalu belok kiri dan mengikuti jalan hingga sampai di sebuah Gapura bertuliskan Kedung Kayang.

Tiket masuk ke Kedung Kayang relatif murah, hanya Rp 2.500. Setelah masuk ke dalam akan ditemui pertigaan, kita bisa memilih kiri jika ingin berada di atas Air Terjun, atau ke kanan jika ingin ke bawah Air Terjun. Tentu saja lebih menarik buat kita berada di bawah karna kita akan bisa melihat Air Terjun secara keseluruhan.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke arah Air Terjun, ada baiknya kita berbelanja jajanan dan minuman terlebih dahulu di Warung yang tersedia, tentu saja akan sedikit merepotkan jika kita kehausan setelah sampai di Air Terjun, mengingat jarak antara Air Terjun dan warung jajanan cukup jauh.



Jalan dari tempat parkir hingga Air Terjun mudah dilintasi karna sudah teraspal dengan baik menggunakan semen, selain itu di pinggirannya terdapat pagar pegangan sebagai pengaman. Meski begitu, jalanan tersebut begitu menurun sehingga berbahaya dilintasi dengan sepeda motor. Jarak untuk sampai ke Lokasi mungkin sekitar setengah kilometer atau lebih. Jujur saja sedikit melelahkan untuk sampai di lokasi karna begitu menurunnya jalan yang dilewati, apalagi untuk kembali dari Air Terjun... sangat menanjak.





Pemandangan Air Terjun cukup indah dan memuaskan sehingga kelelahan yang didapat untuk sampai ke Lokasi terbayarkan sudah. Batu-batu besar bertebaran disana-sini, sangat bagus untuk dijadikan background foto kita. Meski saat itu belum musim hujan, Air Terjun tersebut cukup deras dan tidak mengecewakan. Cukup banyak pengunjung yang ada di lokasi, tapi selalu banyak tempat bagus untuk mengabadikan gambar.


Sebagai pecinta lingkungan, kami berusaha memegang teguh slogan, “tidak mengambil apapun dari alam selain gambar, dan tidak meninggalkan apapun dari alam selain jejak.” Puas kami menikmati keindahan alam di Kedung Kayang, kamipun melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tuntas sudah acara reuniku bersama teman-temanku dan kamipun pulang ke Magelang Kota.  

Friday, 6 March 2015

Perjalanan di Samudra Atlantik



Perjalanan di tengah Samudra mungkin bisa dibilang sebagai perjalanan yang membosankan. Tak peduli di Negri mana kita berada, lautan tetaplah sama. Yang membedakan hanyalah warna laut, iklim, waktu dan besarnya gelombang. Tapi tidak bisa dibilang sebagai perjalanan yang tidak mengesankan.

Di akhir tahun 2013 lalu, aku mendapatkan kesempatan melakukan penjelajahan Samudra. Bukan dalam rangka liburan tapi lebih karna pekerjaan. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa pekerjaan yang paling menghasilkan adalah pekerjaan laut. Apalagi bagi mereka yang terkena himpitan hutang, laut seringkali dijadikan solusi.

Selama 8 bulan aku terombang-ambing di tengah Samudra Atlantik. Dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang pas-pasan dan modal yang tak seberapa maka sudah tentu bukan kapal sementereng Pesiar atau Fery yang menjadi tempatku bekerja, tapi pekerjaan yang lebih menuntut pada fisik. Ya, aku bekerja di kapal pemancing Cumi berbendera Taiwan.

Aku bersama teman-teman Indonesiaku memulai perjalanan dari Pelabuhan Singapore. Saat itulah kami mengucapkan selamat tinggal pada daratan. Kami menumpang sebuah Kapal kecil milik Singapore, melintasi ombak yang tenang dan ratusan kapal besar dan kecil disekitar kami. Banyak sekali jenis kapal yang menakjubkan. Sayang sekali, meskipun aku sempat mengabadikannya di Kamera Handphone, Handphone-ku sempat tercebur kegenangan air laut, tentu saja tidak ada tempat  service HP di dalam kapal.

Sepanjang perairan Singapore tidak pernah kosong dari beragam jenis Kapal, kemanapun kepala menoleh disana Nampak beragam jenis kapal dengan segala kesibukannya. Dari yang super besar, hingga yang kecil. Selain itu, sepanjang perairan Singapore banyak sekali pelampung-pelampung kecil bertebaran, aku akhirnya tahu bahwa dibawah pelampung itu terdapat semacam perangkat untuk menjebak ikan.

Di dalam perahu kami terdapat bergalon-galon air tawar.Tentu saja, air tawar sangat penting bagi pelaut. Tapi aku sempat berpikir, untuk apa membawa air sebanyak itu. Akhirnya aku tahu bahwa air tersebut digunakan sebagai alat pembayaran untuk membeli beragam keperluan.

Rata-rata pelaut memang lebih sering memakai sistem barter daripada jual beli menggunakan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Seperti kejadian kala itu, kapal kami mendekati sebuah perahu  yang lebih kecil, kemudian terlibat tawar menawar untuk menukar galon air dengan Mie Instan dan rokok. Begitulah sistem barter berjalan.

Kapal yang kami tumpangi bukanlah kapal tempat kami bekerja, tapi hanya sebagai tumpangan saja. Setelah berjam-jam melintasi perairan Singapore sampailah kami di perbatasan perairan laut Singapore, disanalah kapal Cumi berbendera Taiwan tempat kami bekerja, sedang menunggu.

Setelah komunikasi radio kedua nakhoda kapal, kapal tumpangan kamipun merapat kepintu kapal Cumi. Kapal tersebut bernama Pei Yuh No. 6. Ketika pertama kali melihatnya kapal Pei Yuh terlihat besaaar sekali. Tapi setelah lama berada di Pei Yuh dan setelah melihat kapal kapal lain yang yang jaaauh lebih besar, ukuran Pei Yuh tampak biasa saja.





Satu demi satu ABK (Anak Buah Kapal) melompat masuk kedalam Pei Yuh. Lalu Pei Yuh melemparkan berbagai jenis makanan instant ke kapal yang mengantarkan kami sebagai upah, kemudian kami memulai perjalanan dengan Pei Yuh. Kami semua di kumpulkan dan didata. ABK di kapal Pei Yuh tidak hanya berasal dari Indonesia tapi juga dari Negara lain seperti  Vietnam, China dan Phillippines.

Wilayah perburuan kami ada di Laut Argentine dan Laut Folkland karna itu kapal kami terus melaju menuju tempat tenggelamnya matahari. Karna berjalan searah dengan matahari maka setiap sekitar 3 hari sekali jam kapal akan dikurangi satu jam karna perbedaan zona waktu. Semakin menjauh dari perairan nusantara, semakin bergejolak dan semakin gelap warna lautnya. Semakin jauh dari benua, semakin sepi pula. Hingga akhirnya Kapal Pei Yuh terombang-ambing seorang diri tanpa terlihat satupun kapal lain yang melintas.

Ketika mendekati perairan Madagascar, lautan mulai menunjukkan keganasannya. Ombak menggulung kesana kemari. Disatu sisi ombak setinggi puluhan meter, sedang disisi lain lautan tampak begitu curam seperti lembah. Air laut menghajar kapal dari segala sisi. Lumayan mengerikan juga ketika gelombang laut mengangkat kapal kami tinggi-tinggi untuk kemudian menghempaskan kami ke bawah, perut serasa berdesir, seperti jatuh dari ketinggian.

Kapal yang terhempas kebawah disambut deburan ombak yang membanjiri anjungan kapal. Tak seorangpun berani keluar dari ruangan karna terlalu berbahaya. Di dalam ruangan kami bergoncang ke kanan dan ke kiri. Berbagai macam benda berjatuhan, dari tempat sampah, mangkok, dan barang-barang lain berhamburan. Benar-benar bukan perjalanan yang nyaman.

Sampai akhirnya kami melewati perairan Madagascar, gelombang laut mulai lebih tenang. Pernah suatu ketika kapal begitu miring. Pada mulanya tak ada yang terkejut karna sudah biasanya kapal miring ke arah kanan. Tapi begitu kapal mulai miring tajam hingga 45 derajat, bunyi bell darurat membuat kami berhamburan.



Ruang pengepakan tergenang air dan kami sangat kesulitan berjalan karna lantainya sangat miring. Jika tidak berpegangan, maka kami akan jatuh ke sisi lain dan bisa-bisa tercebur ke laut. Untungnya Kapten kapal sangat sigap mengatasinya. Seluruh ABK diminta berkumpul ke sisi kiri untuk mengimbangi kapal, kemudian Kapten memerintahkan kami untuk mengisi penampungan air di sisi kiri dengan air laut dengan menggunakan selang besar sehingga akhirnya kemiringan kapal kembali stabil.

Jika saja Kapten tidak sigap maka kemungkinan kami selamat adalah 0%. Itu tidak bisa dikata berlebihan mengingat kondisi kami yang sendirian di tengah samudra, tanpa sinyal, tanpa adanya kapal lain yang melintas, benar-benar seperti di pemakaman. Tapi kejadian semacam itu bagi Kapten kapal bukanlah sesuatu yang luar biasa, meski bagi kami kejadian itu cukup mengerikan.

Setelah 3 minggu berlalu, sampailah kami ke Cape Town. Kapal perlu bersandar dulu ke Cape Town untuk mengisi bahan bakar, membeli perbekalan dan mengisi tangki air tawar. Aku masih ingat betul betapa takjubnya diriku melihat Cape Town. Melihat daratan setelah 3 Minggu hanya melihat birunya laut dan birunya langit tentulah mengagumkan. Aku bisa melihat gunung tandus yang menjulang, sementara di kaki gunung perkotaan terhampar.



Kebetulan kala itu aku sedang dapat jatah jaga ruang kemudi, sehingga aku bisa meminjam teropong untuk melihat lebih dekat kesibukan di Cape Town. Aku bisa melihat kapal-kapal Tanker sedang menurunkan muatannya. Aku bisa melihat jalan-jalan di sepanjang Cape Town. Melihat gunung tandus dengan batu-batu bertebaran. Melihat pabrik-pabrik, apartemen, mall dan stadion di sepanjang Cape Town. Selain itu aku bisa melihat ratusan jenis kapal dengan segala kesibukannya di pelabuhan Cape Town. Suasana yang hampir mirip seperti di Singapore, hanya saja lebih ramai.



Untuk memasuki perairan Cape Town, kami harus mengikuti kapal penjaga pantai. Bendera Cape Town pun dikibarkan di tiang kapal. Udara Cape Town begitu dingin seperti udara pegunungan. Aku sempat takjub melihat seekor Ikan Paus menyembul di sebelah kapal, selain itu beberapa kali nampak Anjing Laut bermunculan.

Setelah semua perbekalan kapal siap, kamipun meluncur ke Laut Argentine. Butuh waktu sebulan dari Cape Town untuk sampai di Laut Argentine. Lautan tetaplah sama, dimanapun berada. Biru dan membosankan. Jikapun ada pemandangan yang membuat kami terkesan, itu bukan karna lautnya tapi karna penghuni lautnya. Jika di perairan Asia, kami terbiasa melihat ikan-ikan bersayap yang beterbangan seperti burung, yang biasa kami sebut Ikan Indosiar. Maka di perairan Afrika dan Argentine ikan Indosiar sudah tidak lagi kami temui. Yang paling sering kami temui adalah Lumba-lumba liar yang terlihat mengiringi kapal kami seolah berlomba mencapai garis finish.

Tentu saja di perairan Asia kami sudah biasa melihat Lumba-lumba, tapi di perairan Argentine jumlahnya semakin banyak. Selain itu, beberapa kali aku melihat ikan hiu yang cukup besar meski tidak sering. Dan yang paling sering terlihat adalah sekumpulan camar yang beterbangan dan berenang seperti bebek. Kadang, kami mengisi waktu luang dengan memancing Camar. Camar adalah jenis burung yang sangat mudah dipancing. Kita hanya perlu menggunakan daging atau sampah sayuran sebagai umpan maka mereka akan langsung berebut.



Akhirnya kamipun sampai di wilayah perburuan Cumi di Argentine. Jika biasanya kami terapung sendirian di tengah Samudra, di laut Argentine kami mempunyai banyak teman. Ratusan kapal dari berbagai Negara berkumpul di laut Argentine dengan tujuan yang sama, berburu Cumi. Lautan Argentine memiliki gelombang yang tenang, meski tidak setenang perairan Asia. Ketika kami keluar ruangan, kami akan disambut udara yang begitu dingin.

Air lautnya sedingin es, sehingga jika kita terlalu lama kontak dengan air tanpa memakai sarung tangan maka kulit kita akan menggembung dan bernanah. Aku belum pernah tahu jenis penyakit tersebut di Indonesia, tapi di situ kami menamainya “tongsang” yang diambil dari bahasa China.

Kurasa semua orang disitu pernah terkena tongsang, karna kami semua mau tak mau harus kontak dengan air ketika terlalu lama mengepak Cumi. Bagian tubuh yang terkena tongsang terasa perih dan panas. Tapi tongsang tidak bertahan lama selama ditangani dengan tepat. Secara reflek mungkin kita akan mencari air panas untuk menetralkannya, tapi menggunakan air panas sebenarnya justru akan memperparah.

Ketika terkena tongsang, solusinya adalah merendam bagian tubuh kita ke air dengan suhu stabil, dan mendapatkan air dengan suhu stabil tidak sulit. Kami memiliki pemanas air untuk mandi, kami bisa dengan mudah mendapatkan air dengan suhu stabil disitu. Air laut yang dingin jika dihangatkan akan menjadi air dengan suhu stabil. Tidak panas juga tidak dingin. Kalo di Indonesia, semua air memiliki suhu yang stabil.

Selain tongsang ada lagi jenis penyakit lain yang tidak terhindarkan untuk kami alami. Tapi yang ini tidak menyakitkan. Mungkin lebih tepat disebut sebagai kerusakan kulit. Itu terjadi akibat radiasi dari pancaran lampu yang khusus untuk memancing Cumi. Kulit wajah kami akan terkelupas seperti ular, dan tampak jelek sekali. Tapi lama kelamaan kulit baru juga akan menutupi. Selain merusak kulit pancaran lampu cumi dilarang untuk dilihat secara langsung karna terlalu kuatnya radiasi bagi mata. Meski begitu tetap saja banyak yang jadi korban karna tak sengaja menatapnya. Akibatnya mata-pun memerah dan seharian mengeluarkan airmata, tentunya hal itu amat sangat mengganggu.




Iklim di laut Argentine tentulah berbeda dengan Asia. Disini, hujan es sering terjadi. Selain itu siang hari disini lebih panjang. Di Argentine, matahari terbit pukul 3.30 AM dan tenggelam pukul 09.00 PM. Tidak terbayang jika harus menjalankan puasa disini. Tapi tentu saja Tuhan Mahaadil, udara di sini begitu dingin sehingga kami jarang mengalami kehausan.

Setelah 2 bulan kami berburu di lautan Argentine, kamipun pindah ke Folkland, menuju tangkapan yang lebih besar dan lebih banyak. Perjalanan dari Argentine ke Folkland membutuhkan waktu seminggu. Iklim di Folkland juga berbeda dengan Argentine. Jika di Argentine kadang kami mengalami hujan es, tapi hujan tersebut masihlah hujan air. Tapi di Folkland kami pernah mengalami hujan es yang benar-benar hujan es.



Ribuan butir es jatuh dari langit seperti kerikil dan suaranya bergemeletak ketika menimpa lantai. Tapi butiran es yang jatuh sangat kecil, diameternya mungkin sekitar 1-2 cm. Berbeda dengan Argentine, di Folkland siangnya lebih sedikit dari malamnya. Di Folkland, matahari terbit pukul 8.30 AM dan tenggelam pukul 03.00 PM. Karna Cumi adalah binatang malam, sementara di Folkland setiap harinya lebih di dominasi malam hari, tentulah tangkapan Cumi jauuhh lebih banyak.

Di Folkland, kapal pemancing Cumi tidak sebanyak di Argentine. Ketika berburu Cumi, paling hanya nampak 1-2 kapal lain, berbeda dengan di Argentine yang ketika malam menjelang seperti pasar malam karna ramainya kapal pemancing Cumi yang ada. Suhu udara di Laut Folkland sendiri jauh lebih dingin daripada Laut Argentine. Kadang kami jumpai pula gelombang laut yang besar. Seringkali parasut penyeimbang kapal rusak karna besarnya gelombang laut. Pernah pula ketika sedang memancing, tiba-tiba kapal dihantam ombak, kala itu seorang ABK dari Phillippines sampai terpental dan mengalami cedera ringan. Untunglah kala itu kebanyakan ABK berada di ruang pengepakan sehingga tidak ikut menjadi korban.



Jika di Argentine, kadang kami dibuat heboh ketika melihat Pinguin berenang di kejauhan. Maka di Laut Folkland kami tidak lagi heboh jika hanya melihat Pinguin. Pinguin sangat sering dijumpai dan jumlahnya begitu banyak. Tak terhitung sudah berapa kali Pinguin terjerat pancing. Jika biasanya kami hanya melihat dari kejauhan, kali ini kami bisa menyentuhnya dan bermain-main dengannya. Setelah kami puas berfoto dan bermain-main dengan Pinguin, maka Pinguin itu segera kami lepaskan karna Pinguin merupakan binatang yang dilindungi.







Di perairan Folkland kadang banyak sekali dijumpai anakan Lobster yang berada di permukaan laut dan kadang terjerat pancing. Namun, selain jenis binatang tersebut. Tidak ada lagi binatang yang terjerat pancing tanpa sengaja. Kadangkala memang, ada Hiu, Lumba-lumba, Anjing Laut dan Singa Laut yang terjerat pancing namun karna terlalu berat pancingnya putus.

Ketika perbekalan kebutuhan hidup mulai habis, Kapten akan menghubungi kapal lain dan melakukan barter. Dari air tawar, solar, oli mesin, perlengkapan memancing, makanan, dsb bisa digunakan untuk barter dengan kapal lain. Memang proses serah terima barang sangat merepotkan, tapi kehabisan perbekalan bukanlah masalah selama ada kapal lain yang bersedia melakukan transaksi.

Setelah 3 bulan berada di Folkland, perburuan Cumi pun usai. Kapal harus kembali ke Taiwan. Karna kami berjalan ke timur, maka setiap sekitar 3 hari sekali jam kapal dimajukan 1 jam mengikuti zona waktu. Perjalanan pulang tidak terlalu mulus. Berkali-kali kapal diterjang amukan badai sehingga benda-benda didalam kapal berjatuhan. Suatu ketika gelombang laut sedang besar-besarnya. Air menerjang anjungan kapal hingga lantai kayu di ruang pengepakan tercerai berai. Selain itu, hantaman ombak mengakibatnya rusaknya sebagian mesin kapal yang mengakibatkan kapal berjalan lambat dan sering mogok.

Akhirnya kami sampai di Cape Town, kali ini kami di izinkan untuk jalan-jalan di Cape Town. Ini adalah pertama kalinya kami menginjakkan kaki di daratan setelah 6 bulan kami terombang-ambing di laut. Pada mulanya terasa sedikit aneh begitu menyadari lantai yang kami pijak tidak bergoyang-goyang seperti di dalam kapal, tapi beberapa menit kemudian aku sudah terbiasa. Di Cape Town kami bisa menghubungi keluarga setelah 6 bulan kami benar-benar kehilangan kontak. Kami memanfaatkan kesempatan ini untuk berbelanja.




Esok harinya kami harus mengucapkan selamat tinggal pada Cape Town. Kami telah puas belanja, perbekalan Kapal pun telah kembali di isi ulang. Namun, meskipun mesin kapal sudah diperbaiki ternyata masih ada yang kurang sehingga kapal masih berjalan lambat meski lebih cepat dari sebelumnya. Beberapa hari kemudian kami kembali melihat daratan, ternyata Pulau Mauritius. Kapten menghentikan kapal di perbatasan perairan Mauritius, ternyata Kapten sedang menunggu Mesin tambahan.



Di perairan Mauritius banyak kapal kecil menawarkan dagangan. Ada yang menawarkan pulsa elektronik, ada yang menawarkan Wisky. Kali ini transaksi tidak menggunakan sistem barter, tapi jual beli secara Cash menggunakan mata uang dolar atau Rupee. Setelah mesin baru dipasang, kapalpun melanjutkan perjalanan. Kami telah memasuki wilayah Asia.

Pembagian waktu siang dan malam mulai adil. Matahari terbit pukul 06.00 AM dan tenggelam pukul 06.00 PM. Udarapun mulai terasa panas. Kami bahkan telah berani mandi tanpa menggunakan pemanas air. Memasuki wilayah Nusantara, matahari begitu menyengat. Kami begitu kecewa melihat perubahan warna kulit kami dari yang sebelumnya putih karna terus berada di udara dingin menjadi gosong dan kembali seperti semula, berwarna kecoklatan.

Kapal mulai mendekati wilayah Aceh, kami bisa melihat perahu-perahu kecil berbendera Indonesia sedang sibuk mencari ikan. Melihat kapal-kapal Indonesia yang kecil, ABK dari China menertawakan kami (dalam arti gurauan, bukan merendahkan). Tapi begitu memasuki wilayah Batam, mereka terperangah melihat Indonesia yang tampak megah. Perairan Indonesia adalah perairan yang paling tenang dan paling nyaman. Kami bisa beraktifitas dengan tenang tanpa harus doyong kesana kemari karna hantaman ombak.

Memasuki perairan Singapore, Kapal kami mengisi solar dari kapal Tanker Singapore. Ketika pengisian solar berlangsung, kami sempat berbincang akrab dengan Pekerja kapal Tanker yang kebetulan berasal dari Malaysia. Memiliki bahasa yang hampir sama, budaya yang seragam dan kepercayaan agama yang sama membuat kami mudah bergaul akrab dengan mereka.


Kapal kami melanjutkan perjalanannya, melewati perairan Vietnam dengan kapal-kapal kayunya. Melewati perairan Phillippines dimana beberapa kali kami melihat tornado yang begitu besar di kejauhan. Dan akhirnya memasuki perairan Taiwan, tempat tujuan terakhir kami. Akhirnya aku dan beberapa temanku mengucapkan sayonara pada dunia laut dan kembali ke Negri Indonesia tercinta. 


Suasana Kerja


ruang pengepakan (kapal pei yuh) :


ruang pemancingan (video kapal laen) :



Sunday, 15 February 2015

Wisata Purworejo



Purworejo sebenarnya bukan Kota yang asing ditelingaku, sedari kecil aku sudah terbiasa mendengar nama Purworejo. Tentu saja, karna Purworejo adalah tetangga dekat Magelang, bus-bus kecil bertuliskan Magelang–Purworejo banyak berseliweran di Magelang.

Namun, meski aku sudah familiar dengan nama Purworejo, kemarin adalah pertama kalinya aku mengunjungi Purworejo. Biasanya sih hanya sekedar lewat saja ketika hendak pergi keluar kota. Misalnya saja aku ingin pergi ke luar Kota menggunakan kereta api aku akan mampir ke Purworejo dulu karna Magelang belum memiliki Stasiun Kereta Api.

Minggu kemarin, aku bersama teman-teman Organisasi bersilaturahim kerumah salah satu anggota yang kebetulan bertempat tinggal di Purworejo sekaligus mengadakan tour Wisata di Kota tersebut. Ini agenda tahunan di Organisasi, selain acara rutin tiap minggunya yang biasa diisi dengan diskusi.

Tempat tujuan pertama kami adalah Curug Muncar. Curug Muncar terletak di Kecamatan Bruno, Purworejo. Kami mengira tersesat karna sempat masuk ke daerah Wonosobo. Setelah bertanya pada warga sekitar ternyata kami tidak tersesat. Memang jalurnya demikian, kami harus melintasi Wonosobo terlebih dulu untuk kemudian kembali ke Purworejo.

Dibutuhkan waktu 2 Jam dari Magelang sampai di area Curug Muncar. Mobilpun di parkir di sebuah lapangan, kalo memakai motor bisa parkir lebih ke atas lagi.Setelah itu kami masih harus mendaki sekitar 2 Km untuk mencapai Curug. Tidak sulit mencari letak dimana Curug berada, kami hanya perlu mengikuti aliran air.

Setelah lebih 1 Km kami berhenti disebuah tebing batu untuk istirahat. Sayangnya tebing batu tersebut sudah dicorat-coret. Setelah itu kami melanjutkan pendakian dan sampailah ke Curug Muncar.

Curug Muncar adalah sebuah air terjun dengan ketinggian sekitar 30-40 meter.Letaknya di ketinggian. Batu-batu besar berserakan disekitar Curug. Untuk mencapai air terjun tidak bisa dibilang mudah. Selain itu, Karna curug tersebut berada di ketinggian, maka airnya akan menciprat kemana-mana, jadi area Curug Muncar bisa dibilang sebagai area basah, sehingga kita harus memiliki baju ganti jika mengunjungi tempat itu.

Meski memiliki pemandangan yang indah, tapi mengabadikan Curug Muncar bukan hal mudah. Seperti yang  sudah kubilang sebelumnya, Curug Muncar adalah area basah. Membawa kamera di dekat  air terjun menyebabkan kamera akan basah kuyup. Meskipun kamera tersebut anti air, mengabadikannya tidak mudah karna lensa kamera akan tergenang air sehingga gambar yang diambil akan buram. Jika ingin mengambil gambar memang harus menjauh dari area basah, itu berarti memang sulit untuk mendapatkan view yang bagus.

Aku tidak bisa berlama-lama berada di dekat Curug karna bajuku sudah basah kuyup dan aku mulai menggigil kedinginan. Akupun turun ke area kering dan ganti baju. Setelah puas berfoto-foto kamipun melanjutkan perjalanan ke rumah salah satu anggota.

Di rumahnya kami istirahat sejenak dan beramah-tamah dengan keluarganya. Keluarga temanku tersebut sangat ramah, kami disuguhi beraneka ragam hidangan. Ada satu jenis jajanan yang sangat unik, namanya Clorot. Clorot terbuat dari ketan dan gula Jawa, mungkin masih ada tambahan lain. Yang membuatnya unik adalah bungkusnya. Clorot dibungkus dengan janur yang rangkai sedemikian rupa. Pada mulanya aku kerepotan membuka bungkusnya. Ternyata bungkusnya tidak perlu dilepas. Kami hanya perlu mendorongnya dari belakang.

Usai menunaikan Sholat Dzuhur Ashar yang di jamak dan di qashar, kamipun berpamitan dan melanjutkan perjalanan ke Pantai Jatimalang. Perjalanan ke Jatimalang melewati jalan besar dan lapang sehingga lebih cepat. Tidak sampai 1 jam kami telah sampai ke Pantai.

Kami disambut udara pantai yang panas. Ketika memasuki Jatimalang kami melewati loket pembayaran yang tidak dijaga. Salah seorang teman menjelaskan bahwa saat itu kita bisa masuk Pantai dengan gratis karna masyarakat sekitar menghendakinya demikian.

Sebelumnya loket pembayaran akan masuk ke kas Kota, tapi berhubung Pemerintah Purworejo menghapus aliran dana ke Jatimalang untuk tahun itu maka warga sekitar protes dengan cara menggratiskan biaya masuk ke Pantai Jatimalang. Karna itulah Pantai Jatimalang jadi lebih ramai dari hari biasanya dan itu menjadi keuntungan tersendiri bagi para pedagang.

Di sepanjang pantai kita bisa dengan mudah menemukan lapak dagangan. Selain itu ada beberapa Kolam renang kecil buat anak-anak dan tambak ikan. Nampak pula beberapa kapal Nelayan yang sedang ditambatkan.


Pantai Jatimalang memiliki ombak yang tidak begitu besar tapi juga tidak begitu kecil. Pantai tersebut juga cukup bersih dari sampah sehingga cukup mengasyikkan jika ingin mencebur ke dalamnya. Setelah menghabiskan waktu sekitar 1 jam, kamipun bersantai sejenak menikmati Nasi Pecel. Kemudian kamipun melanjutkan perjalanan pulang ke Kota Magelang.
















Friday, 6 February 2015

Magelang, Kota Sejuta Bunga?






Pernah dengar Kota bernama Magelang? Sebenarnya aku merasa aneh jika banyak yang belum mengenal Kota yang satu ini mengingat keunikan Kota yang satu ini, tapi kenyataannya demikian. Ternyata Magelang belum seterkenal dugaanku, beberapa kali aku bertanya pada teman-teman FB yang berasal dari luar kota tapi masih banyak yang belum mengenal Kota Magelang. Anehnya, ada temanku yang mengaku sering ke Candi Borobudur ternyata tidak mengenal Kota Magelang. Aduh aduh neeng, Candi Borobudur itu letaknya di Magelang.

Sebagai sebuah Kota, Magelang memang bisa dibilang sangat kecil. Untuk melintasi dari ujung ke ujung Kota Magelang menggunakan sepeda motor tidak dibutuhkan waktu lebih dari 20 menit dengan catatan jalanan sepi. Selain itu, jalanan di Kota Magelang cenderung datar sehingga jika hendak berkendara dengan sepeda onthel tetap terasa nyaman. Tapi meski begitu, pengendara sepeda onthel di Magelang relatif sangat sedikit, mungkin karna gaya hidup yang kekotaan sehingga merasa gengsi jika harus berkendara dengan sepeda onthel.

Berbeda dengan pemandangan di Kota lain seperti Sragen, Klaten, Pemalang, dsb yang tiap pagi banyak dijumpai anak Sekolah berangkat ke Sekolah bareng dengan mengayuh sepeda, di Magelang tidak dijumpai hal semacam itu. Di Magelang, anak Sekolah lebih banyak mengendarai Sepeda Motor. Entah mengendarai sendiri atau dibonceng. Daripada berangkat ke Sekolah dengan mengayuh Sepeda, mereka lebih memilih naik Angkutan Kota.

Meski tergolong kecil, Kota Magelang bisa dikatakan sebagai Kota Semi Metropolitan. Hal itu karna sarana dan prasarana Kota Magelang begitu lengkap. Cukup banyak Mall dibangun. Infrastruktur yang selalu diperbarui. Sekolah Negri yang cukup banyak. Terdapat pula beberapa Universitas didalamnya. Fasilitas yang begitu lengkap. Bahkan di Kota Magelang sudah memiliki Stadion Sepak Bola. Belum lagi rencana pengaktifan kembali jalur kereta api yang menghubungkan Yogyakarta dan Semarang.



Magelang terdiri dari Kabupaten dan Kota. Kabupaten Magelang sendiri jika dibandingkan dengan Kotanya terbilang amat sangat luas. Saya pribadi belum mengenal baik Kabupaten Magelang yang memiliki Slogan Magelang Gemilang, tapi tidak jadi soal karna pada tulisan kali ini saya lebih memfokuskan pada Magelang Kota. Oh iya, sebagai catatan saja, Candi Borobudur yang dijuluki sebagai Candi terbesar di seluruh dunia dan termasuk dalam salah satu Keajaiban Dunia terletak di Kabupaten Magelang, tepatnya di Kecamatan Borobudur. Jika berkendara dengan sepeda motor dari pusat Kota Magelang mungkin dibutuhkan waktu sekitar 30 menit.



Baiklah, kembali ke topik utama, tentang Kota Magelang. Secara geografis, Magelang mungkin bisa dianggap sebagai benteng yang kokoh, andai saja belum ada pesawat ataupun nuklir dalam peperangan. Bagaimana tidak? Magelang dikelilingi oleh Gunung, yakni Gunung Sumbing di sebelah barat, Gunung Merbabu dan Gunung Merapi disebelah Timur dan Gunung Sindoro sebelah utara, belum lagi perbukitan lain yang aku tidak kenal namanya. Selain itu di sebelah baratnya melintas sungai Progo dan disebelah timurnya dilintasi sungai Elo. Bisa dibayangkan kan betapa kokohnya jika Magelang dijadikan benteng pertahanan?

Magelang adalah Kota yang sejuk, pepohonan rindang masih banyak dijumpai. Arus lalu lintas di Kota Magelang sendiri terbilang lancar. Pemerintah menyediakan jalan lintasan untuk sepeda ontel dan becak, meski masih sering pengendara motor menyalahgunakan lintasan tersebut. Selain itu Magelang dikenal bebas banjir karna terletak di dataran tinggi. Jikapun air hujan melimpah tentulah akan langsung mengalir ke Sungai Progo atau Sungai Elo.

Terdapat sebuah bangunan zaman Belanda yang menjadi ciri khas Kota Magelang dan bahkan dijadikan maskot Kota Magelang. Bangunan tersebut lebih sering dikenal dengan sebutan Kompor Air. Karna berbentuk seperti Kompor dan digunakan untuk menampung air  yang kemudian dialirkan ke penjuru Kota Magelang. Kompor Air itu terletak tepat di Alun-alun Kota Magelang.



Selain Kompor Air ada bangunan lain yang dijadikan maskot Kota Magelang, bangunan itu adalah sebuah patung raksasa replika Pangeran Diponegoro yang menunggang Kuda. Patung tersebut juga terletak di Alun-alun Kota Magelang. Jika ada bangunan lain yang bisa dijadikan simbol Kota Magelang, tentu saja itu adalah Candi Borobudur.

Tepat di pusat Kota Magelang terdapat sebuah Bukit yang bernama Bukit Tidar. Konon kabarnya, Bukit Tidar terletak di pusat Pulau Jawa. Dan mitosnya, Bukit Tidar merupakan “pakuneng Jowo” (pakunya Pulau Jawa, pen). Yang mana mitosnya, dulu Pulau Jawa selalu “gonjang-ganjing” kesana kemari, sebab itulah dipatok dengan Bukit Tidar sehingga Pulau Jawa tetap ditempatnya. Di bawah kaki bukit Tidar terdapat markas AKMIL, selain itu disisi Utara sebelah Baratnya digunakan sebagai Lapangan Golf.

Tempat Wisata di Magelang cukup banyak, terutama di daerah Kabupaten. Seperti Curug Slawe, Kedung Kayang, Ketep, Candi Borobudur, Pisangan dan masih banyak lagi. Sementara di Kota Magelang sendiri terdapat Taman Kyai Langgeng, yang mana didalamnya terdapat beragam koleksi bunga dan satwa, juga wahana bermain. Selain itu mungkin lebih pada Museum, dari Museum Diponegoro, Museum Soedirman, dsb.



Magelang memiliki makanan khas bernama Gethuk Trio dan Kupat Tahu. Keduanya asli dari Kota Magelang. Diberi nama Gethuk Trio karna makanan khas yang terbuat dari ketela itu memiliki tiga warna yaitu putih, pink dan coklat. Sementara pemberian nama Kupat Tahu sudah bisa ditebak, karna menggunakan Ketupat dan Tahu didalam pengolahannya.


Slogan Kota Magelang beberapa kali mengalami perubahan. Pada awalnya, adalah Magelang Kota Harapan yang merupakan kepanjangan dari Hidup Asri Rapi Aman Nyaman. Kemudian diganti menjadi Magelang Kota Jasa, saya masih belum mengerti maksud penamaan tersebut. Dan untuk saat Ini Walikota Magelang mengganti slogan Kota menjadi Magelang Kota Sejuta Bunga.

Kenapa diberinama Magelang Kota Sejuta Bunga? Silakan bertanya pada rumput yang bergoyang, hehehe... Sebenarnya banyak masyarakat Magelang yang penasaran tentang kenapa Pak Sigit (Walikota Magelang) mengganti slogan Kota Magelang dari Magelang Kota Harapan menjadi Magelang Kota Sejuta Bunga. Mengingat di Kota Magelang sendiri tidak berbeda dengan umumnya Kota lain dalam hal penanaman bunga. Tidak banyak bunga disepanjang jalan Kota Magelang, juga tidak digalakkan penanaman bunga kepada masyarakat.

Sebagai gantinya, Walikota Magelang menempatkan beberapa lampu replika berbentuk bunga di beberapa titik, hal itulah satu-satunya yang membuat Kota Magelang memiliki nilai lebih dalam hal per-bunga-an di banding Kota lain. Namun tetap saja mengecewakan karna bukan malah menanami bunga-bunga asli di sepanjang jalan Kota Magelang tapi justru menanami dengan bunga palsu. Jadi jangan heran jika beberapa warga Magelang dengan sinis memberi slogan Magelang Kota Sejuta Lampu Bunga.



 
biz.